Latar
Belakang
Setiap keluarga pada hakekatnya menginginkan
terciptanya suatu keluarga yang harmonis. Hubungan antara suami dan istri
merupakan hubungan dua hati dan dua jiwa untuk mewujudkan kebahagiaan dalam
rumah tangga. Pada prinsipnya, Islam sudah mengatur berbagai hal dalam
kehidupan rumah tangga. Di samping itu, islam juga mengemban misi utama untuk
pembebasan, termasuk pembebasan dari kekerasan, menuju peradaban yang egaliter.
Namun, realitas menunjukkan bahwa kekerasan terhadap
istri justru semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kita sering mendengar
informasi baik dari media massa maupun media cetak bahwasannya kekerasan
terhadap rumah tangga sangat memprihatinkan. Ada sebuah penelitian terhadap
tindak kekerasan dalam rumah tangga yang disidangkan Pengadilan Negeri Ambon
diketahui bahwa kekerasan yang dialami korban (istri pelaku) berupa kekerasan
fisik, psikis, dan ekonomi. Pada tahun 2007-2011 yang dijadikan sampel
menunjukkan bahwa kekerasan fisik sebanyak tujuh kasus (77,78%), kekerasan
psikis sebanyak satu kasus (11,11%) dan kekerasan ekonomi sebanyak satu kasus
(11,11%).[1]
Yang lebih parah lagi adalah adanya suatu pandangan
bias gender yang memahami bahwa Al-Qur’an membenarkan tindakan kekerasan
tersebut. Bahkan seorang ulama yaitu Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani
membolehkan memukul istrinya yang tidak berhias sesuai keinginan suami,
menampakkan wajahnya kepada orang lain, dan keluar rumah tanpa izin.
Melihat realitas di atas, maka di perlukan adanya
pemahaman-pemahaman yang mendalam melalui perspektif Fiqih Islam mengenai hadis
yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga. sehingga kita bisa
mengetahui nilai-nilai universal serta kontekstualisasi dari hadis tersebut.
Pembahasan
A. Hadis Tentang KDRT ( Kekerasan Dalam Rumah Tangga)
Penelusuran hadis dilakukan terutama pada kitab-kitab
Hadis rujukan utama yang enam (kutub as-Sittah). Kompilasi ini dilakukan
untuk memperoleh gambaran singkat mengenai teks-teks Hadis yang bisa
dikategorikan sebagai narasi positif untuk gagasan anti KDRT dalam Islam.
Penulusuran dalam Kitab shahihayn menurunkan teks terkait tema pemukulan istri
dalam tiga tempat: di pembahasan ke-65 mengenai tafsir dalam kitab al-Tafsir,
ke-67 mengenai pernikahan dalam kitab al-Nikah, dan ke-78 dalam kitab al-Adab.
Secara khusus, Bukhari menulis tema pasal kemakhruhan
memukul istri dalam kitab al-Nikah, yang mengindikasikan secara tegas bahwa
memukul istri itu sama sekali tidak dianjurkan, bahkan makruh hukumnya.
Teks-teks utama dari Shahih Bukhari jatuh pada Riwayat Abdullah Zam’ah r.a. semua riwayat ini memuat
tema yang serupa, dengan sedikit perbedaan redaksi, tetapi yang satu bisa
menjelaskan yang lain. Sala satu teks tersebut adalah:
حدثنا محمد بن يوسف،
حدثنا سفيان، عن هشام، عن أبيه، عن عبد الله بن زمعة، عن النبي صلى الله عليه وسلم
قال: «لَا يجلد أحدكم امرأته جلد العبد، ثم يجامعها في آخر اليوم»
Artinya
:
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin yusuf, telah menceritakan kepada kami
Sufyan dari Hisyam dari Bapaknya dari Abdullah bin Zam’ah dari Nabi SAW, beliau
bersabda : “ Janganlah salah seorang dari kalian memukul isterinya, seperti ia
memukul seorang budak, namu saat hari
memasuki senja ia pun menggaulinya.” (HR. Bukhori no. 4942)
Teks Abdulah bin Zam’ah ini tercatat dalam berbagai
redaksi. Dalam perhitungan digital Mawsu’at al-Hadits al-Syarif ada di nomor 4992, 5250 dan 6111 dari Sahih
al-Bukhari. Teks ini juga dicatat dalam Sahih Muslim no. 7370, Sunan
at-Turmudzi no. 3666, Ibn Majah 2059, dan Musnad Ahmad no. 16472,16473, 16474
dan 16475.[2]
1.
يجلد : menurut kamus munawwir artinya
mencambuk, mendera. Merupakan fi’il mudhori yang berasal dari
kata جلد
2.
امرأة :
3.
عبد :
4.
يجامع : merupakan fi’il mudhori’ dari kata جامع yang artinya
adalah
B. Tinjauan umum KDRT
1. Pengertian Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah
Tangga
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kekerasan diberi tiga pengertian. Pertama,
sebagai suatu perihal (yang bersifat/berciri) keras. Kedua, perbuatan
seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain
atau menyebabkan kerusakan fisik dan barang orang lain, yang ketiga,
kekerasan diartikan sebagai paksaan.[4]
Pengertian
kekerasan terhadap perempuan dalam hal ini terlihat sangat luas, mencakup
tindakan secara verbal maupun fisik, yang dilakukan secara langsung maupun
tidak langsung, yang berakibat secara fisik maupun non fisik. Bahkan tindakan
dari aspek ekonomis yang tidak menguntungkan perempuan seperti tidak memberi
nafkah kepada istri, juga dikategorikan sebagai bentuk kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga, sebagaimana yang diungkapkan oleh Elli N. Hasbianto. Elli
N.Hasbianto memberi definisi kekerasan terhadap perempuan sebagai suatu bentuk
penganiayaan (abuse) secara fisik
maupun emosional atau psikologis yang merupakan suatu cara pengontrolan
terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga. Bentuk kekerasan itu ada empat
macam, kekerasan secara seksual, fisik, emosional dan ekonomi.[5]
2. Bentuk-Bentuk Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah
Tangga
Beberapa
bentuk kekerasan dari rumah tangga, sebagai berikut[6]:
1. Kekerasan
Fisik
Kekerasan
berbasis gender sering diwujudkan dalam berbagai cara. Salah satu cara
yang paling nyata adalah melaukan
penyerangan secara langsung terhadap fisik atau tubuh perempuan. Perilaku
kekerasan yang termasuk dalam golongan ini adalah menampar, memukul, menarik
rambut (menjambak), menendang, menyundut dengan rokok, melukai dengan senjata
dan sebagainya. Biasanya luka-luka atau tanda-tanda bekas kekerasan itu tampak,
seperti muka biru atau lebam, gigi patah atau bekas luka lainnya.
2. Kekerasan
Emosional/Psikologis
Kekerasan
psikologis mencakup penyiksaan secara emosional dan verbal terhadap korban
sehingga melukai kesehatan mental dan konsep diri mereka. Akibatnya makin lama
keyakinan mereka terhadap harga diri, konsep diri dan perasaan bahwa ia punya
hak untuk dihormati dan diperlakukan dengan baik mulai terkikis oleh penyiksaan
batin yang terus menerus. Kekerasan ini dapat berupa celaan, makian, ancaman
untuk melukai atau membunuh korban atau anak-anak, merusak barang-barang,
pengisolasian perempuan dari kebutuhan-kebutuhan dasarnya (nafkah lahir batin),
rasa yang ditanamkan sedemikian rupa dan sebagainya. Masuk juga dalam kekerasan
emosional ini penyelewengan yang dilakukan oleh suami yang sering diistilahkan
memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) atau meniggalkan istri untuk menikah lagi
tanpa pemberitahuan.
3. Kekerasan
Sosial
Kekerasan secara sosial merupakan tingkah laku laki-laki
yang ditujukan untuk mengisolasi perempuan dari teman-teman dan keluarganya,
penghinaan yang dilontarkan di depan umum, pencemaran nama baik, memenjarakan
perempuan dan sebagainya.
4. Kekerasan
Seksual
Kekerasa
seksual meliputi semua aktivitas sosial yang dipaksakan pada perempuan (tanpa
persetujuan pihak perempuan). Meskipun aktivitas seksual yang terjadi adalah
antara suami dan istri, tetapi karena sifatnya memaksa, maka termasuk sebagai
kekerasan dan penyiksaan, karena tindakan itu dilakukan sebagai ekspresi
kekuasaan (power), dan bukan semata-mata dorongan seksual yang tidak
terkontrol. Kekerasan seksual tercermin
dalam bentuk pemaksaan melakukan aktivitas yang bagi perempuan merupakan hal
yang aneh, menyakitkan atau menjujikkan.
5. Kekerasan
Ekonomi
Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi antara lain, tidak member
nafkah kepada istri, membatasi istri dengan memanfaatkan ketergantungan ekonomi
istri, menguasai hasil kerja istri, memaksa istri bekerja untuk memenuhi
kebutuhan suami dan sebagainya.
3.
Realitas Kekerasan terhadap Istri dalam Rumah Tangga
Berikut
ini dikemukakan beberapa realitas kekerasan yang terjadi terhadap istri dalam
rumah tangga yang pernah dirangkum oleh Rifka Annisa, sebagai berikut[7]:
a. Kekerasan
terhadap istri dapat terjadi pada pasangan yang memulai perkawinannya dengan
komitmen yang baik dan saling mencintai.
b. Kekerasan
terhadap istri dapat terjadi pada pasangan yang berpendidikan tinggi.
c. Kekerasan
terhadap istri dapat terjadi pada pasangan golongan sosial ekonomi kuat.
d. Kekerasan
terhadap istri seringkali tidak disebabkan oleh masalah besar, bahkan
seringkali tidak ada permasalahan yang dapat dijadikan alasan.
e. Kekerasan
terhadap istri sering dilakukan oleh laki-laki yang tampaknya sopan dan
bertanggung jawab, sehingga kekejamannya tidak tampak oleh orang lain.
f. Kekerasan
terhadap istri lebih banyak terjadi terhadap istri yang mempunyai
ketergantungan ekonomi dan emosional pada suami.
g. Kebanyakan
perempuan merasa bahwa dirinyalah yang bersalah dan telah menjadi penyebab
suaminya marah dan memukulnya.
h. Kekerasan
terhadap istri (terutama yang fisik) biasanya punya siklus tertentu, yakni masa
pemukulan-minta maaf-bulan madu-reda-pemukulan lagi dan seterusnya.
i.
Kekerasan
terhadap istri cenderung akan ditiru oleh anak laki-laki dan biasanya kelak
mereka akan mempraktekannya pada pasangannya.
4. Sebab-Sebab Terjadinya Kekerasan terhadap Istri
dalam Rumah Tangga
Secara
garis besar beberapa faktor yang sangat dominan atau banyak dikemukakan sebagai
penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut[8]:
a. Budaya
Patriarkhi
Budaya
patriarkhi adalah budaya masyarakat yang meletakkan laki-laki sebagai makhluk istimewa,
memiliki nilai lebih, unggul, diutamakan dan meletakkan perempuan sebagai
makhluk yang memiliki kekurangan, lemah, dinomor duakan.
b. Relasi
Kuasa yang Timpang
Sistem sosial kita
(keluarga) mendorong perempuan untuk bergantung kepada suami khususnya ekonomi.
Hal ini membuat perempuan berada dibawah kuasa suami. Akibatnya, relasi menjadi
tidak secara (timpang). Di satu sisi, perempuan diharuskan patuh tapi di sisi
lain, suami merasa mampu dan mudah bertindak semaunya, dalam kondisi ini
laki-laki berpeluang melakukan kekerasan.
c. Perilaku
Hasil Meniru (Role Modelling)
Anak
(laki-laki) yang tumbuh dalam lingkungan dimana ayahnya suka memukul ibunya,
cenderung akan meniru pola yang sama ketika memiliki pasangan (istri).
d. Pemahaman
Keagamaan
Ada beberapa ajaran
agama, terutama yang berhubungan dengan laki-laki dan perempuan (suami-istri)
yang ditafsirkan secara keliru. Hal itu menimbulkan anggapan bahwa laki-laki
memiliki kekuasaan terhadap perempuan. Misalnya ayat tentang nusyuz
dalam al-Qur’an. Ayat ini kemudian memunculkan keyakinan bahwa suami boleh
memukul istri, tanpa memelajari tentang apa dan bagaimana nusyuz itu.
Padahal jika dipelajari secara seksama, justru pesan yang dikandung menyiratkan
perintah agar suami “berlaku baik dan objektif” (mu’asyarah bi al-ma’ruf).
5. Dampak yang Ditimbulkan oleh Kekerasan terhadap
Istri dalam Rumah Tangga
a. Dampak
Kekerasan terhadap Istri[9]
·
Yang bersifat
fatal, pembunuhan, bunuh diri dan kematian istri.
·
Tidak fatal:
1. Kesehatan
fisik: luka, cacat fungsi tubuh, kondisi kesehatan buruk dan cacat permanen.
2. Kondisi
kronis: sindrom sakit yang parah.
3. Kesehatan mental: stress pasca trauma, depresi, cemas,
panik, masalah makan, penghargaan terhadap diri yang rendah.
4. Perilaku
yang tidak sehat: merokok, penggunaan alcohol dan obat, tidak melakukan
aktifitas fisik.
5. Kesehatan
reproduksi: penyakit menular seksual (PMS),tidak berfungsinya organ seks,
komplikasi kehamilan, kuguguran.
b. Dampak
Kekerasan terhadap Anak
Dampak
terhadap anak-anak secara umum adalah anak akan mengalami gangguan petkembangan
dan emosional pribadi. Anak akan kehilangan rasa percaya terhadap orang tua dan akan selalu merasa bersalah
karena orang tuanya tidak akur. Di samping itu anak juga akan merasa takut dan
berpikir barangkali ia suatu saat akan mengalami kekerasan juga, kemudian
merasa cemas dengan masa depannya, dan anak akan merasa sedih karena kehilangan
orang tua kalau mereka bercerai.
C. Pandangan Hukum Islam terhadap Kekerasan dalam Rumah Tangga
Pandangan
hukum islam tentang kekerasan terhap istri dalam rumah tangga, sebagai berikut:
a.
Dari
perspektif
maqasid.
Pernikahan dalam islam menjadi institusi sebagai
interaksi antar personal dengan baik untuk menciptakan ketenangan, kasih sayang
dan ketrentraman. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an: an-Nisa (4): 19.
$ygr'¯»t z`Ï%©!$# (#qãYtB#uä w @Ïts öNä3s9 br& (#qèOÌs? uä!$|¡ÏiY9$# $\döx. ( wur £`èdqè=àÒ÷ès? (#qç7ydõtGÏ9 ÇÙ÷èt7Î/ !$tB £`èdqßJçF÷s?#uä HwÎ) br& tûüÏ?ù't 7pt±Ås»xÿÎ/ 7poYÉit6B 4 £`èdrçÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4 bÎ*sù £`èdqßJçF÷dÌx. #Ó|¤yèsù br& (#qèdtõ3s? $\«øx© @yèøgsur ª!$# ÏmÏù #Zöyz #ZÏW2 ÇÊÒÈ
“Wahai orang-orang yang beriman!
Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan jangalah kamu
menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah
kamu berika kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan kji yang
nyata. Dan bergaullah denga mereka dengan cara yang patut. Juka kmu tidak
menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai
sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.”
Dari
ayat di atas dapat diambil pengertian bahwa hubungan dalam pernikahan terhapat
hubungan yang harus dijalin dengan baik, dengan kata-kata yang ma’ruf.
Tentu bila tindakan-tindakan kekerasan terjadi terhadap istri maka apa yang
menjadi tujuan syari’ah sudah tidak ada lagi. Semua jenis perlakuan yang direkontruksi dalam
tindak kekerasan terhadap isteri, islam dengan tegas menentang penganiayaan-penganiayaan terhadap jiwa.
Di
dalam surat ini menjelaskan tentang kekuasaan hierarki laki-laki atas perempuan. Secara spesifik kekerasan suami terhadap istri di legitimasi
secara teologis dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34,
yang menyatakan bahwa memukul isteri diperbolehkan. Bahkan
ada yang berpendapat bahwa memukul isteri adalah cara yang dianjurkan al-Qur’an
unutk memberi pelajaran terhadap isteri nusyuz.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
“Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah meberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka yang taat (kepada
Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga
(mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu
beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah
ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari alasan unutk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi, Maha Besar”
Sepintas
ayat ini tampak memperbolehkan pemukulam terhadap isteri. Pandangan ini bisa
muncul bila kita melihat apa yang tersurat dalam zahir ayat. Pertanyaan yang
perlu diajukan kemudian adalah apakah memang pemukulan itu merupakan anjuran
al-Qur’an, ataukah sebagai pintu darurat kecil yang semestinya tidak dilakukan?
Pertanyaan
ini penting untuk dikemukakan, mengingat al-Qur’an diturunkan pada masyarakat
yang demikian tidak memanusiakan perempuan. Jangankan “hanya” dipukul,
perempuan pada masa pra-islam bahkan “berhak” dibunuh, dijadikan benda warisan,
dan sebagainya tanpa boleh bela diri. Dengan kata lain nusyuz pada saat itu
merupakan bentuk kekerasaan yang termasuk “ringan” dibanding perilaku yang
biasa dilakukan masyarakat pra-islam.
Kalau demikian halnya, pernyataan al-Qur’an yang
menjadikan pemukulan sebagai alternative terakhir bagi suami yang isterinya nusyuz
tidak boleh dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap
isteri. Sebab
dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama aman dan efektif ketimbang
pemukulan itu sendiri, yakni mauizah dan pisah ranjang. Dengan melihat setting
sosial budaya demikian, hal tersebut merupakan tradisi yang secara bijaksana
dikehendaki oleh al-Qur’an untuk ditinggalkan.
Nusyuz
oleh para ahli hukum islam diterjemahkan
sebagai suatu perbuatan durhaka dan tidak taat dari istri kepada suami.
Asy-
Syaukuni mengomentari penyelesaian kasus
nusyuz ini mengatakan bahwa suami tidak dibenarkan untuk langsung memukul istri
yang nusyuz. “Pemukulan “ dapat
dilakukan apabila istri merubah sikap
setelah diberi nasihat dan tidak
dikucilkan dari tempat tidur. Kadar pukulannya pun tidak boleh sampai melukai
anggota badan.[12]
Semangat menghindari dari pemukulan semakin jelas ketika
kita menelaah hadis Nabi. Di dalam literatur hadis, pelakuan untuk berbuat mauizah
dan pisah ranjang merupakan cara
yang dianggap paling aman dan tidak banyak risiko dari pada melakukan kekerasan
terhadap istri. Kesaksian juga terekam dalam hadis-hadis yang menjadi dalil
yang kuat bahwa pada hakikatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan
isteri oleh suami. Dalam ucapan, nasihat dan perilaku
hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak pernah menganjurkan apalagi
melakukan pemukulan terhadap isteri. Oleh karena itu, jika kita sepakat bahwa
hadis memiliki fungsi penjelas terhadap al-Qur’an, maka kita pun bisa
mengatakan bahwa sekalipun ada redaksi wadribuhunna dalam al-Qur’an
namun itu bukan untuk dilakukan melainkan untuk dihindari dan ditinggalkan
sebagaimana yang dicontohkan Nabi.
“pemukulan” adalah salah satu bentuk kekerasan fisik yang
mendapatkan pengesahan secara yudiristik oleh al-Qur’an untuk dilakukan seorang suami sebagai jalan
terakhir untuk mengembalikan stabilitas
rumah tangga. Para ahli islam sepakat dengan tidak boleh sampai melukai
fisik atau yang dapat membahayakan tubuh, tidak pada bagian sensitif seperti
wajah dan kepala. mereka sepakat dengan jalan terbaik adalah menghindari
pemukulan.[13] Rasulullah yang merupakan sosok yang menjadi panutan
umat, dalam sejarah hidupnya tidak pernah melakukan pemukulan terhadap
perempuan dan istri-istri beliau. Rasulullah lebih sering
meninggalkan rumah bila menghadapi istri-istrinya.[14]
2. Hukum
islam memandangnya sebagai tindak pidana
Yang
dimaksud tindak pidana disini adalah terutama yang menyangkut kekerasan fisik
yang dapat melukai anggota badan. Sebab tindak kekerasan terhdap istri dalam
konteks fisik masuk dalam terma jarimah hudud,[15] sesuatu yang perlu dihukum bagi
pelanggarnya. Hukum islam
klasik menerapkan ini dalam konteks diyat. Diyat adaah sejumlah ganti rugi
harta yang harus diberikan kepada si korban atau wali korban. Meski umumnya
dalam hal fiqh, diyat ini dimasukan dalam konteks pembunuhan karena”sengaja”
atau yang “serupa”sengaja”.[16]
As-Sayyid as-Sabiq memasukan dalam konteks diyat pula,bila
tindak kekerasan menghilangkan anggota tubuh, mulut, telingan tangan jari-jari,
kaki, mata, dan keseluruhan panca indera yang dapat menghilangakan fungsi
keinderaan tersebut maka si kobran berhak memperoleh diyat.[17]
Seberapa
besar ganti rugi dalam diyat tindak kekerasan ini tidak bisa ditentukan oleh
individu masing-masing, terkecuali kalau memang ada perdamaian. Tetapi bila
tidak, harus dibawa ke pengadilan. Sebab karakter dari hukum jenis ini
menyangkut hubungan sosial kemasyarakat yang penetuan hukumnya diserahkan pada
hakim. Karena diyat ini sebagai
ganti rugi yang dalam fiqh dihubungkan dengan konsep qisas maka ganti rugi itu
sebisa mungkin mendekati harga yang sepadan.[18]
D. Upaya Preventif mengatasi KDRT dalam Islam
1.
Perlindungan Islam terhadap Perempuan Korban KDRT
Agama
Islam sepenuhnya memberikan perlindungan terhadap perempuan dan menolak secara
tegas akan praktik-praktik kekerasan. Seperti yang terkandung dalam QS.
An-Nisa’ ayat 124:
ومن
يعمل من الصلحت من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون نقيرا
Dan
dipertegas oleh ayat lain pada QS. An-Nahl ayat 97:
من
عمل صلحا من ذكر أو أنثى وهو مؤمن فلنحيينه حيوة طيبه ولنجزينهم أجرهم بأحسن ما
كانوا يعملون
Dalam
Islam juga terdapat konsep mengenai musyawarah, dimana dalam praktik kehidupan
Rasulullah SAW. Musyawarah sering dilakukan, terutama ketika menyangkut
kepentingan umum. Agama pun menganjurkan konteks musyawarah dalam penyelesaian
persengketaan suami istri, dengan mengangkat hakim atau pihak ketiga. Firman
Allah dalam QS. An-Nisa’ ayat 35:
وإن
خفتم شقاق بينهما فابعثوا حكما من أهله وحكما من أهلها إن يريدا إصلحا يوفق الله
بينهما إن الله كان عليما خبيرا
Secara
terbuka, al-Quran memandatkan perlunya pihak ketiga sebagai penengah karena
masalah rumah tangga dianggap sebagai masalah masyarakat pula. Di Indonesia
sendiri, terdapat UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga, yang merupakan landasan hukum kuat untuk mewujudkan pencegahan
sekaligus penghapusan tindak kekerasan disamping sebagai perlindungan korban
serta penindakan terhadap pelaku kekerasan.[19]
Realitasnya
di Indonesia selama ini, kondisi dari budaya yang timpang telah menyebabkan
hukum dan sistem hukum (materiil hukum, aparat hukum, budaya hukum) yang ada
kurang responsif dalam melindungi kepentingan perempuan. Upaya perlindungan ini
tidak hanya dapat dilakukan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan,
namun juga dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga lain, yakni lembaga-lembaga
sosial yang berada di lingkungan masyarakatnya.[20]
2.
Pencegahan
Mengatasi KDRT dalam Islam
Kekerasan
terhadap perempuan berarti kekerasan yang melanggar hak asasi perempuan yang
juga termasuk melanggar hak asasi manusia sebagaimana ajaran Islam. Dapat
disimpulkan bahwa pandangan Islam dan gender memberikan perlindungan perempuan
korban KDRT dalam banyak aspek. Dalam pandangan gender, perlindungan KDRT
dengan dikeuarkannya UU. No. 23 Tahun 2004 mempunyai asas dan tujuan, yaitu
penghormatan hak asasi manusia, keadilan dan kesetaraan gender anti
deskriminasi, dan perlindungan korban konteks perlindungan perempuan dalam
rumah tangga, sedangkan tujuan dari diberlakukannya UU tersebut untuk mencegah
segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, melindungi korban kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, memelihara kebutuhan
rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.[21]
Prinsip
ini sesuai dengan pendapat Islam yang tertera dalam teks-teks kitab suci
al-Quran memberikan banyak pemahaman bahwa dalam hubungan rumah tangga secara
ma’ruf dalam arti setara, adil dan demokratif. Dalam terminologi ushul fiqh,
hal ini selaras dengan apa yang menjadi tujuan hukum, yakni perlindungan hukum
terhadap lima aspek (al-kulliyat al-khams
atau ad-daruriyah al-khams). Lima
aspek perlindungan itu adalah agama (hifz
ad-din), jiwa (hifz an-nafs),
akal (hifz al-aql), keturunan (hifz an-nasl), harta (hifz al-mal). Hal ini menegaskan bahwa
hukum Islam datang ke dunia membawa misi perlindungan yang sangat mulia, yaitu
sebagai rahmat bagi seluruh manusia di muka bumi ini (QS. Yunus ayat 57; QS.
Al-Anbiya’ ayat 107).[22]
Penutup
A. Analisis:
1.
Hadis dari Shahih Bukhari jatuh tentang KDRT jatuh pada
Riwayat Abdullah Zam’ah r.a. pada tema pasal kemakhruhan memukul istri dalam
kitab al-Nikah, yang mengindikasikan secara tegas bahwa memukul istri itu sama
sekali tidak dianjurkan, bahkan makruh hukumnya.
2.
Dari perspektif maqasid pernikahan dalam islam menjadi institusi
sebagai interaksi antar personal dengan baik untuk menciptakan ketenangan,
kasih sayang dan ketrentraman. Sebagaimana yang disebutkan dalam al-qur’an:
an-Nisa (4): 19. Namun, ketika
terjadi adanya kekerasan dalam rumah tangga maka akan muncul berbagai problem
dalam kehidupan rumah tangga tersebut sehingga mengakibatkan prinsip maupun
tujuan utama dari pernikahan menjadi hilang.
3.
Kekerasan suami terhadap istri di legitimasi secara
teologis dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34, yang menyatakan bahwa memukul
isteri diperbolehkan, pernyataan al-Qur’an yang menjadikan pemukulan sebagai
alternative terakhir bagi suami yang isterinya nusyuz tidak boleh
dipahami sebagai anjuran untuk berbuat kekerasan terhadap isteri. Sebab
dalam ayat yang sama dikemukakan cara yang lebih utama aman dan efektif
ketimbang pemukulan itu sendiri, yakni mauizah dan pisah ranjang.
4.
Para ahli Islam sepakat bahwa kriteria pemukulan tersebut
tidak boleh sampai melukai atau dapat membahayakan tubuhnya, tidak pada wajah
atau kepala. Mereka juga sepakat bahwa yang terbaik adalah tidak menggunakan
kekerasan itu.
5.
Kesaksian dalam hadis-hadis yang menjadi dalil yang kuat,
bahwa pada hakikatnya Islam tidak menghendaki terjadinya pemukulan isteri oleh
suami. Dalam
ucapan, nasihat dan perilaku hidupnya Rasulullah sebagai panutan umat tidak
pernah menganjurkan apalagi melakukan pemukulan terhadap isteri.
6.
Kekerasan terhadap isteri dalam rumah tangga menurut
hukum Islam menyatakan sebagai suatu tindakan yang tercela, yang mana
tindakan-tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana.
B.
Kesimpulan
Berdasarkan
hadis riwayat Bukhori no. 4942 mengindikasikan bahwa memukul istri itu tidak dianjurkan,
bahkan makhruh hukumnya. Dari prespektif maqashid, kekerasan dalam rumah tangga
menyalahi tujuan awal dari pernikahan dan di lain sisi tujuan dari pelarangan
kekerasan dalam rumah tangga ternyata ingin memanusiakan manusia.
Wallahu
A’lam Bishawab.
Daftar
Pustaka
Arifin
, Bustanil.: “Kekerasan dalam Rumah Tangga Presfektif Gender dan Hukum
Islam” Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA)
Hanafi, Ahmad. 1990. “Asas- asas Hukum Pidana Islam”, cet. IV ,(Jakarta:Bulan Bintang)
Fakultas Syariah IAIN Ambon “Kekerasan dalam Rumah
Tangga” La Jamaa, Vol. XIII, No. 1, Januari 2013, hal.65.
Fatima Mermissi, 1997. “Menengok Kontrovensi Peran
Wanita dalam Politik", alih bahasa M. Masyhur Abadi,(Surabaya: Dunia
Ilmu)
Hakim, Azizal. 2006. Skripsi: “Kekerasaan Suami
terhadap Isteri prespektif hukum pidana Islam” (Yogyakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN SUKA)
Kodir,
Abdul. “Kekerasan dalam Ruamah Tangga (KDRT) Prespektif Islam: Kompilasi
Awal Teks-Teks Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol. 1, No. 1,
Juni 2016.
Munawwir,
Ahmad Warson, Al-Munawwir; “Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” edisi kedua
(Surabaya: Pustaka Progresif, 1997)
Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka. 1993).
Listia,
Romdiyah. 2006. : “Kekerasan dalam Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum
Isalam dan Hukum Positif)” . Skripsi (Yogyakarta: Fakultas Syariah
dan Hukum UIN SUKA).
[1] Fakultas Syariah IAIN Ambon “Kekerasan dalam Rumah
Tangga” La Jamaa, Vol. XIII, No. 1, Januari 2013, hal.65.
[2] Kodir, Abdul, 2016, “Kekerasan dalam Ruamah Tangga (KDRT)
Prespektif Islam: Kompilasi Awal Teks-Teks Rujukan” Mahkamah: Jurnal Kajian
Hukum Islam Vol. 1, No. 1, Juni, hal. 15-17.
[3] Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir;
“Kamus Arab-Indonesia Terlengkap” edisi kedua (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997)
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1993, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka), hlm. 425, di
bawah title “kekerasan”.
[5] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam
Rumah Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 24.
[6] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 25-27.
[7] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 27-30.
[8] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 30-33.
[9] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 37-39.
[10] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 42.
[11] Listia, Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga
(Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 45.
[12] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga
(Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 46.
[13] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah Tangga
(Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta: Fakultas
Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 46.
[14] Fatima Mermissi, “Menengok Kontrovensi Peran
Wanita dalam Politik", alih bahasa M. Masyhur Abadi,(Surabaya:
Dunia Ilmu, 1997), hlm. 218.
[16] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 48.
[17] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. 49.
[18] Listia Romdiyah. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga (Studi Perbandingan Hukum Isalam dan Hukum Positif)” (Yogyakarta:
Fakultas Syariah dan Hukum UIN SUKA, 2006) hlm. hlm. 50.
[19] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN SUKA) hlm. 76-79.
[20] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN SUKA)hlm. 81.
[21] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan Hukum
UIN SUKA) hlm. 92.
[22] Arifin , Bustanil. Skripsi: “Kekerasan dalam Rumah
Tangga Presfektif Gender dan Hukum Islam” (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan
Hukum UIN SUKA)hlm. 92
Tidak ada komentar:
Posting Komentar