Jumat, 20 Oktober 2017

Hadis Ahkam Kekerasan dalam Rumah Tangga

Latar Belakang

Setiap keluarga pada hakekatnya menginginkan terciptanya suatu keluarga yang harmonis. Hubungan antara suami dan istri merupakan hubungan dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan dalam rumah tangga. Pada prinsipnya, Islam sudah mengatur berbagai hal dalam kehidupan rumah tangga. Di samping itu, islam juga mengemban misi utama untuk pembebasan, termasuk pembebasan dari kekerasan, menuju peradaban yang egaliter.
Namun, realitas menunjukkan bahwa kekerasan terhadap istri justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kita sering mendengar informasi baik dari media massa maupun media cetak bahwasannya kekerasan terhadap rumah tangga sangat memprihatinkan. Ada sebuah penelitian terhadap tindak kekerasan dalam rumah tangga yang disidangkan Pengadilan Negeri Ambon diketahui bahwa kekerasan yang dialami korban (istri pelaku) berupa kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi. Pada tahun 2007-2011 yang dijadikan sampel menunjukkan bahwa kekerasan fisik sebanyak tujuh kasus (77,78%), kekerasan psikis sebanyak satu kasus (11,11%) dan kekerasan ekonomi sebanyak satu kasus (11,11%).[1]
Yang lebih parah lagi adalah adanya suatu pandangan bias gender yang memahami bahwa Al-Qur’an membenarkan tindakan kekerasan tersebut. Bahkan seorang ulama yaitu Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani membolehkan memukul istrinya yang tidak berhias sesuai keinginan suami, menampakkan wajahnya kepada orang lain, dan keluar rumah tanpa izin.
Melihat realitas di atas, maka di perlukan adanya pemahaman-pemahaman yang mendalam melalui perspektif Fiqih Islam mengenai hadis yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. sehingga kita bisa mengetahui nilai-nilai universal serta kontekstualisasi dari hadis tersebut.



Pembahasan
A.    Hadis Tentang KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Penelusuran hadis dilakukan terutama pada kitab-kitab Hadis rujukan utama yang enam (kutub as-Sittah). Kompilasi ini dilakukan untuk memperoleh gambaran singkat mengenai teks-teks Hadis yang bisa dikategorikan sebagai narasi positif untuk gagasan anti KDRT dalam Islam. Penulusuran dalam Kitab shahihayn menurunkan teks terkait tema pemukulan istri dalam tiga tempat: di pembahasan ke-65 mengenai tafsir dalam kitab al-Tafsir, ke-67 mengenai pernikahan dalam kitab al-Nikah, dan ke-78 dalam kitab al-Adab.
Secara khusus, Bukhari menulis tema pasal kemakhruhan memukul istri dalam kitab al-Nikah, yang mengindikasikan secara tegas bahwa memukul istri itu sama sekali tidak dianjurkan, bahkan makruh hukumnya. Teks-teks utama dari Shahih Bukhari jatuh pada Riwayat  Abdullah Zam’ah r.a. semua riwayat ini memuat tema yang serupa, dengan sedikit perbedaan redaksi, tetapi yang satu bisa menjelaskan yang lain. Sala satu teks tersebut adalah:
حدثنا محمد بن يوسف، حدثنا سفيان، عن هشام، عن أبيه، عن عبد الله بن زمعة، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «لَا يجلد أحدكم امرأته جلد العبد، ثم يجامعها في آخر اليوم»
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Hisyam dari Bapaknya dari Abdullah bin Zam’ah dari Nabi SAW, beliau bersabda : “ Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia memukul seorang  budak, namu saat hari memasuki senja ia pun menggaulinya.” (HR. Bukhori no. 4942)
Teks Abdulah bin Zam’ah ini tercatat dalam berbagai redaksi. Dalam perhitungan digital Mawsu’at al-Hadits al-Syarif  ada di nomor 4992, 5250 dan 6111 dari Sahih al-Bukhari. Teks ini juga dicatat dalam Sahih Muslim no. 7370, Sunan at-Turmudzi no. 3666, Ibn Majah 2059, dan Musnad Ahmad no. 16472,16473, 16474 dan 16475.[2]


·         Mufrodat[3]
1.      يجلد       : menurut kamus munawwir artinya mencambuk, mendera. Merupakan fi’il                     mudhori yang berasal dari kata جلد
2.      امرأة      :
3.      عبد        :
4.      يجامع     : merupakan fi’il mudhori’ dari kata جامع yang artinya adalah

B.     Tinjauan umum KDRT

1.      Pengertian Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diberi tiga pengertian. Pertama, sebagai suatu perihal (yang bersifat/berciri) keras. Kedua, perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik dan barang orang lain, yang ketiga, kekerasan diartikan sebagai paksaan.[4]
Pengertian kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini terlihat sangat luas, mencakup tindakan secara verbal maupun fisik, yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat secara fisik maupun non fisik. Bahkan tindakan dari aspek ekonomis yang tidak menguntungkan perempuan seperti tidak memberi nafkah kepada istri, juga dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga, sebagaimana yang diungkapkan oleh Elli N. Hasbianto. Elli N.Hasbianto memberi definisi kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu bentuk penganiayaan (abuse)  secara fisik maupun emosional atau psikologis yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Bentuk kekerasan itu ada empat macam, kekerasan secara seksual, fisik, emosional dan ekonomi.[5]

2.      Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
Beberapa bentuk kekerasan dari rumah tangga, sebagai berikut[6]:
1.      Kekerasan Fisik
Kekerasan berbasis gender sering diwujudkan dalam berbagai cara. Salah satu cara yang  paling nyata adalah melaukan penyerangan secara langsung terhadap fisik atau tubuh perempuan. Perilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini adalah menampar, memukul, menarik rambut (menjambak), menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata dan sebagainya. Biasanya luka-luka atau tanda-tanda bekas kekerasan itu tampak, seperti muka biru atau lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2.      Kekerasan Emosional/Psikologis
Kekerasan psikologis mencakup penyiksaan secara emosional dan verbal terhadap korban sehingga melukai kesehatan mental dan konsep diri mereka. Akibatnya makin lama keyakinan mereka terhadap harga diri, konsep diri dan perasaan bahwa ia punya hak untuk dihormati dan diperlakukan dengan baik mulai terkikis oleh penyiksaan batin yang terus menerus. Kekerasan ini dapat berupa celaan, makian, ancaman untuk melukai atau membunuh korban atau anak-anak, merusak barang-barang, pengisolasian perempuan dari kebutuhan-kebutuhan dasarnya (nafkah lahir batin), rasa yang ditanamkan sedemikian rupa dan sebagainya. Masuk juga dalam kekerasan emosional ini penyelewengan yang dilakukan oleh suami yang sering diistilahkan memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) atau meniggalkan istri untuk menikah lagi tanpa pemberitahuan.
3.      Kekerasan Sosial
Kekerasan secara sosial merupakan tingkah laku laki-laki yang ditujukan untuk mengisolasi perempuan dari teman-teman dan keluarganya, penghinaan yang dilontarkan di depan umum, pencemaran nama baik, memenjarakan perempuan dan sebagainya.
4.      Kekerasan Seksual
Kekerasa seksual meliputi semua aktivitas sosial yang dipaksakan pada perempuan (tanpa persetujuan pihak perempuan). Meskipun aktivitas seksual yang terjadi adalah antara suami dan istri, tetapi karena sifatnya memaksa, maka termasuk sebagai kekerasan dan penyiksaan, karena tindakan itu dilakukan sebagai ekspresi kekuasaan (power), dan bukan semata-mata dorongan seksual yang tidak terkontrol.  Kekerasan seksual tercermin dalam bentuk pemaksaan melakukan aktivitas yang bagi perempuan merupakan hal yang aneh, menyakitkan atau menjujikkan.

5.      Kekerasan Ekonomi
Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi antara lain, tidak member nafkah kepada istri, membatasi istri dengan memanfaatkan ketergantungan ekonomi istri, menguasai hasil kerja istri, memaksa istri bekerja untuk memenuhi kebutuhan suami dan sebagainya.

3.      Realitas Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
Berikut ini dikemukakan beberapa realitas kekerasan yang terjadi terhadap istri dalam rumah tangga yang pernah dirangkum oleh Rifka Annisa, sebagai berikut[7]:
a.       Kekerasan terhadap istri dapat terjadi pada pasangan yang memulai perkawinannya dengan komitmen yang baik dan saling mencintai.
b.      Kekerasan terhadap istri dapat terjadi pada pasangan yang berpendidikan tinggi.
c.       Kekerasan terhadap istri dapat terjadi pada pasangan golongan sosial ekonomi kuat.
d.      Kekerasan terhadap istri seringkali tidak disebabkan oleh masalah besar, bahkan seringkali tidak ada permasalahan yang dapat dijadikan alasan.
e.       Kekerasan terhadap istri sering dilakukan oleh laki-laki yang tampaknya sopan dan bertanggung jawab, sehingga kekejamannya tidak tampak oleh orang lain.
f.       Kekerasan terhadap istri lebih banyak terjadi terhadap istri yang mempunyai ketergantungan ekonomi dan emosional pada suami.
g.      Kebanyakan perempuan merasa bahwa dirinyalah yang bersalah dan telah menjadi penyebab suaminya marah dan memukulnya.
h.      Kekerasan terhadap istri (terutama yang fisik) biasanya punya siklus tertentu, yakni masa pemukulan-minta maaf-bulan madu-reda-pemukulan lagi dan seterusnya.
i.        Kekerasan terhadap istri cenderung akan ditiru oleh anak laki-laki dan biasanya kelak mereka akan mempraktekannya pada pasangannya.

4.      Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
Secara garis besar beberapa faktor yang sangat dominan atau banyak dikemukakan sebagai penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut[8]:
a.       Budaya Patriarkhi
Budaya patriarkhi adalah budaya masyarakat yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk istimewa, memiliki nilai lebih, unggul, diutamakan dan meletakkan perempuan sebagai makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomor duakan.
b.      Relasi Kuasa yang Timpang
Sistem sosial kita (keluarga) mendorong perempuan untuk bergantung kepada suami khususnya ekonomi. Hal ini membuat perempuan berada dibawah kuasa suami. Akibatnya, relasi menjadi tidak secara (timpang). Di satu sisi, perempuan diharuskan patuh tapi di sisi lain, suami merasa mampu dan mudah bertindak semaunya, dalam kondisi ini laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.
c.       Perilaku Hasil Meniru (Role Modelling)
Anak (laki-laki) yang tumbuh dalam lingkungan dimana ayahnya suka memukul ibunya, cenderung akan meniru pola yang sama ketika memiliki pasangan (istri).
d.      Pemahaman Keagamaan
Ada beberapa ajaran agama, terutama yang berhubungan dengan laki-laki dan perempuan (suami-istri) yang ditafsirkan secara keliru. Hal itu menimbulkan anggapan bahwa laki-laki memiliki kekuasaan terhadap perempuan. Misalnya ayat tentang nusyuz dalam al-Qur’an. Ayat ini kemudian memunculkan keyakinan bahwa suami boleh memukul istri, tanpa memelajari tentang apa dan bagaimana nusyuz itu. Padahal jika dipelajari secara seksama, justru pesan yang dikandung menyiratkan perintah agar suami “berlaku baik dan objektif” (mu’asyarah bi al-ma’ruf).

5.      Dampak yang Ditimbulkan oleh Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
a.       Dampak Kekerasan terhadap Istri[9]
·         Yang bersifat fatal, pembunuhan, bunuh diri dan kematian istri.
·         Tidak fatal:
1.      Kesehatan fisik: luka, cacat fungsi tubuh, kondisi kesehatan buruk dan cacat permanen.
2.      Kondisi kronis: sindrom sakit yang parah.
3.      Kesehatan  mental: stress pasca trauma, depresi, cemas, panik, masalah makan, penghargaan terhadap diri yang rendah.
4.      Perilaku yang tidak sehat: merokok, penggunaan alcohol dan obat, tidak melakukan aktifitas fisik.
5.      Kesehatan reproduksi: penyakit menular seksual (PMS),tidak berfungsinya organ seks, komplikasi kehamilan, kuguguran.
b.      Dampak Kekerasan terhadap Anak
Dampak terhadap anak-anak secara umum adalah anak akan mengalami gangguan petkembangan dan emosional pribadi. Anak akan kehilangan rasa percaya terhadap orang tua dan akan selalu merasa bersalah karena orang tuanya tidak akur. Di samping itu anak juga akan merasa takut dan berpikir barangkali ia suatu saat akan mengalami kekerasan juga, kemudian merasa cemas dengan masa depannya, dan anak akan merasa sedih karena kehilangan orang tua kalau mereka bercerai.

C.    Pandangan Hukum Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pandangan hukum islam tentang kekerasan terhap istri dalam rumah tangga, sebagai berikut:
1.      Hukum islam memandang sebagai tindakan yang tercela.[10]
a.      Dari perspektif maqasid.
Pernikahan dalam islam menjadi institusi sebagai interaksi antar personal dengan baik untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang dan ketrentraman. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an: an-Nisa (4): 19.

$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw @Ïts öNä3s9 br& (#qèO̍s? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( Ÿwur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù'tƒ 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷d̍x. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© Ÿ@yèøgsur ª!$# ÏmŠÏù #ZŽöyz #ZŽÏWŸ2 ÇÊÒÈ  
“Wahai orang-orang yang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan jangalah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berika kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan kji yang nyata. Dan bergaullah denga mereka dengan cara yang patut. Juka kmu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Dari ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa hubungan dalam pernikahan terhapat hubungan yang harus  dijalin dengan baik, dengan kata-kata yang ma’ruf. Tentu bila tindakan-tindakan kekerasan terjadi terhadap istri maka apa yang menjadi tujuan syari’ah sudah tidak ada lagi. Semua jenis perlakuan yang direkontruksi dalam tindak kekerasan terhadap isteri, islam dengan tegas menentang penganiayaan-penganiayaan terhadap jiwa.
b.      Surat an-Nisa’ ayat 34[11]
Di dalam surat ini menjelaskan tentang kekuasaan hierarki laki-laki atas perempuan. Secara spesifik kekerasan suami terhadap istri di legitimasi secara teologis dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34, yang menyatakan bahwa memukul isteri diperbolehkan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa memukul isteri adalah cara yang dianjurkan al-Qur’an unutk memberi pelajaran terhadap isteri nusyuz.
ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah meberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan unutk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, Maha Besar”
Sepintas ayat ini tampak memperbolehkan pemukulam terhadap isteri. Pandangan ini bisa muncul bila kita melihat apa yang tersurat dalam zahir ayat. Pertanyaan yang perlu diajukan kemudian adalah apakah memang pemukulan itu merupakan anjuran al-Qur’an, ataukah sebagai pintu darurat kecil yang semestinya tidak dilakukan?
Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan, mengingat al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang demikian tidak memanusiakan perempuan. Jangankan “hanya” dipukul, perempuan pada masa pra-islam bahkan “berhak” dibunuh, dijadikan benda warisan, dan sebagainya tanpa boleh bela diri. Dengan kata lain nusyuz pada saat itu merupakan bentuk kekerasaan yang termasuk “ringan” dibanding perilaku yang biasa dilakukan masyarakat pra-islam.
Kalau demikian halnya, pernyataan al-Qur’an yang menjadikan pemukulan sebagai alternative terakhir bagi suami yang isterinya nusyuz tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap isteri. Sebab dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama aman dan efektif ketimbang pemukulan itu sendiri, yakni mauizah dan pisah ranjang. Dengan melihat setting sosial budaya demikian, hal tersebut merupakan tradisi yang secara bijaksana dikehendaki oleh al-Qur’an untuk ditinggalkan.
Nusyuz oleh para ahli hukum islam diterjemahkan  sebagai suatu perbuatan durhaka dan tidak taat dari istri kepada suami.
Asy- Syaukuni mengomentari penyelesaian kasus nusyuz ini mengatakan bahwa suami tidak dibenarkan untuk langsung memukul istri yang nusyuz. “Pemukulan “  dapat dilakukan  apabila istri merubah sikap setelah diberi nasihat  dan tidak dikucilkan dari tempat tidur. Kadar pukulannya pun tidak boleh sampai melukai anggota badan.[12]
Semangat menghindari dari pemukulan semakin jelas ketika kita menelaah hadis Nabi. Di dalam literatur hadis, pelakuan untuk berbuat mauizah  dan pisah ranjang merupakan cara yang dianggap paling aman dan tidak banyak risiko dari pada melakukan kekerasan terhadap istri. Kesaksian juga terekam dalam hadis-hadis yang menjadi dalil yang kuat bahwa pada hakikatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan isteri oleh suami. Dalam ucapan, nasihat dan perilaku hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak pernah menganjurkan apalagi melakukan pemukulan terhadap isteri. Oleh karena itu, jika kita sepakat bahwa hadis memiliki fungsi penjelas terhadap al-Qur’an, maka kita pun bisa mengatakan bahwa sekalipun ada redaksi wadribuhunna dalam al-Qur’an namun itu bukan untuk dilakukan melainkan untuk dihindari dan ditinggalkan sebagaimana yang dicontohkan Nabi.
“pemukulan” adalah salah satu bentuk kekerasan fisik yang mendapatkan pengesahan secara yudiristik oleh al-Qur’an  untuk dilakukan seorang suami sebagai jalan terakhir untuk mengembalikan stabilitas  rumah tangga. Para ahli islam sepakat dengan tidak boleh sampai melukai fisik atau yang dapat membahayakan tubuh, tidak pada bagian sensitif seperti wajah dan kepala. mereka sepakat dengan jalan terbaik adalah menghindari pemukulan.[13] Rasulullah yang merupakan sosok yang menjadi panutan umat, dalam sejarah hidupnya tidak pernah melakukan pemukulan terhadap perempuan dan istri-istri beliau. Rasulullah lebih sering meninggalkan rumah bila menghadapi istri-istrinya.[14]
2.    Hukum islam memandangnya sebagai tindak pidana
Yang dimaksud tindak pidana disini adalah terutama yang menyangkut kekerasan fisik yang dapat melukai anggota badan. Sebab tindak kekerasan terhdap istri dalam konteks fisik masuk dalam terma jarimah hudud,[15] sesuatu yang perlu dihukum bagi pelanggarnya. Hukum islam klasik menerapkan ini dalam konteks diyat. Diyat adaah sejumlah ganti rugi harta yang harus diberikan kepada si korban atau wali korban. Meski umumnya dalam hal fiqh, diyat ini dimasukan dalam konteks pembunuhan karena”sengaja” atau yang “serupa”sengaja”.[16]
As-Sayyid as-Sabiq memasukan dalam konteks diyat pula,bila tindak kekerasan menghilangkan anggota tubuh, mulut, telingan tangan jari-jari, kaki, mata, dan keseluruhan panca indera yang dapat menghilangakan fungsi keinderaan tersebut maka si kobran berhak memperoleh diyat.[17]
Seberapa besar ganti rugi dalam diyat tindak kekerasan ini tidak bisa ditentukan oleh individu masing-masing, terkecuali kalau memang ada perdamaian. Tetapi bila tidak, harus dibawa ke pengadilan. Sebab karakter dari hukum jenis ini menyangkut hubungan sosial kemasyarakat yang penetuan hukumnya diserahkan pada hakim. Karena diyat ini sebagai ganti rugi yang dalam fiqh dihubungkan dengan konsep qisas maka ganti rugi itu sebisa mungkin mendekati harga yang sepadan.[18]
D.    Upaya Preventif mengatasi KDRT dalam Islam
1.        Perlindungan Islam terhadap Perempuan Korban KDRT
Agama Islam sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan menolak secara tegas akan praktik-praktik kekerasan. Seperti yang terkandung dalam QS. An-Nisa’ ayat 124:
ومن يعمل من الصلحت من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا
Dan dipertegas oleh ayat lain pada QS. An-Nahl ayat 97:
من عمل صلحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبه ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما كانوا يعملون
Dalam Islam juga terdapat konsep mengenai musyawarah, dimana dalam praktik kehidupan Rasulullah SAW. Musyawarah sering dilakukan, terutama ketika menyangkut kepentingan umum. Agama pun menganjurkan konteks musyawarah dalam penyelesaian persengketaan suami istri, dengan mengangkat hakim atau pihak ketiga. Firman Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 35:
وإن خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يوفق الله بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Secara terbuka, al-Quran memandatkan perlunya pihak ketiga sebagai penengah karena masalah rumah tangga dianggap sebagai masalah masyarakat pula. Di Indonesia sendiri, terdapat UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, yang merupakan landasan hukum kuat untuk mewujudkan pencegahan sekaligus penghapusan tindak kekerasan disamping sebagai perlindungan korban serta penindakan terhadap pelaku kekerasan.[19]
Realitasnya di Indonesia selama ini, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan hukum dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. Upaya perlindungan ini tidak hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, namun juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, yakni lembaga-lembaga sosial yang berada di lingkungan masyarakatnya.[20]
2.      Pencegahan Mengatasi KDRT dalam Islam
Kekerasan terhadap perempuan berarti kekerasan yang melanggar hak asasi perempuan yang juga termasuk melanggar hak asasi manusia sebagaimana ajaran Islam. Dapat disimpulkan bahwa pandangan Islam dan gender memberikan perlindungan perempuan korban KDRT dalam banyak aspek. Dalam pandangan gender, perlindungan KDRT dengan dikeuarkannya UU. No. 23 Tahun 2004 mempunyai asas dan tujuan, yaitu penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender anti deskriminasi, dan perlindungan korban konteks perlindungan perempuan dalam rumah tangga, sedangkan tujuan dari diberlakukannya UU tersebut untuk mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, memelihara kebutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.[21]
Prinsip ini sesuai dengan pendapat Islam yang tertera dalam teks-teks kitab suci al-Quran memberikan banyak pemahaman bahwa dalam hubungan rumah tangga secara ma’ruf dalam arti setara, adil dan demokratif. Dalam terminologi ushul fiqh, hal ini selaras dengan apa yang menjadi tujuan hukum, yakni perlindungan hukum terhadap lima aspek (al-kulliyat al-khams atau ad-daruriyah al-khams). Lima aspek perlindungan itu adalah agama (hifz ad-din), jiwa (hifz an-nafs), akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), harta (hifz al-mal). Hal ini menegaskan bahwa hukum Islam datang ke dunia membawa misi perlindungan yang sangat mulia, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi ini (QS. Yunus ayat 57; QS. Al-Anbiya’ ayat 107).[22]
Penutup

A.    Analisis:
1.      Hadis dari Shahih Bukhari jatuh tentang KDRT jatuh pada Riwayat Abdullah Zam’ah r.a. pada tema pasal kemakhruhan memukul istri dalam kitab al-Nikah, yang mengindikasikan secara tegas bahwa memukul istri itu sama sekali tidak dianjurkan, bahkan makruh hukumnya.
2.      Dari perspektif maqasid pernikahan dalam islam menjadi institusi sebagai interaksi antar personal dengan baik untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang dan ketrentraman. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an: an-Nisa (4): 19. Namun, ketika terjadi adanya kekerasan dalam rumah tangga maka akan muncul berbagai problem dalam kehidupan rumah tangga tersebut sehingga mengakibatkan prinsip maupun tujuan utama dari pernikahan menjadi hilang.
3.      Kekerasan suami terhadap istri di legitimasi secara teologis dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa memukul isteri diperbolehkan, pernyataan al-Qur’an yang menjadikan pemukulan sebagai alternative terakhir bagi suami yang isterinya nusyuz tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap isteri. Sebab dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama aman dan efektif ketimbang pemukulan itu sendiri, yakni mauizah dan pisah ranjang.
4.      Para ahli Islam sepakat bahwa kriteria pemukulan tersebut tidak boleh sampai melukai atau dapat membahayakan tubuhnya, tidak pada wajah atau kepala. Mereka juga sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menggunakan kekerasan itu.
5.      Kesaksian dalam hadis-hadis yang menjadi dalil yang kuat, bahwa pada hakikatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan isteri oleh suami. Dalam ucapan, nasihat dan perilaku hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak pernah menganjurkan apalagi melakukan pemukulan terhadap isteri.
6.      Kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga menurut hukum Islam menyatakan sebagai suatu tindakan yang tercela, yang mana tindakan-tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana.

B.     Kesimpulan
Berdasarkan hadis riwayat Bukhori no. 4942 mengindikasikan bahwa memukul istri itu tidak dianjurkan, bahkan makhruh hukumnya. Dari prespektif maqashid, kekerasan dalam rumah tangga menyalahi tujuan awal dari pernikahan dan di lain sisi tujuan dari pelarangan kekerasan dalam rumah tangga ternyata ingin memanusiakan manusia.
Wallahu A’lam Bishawab.
Daftar Pustaka
Arifin , Bustanil.: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA)
Hanafi, Ahmad. 1990. Asas- asas Hukum Pidana Islam, cet. IV ,(Jakarta:Bulan Bintang)
Fakultas Syariah IAIN Ambon “Kekerasan dalam Rumah Tangga” La Jamaa, Vol. XIII, No. 1, Januari 2013, hal.65.
Fatima Mermissi, 1997. “Menengok Kontrovensi Peran Wanita dalam Politik", alih bahasa M. Masyhur Abadi,(Surabaya: Dunia Ilmu)
Hakim, Azizal. 2006. Skripsi: “Kekerasaan Suami terhadap Isteri prespektif hukum pidana Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA)
Kodir, Abdul. “Kekerasan dalam Ruamah Tangga (KDRT) Prespektif Islam: Kompilasi Awal Teks-Teks Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1, No. 1, Juni 2016.
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; “Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka. 1993).
Listia, Romdiyah. 2006. : “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” . Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA).



[1] Fakultas Syariah IAIN Ambon “Kekerasan dalam Rumah Tangga” La Jamaa, Vol. XIII, No. 1, Januari 2013, hal.65.
[2] Kodir, Abdul, 2016, “Kekerasan dalam Ruamah Tangga (KDRT) Prespektif Islam: Kompilasi Awal Teks-Teks Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1, No. 1, Juni, hal. 15-17.
[3] Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir; “Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 425, di bawah title “kekerasan”.
[5] Listia, Romdiyah. Skripsi: Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 24.
[6] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 25-27.
[7] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 27-30.
[8] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 30-33.
[9] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 37-39.
[10] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 42.
[11] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 45.
[12] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 46.
[13] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 46.
[14] Fatima Mermissi, “Menengok Kontrovensi Peran Wanita dalam Politik", alih bahasa M. Masyhur Abadi,(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), hlm. 218.
[15] Ahmad Hanafi, Asas- asas Hukum Pidana Islam, cet. IV ,(Jakarta:Bulan Bintang, 1990), hlm 7.
[16] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 48.
[17] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 49.
[18] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. hlm. 50.
[19] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA) hlm. 76-79.
[20] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA)hlm. 81.
[21] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA) hlm. 92.
[22] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA)hlm. 92

Tidak ada komentar:

Posting Komentar