Latar belakang
Manusia
sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga
bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan unutk menemukan kebenaran. Ilmu
pengetahuan adalah kebenaran itu sendiri.
Filsafat
dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunkan rasio dalam
menyelidiki suatu objek atau menemukan kebenaran yang terdapat dalam objek yang
menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Seiring
dapat dibenarkan oleh presepsi-presepsi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai
universal filsafat. Dalam kajian filsafat ilmu perlu dihadirkan pembahasan
mengenai kebenaran agar memperoleh wacana yang memadai dalam konteks untuk
menemukan kebenaran.
Terori-teori
yang hadir di dalam kebenaran cukup banyak dan luas, sehingga menyentuh
dimensi-dimensi yang mendalam. Untuk pembahasan di dalam makalah ini, kami
memfokuskan di dalam teori ilmu pengetahauan atau teori ilmiah yang menyatakan
bahwa kebenaran itu sesuai dengan asas-asas yang terdapat dalam ilmu
pengetahuan (merupakan kebenaran dari pembuktian terhadap hipotesis).
Menurut Jujun
S. Suriasmantri dalam tulisannya yang berjudul Hakikat Dasar Keilmuan (1998),
ilmu merupakan suatu pengetahaun yang menjelaskan rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu membatasi ruang jelajah
kegiatan pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penjelajahan keilmuan
meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat
pancaindranya.
Dalam
prespektif epistemologi, ilmu selalu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam
mempelajari alam, yakni pikiran dan indra. Epistemologi keilmuan pada
hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan berpikir
secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam mempelajari
gejalan alam unutk menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam
menemukan kebenaran, menyandarkan dirinya kepada salah satu dari tujuh kriteria
atau teori kebenaran yaitu: (i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik;
(iv) pragmatik; (v) esensialistik; (vi) konstruktivistik; dan (vii)
religuistik. Untuk pemahaman secara komprehensif mengenai Kebenaran Ilmiah
dan Non Ilmiah, maka di dapati rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.
Bagaimana definisi
kebenaran dan kebenaran ilmiah?
2.
Bagaimana Definisi Ilmiah dan Karakteristiknya?
3.
Bagaimana macam-macam
kebenaran ilmiah dan sifat-sifatnya?
4.
Bagaimana cara penemuan kebenaran secara ilmiah?
5.
Cara Penemuan Kebenaran secara ilmiah?
6.
Pengertian kebenaran
non-ilmiah?
7.
Bagaimana cara penemuan
kebenaran non ilmiah?
1.
Definisi Kebenaran dan Kebenaran Ilmiah
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah
satu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika Subyek
hendak menuturkan kebenaran artinya adalah preposisi yang benar. Dengan kata
lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang mengikuti di
belakangnya. Sehingga kebenaran akan memiliki presepsi dan pengertian yang
bebeda satu sama lain. Secara umum terdapat tiga macam definisi kebenaran,
yaitu:[1]
1)
Kebenaran berkaitan dengan
kualitas pengetahuan. Terbagi menjadi 4, yaitu:
a)
Pengetahuan Biasa (Ordinary Knowledge), pengetahuan ini memiliki
kebenaran yang bersifat subjektif.
b)
Pengetahuan Ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek
yang spesifik dengan metodologi yang telah disepakati para ahli ilmu tersebut. kebenarannya
bersifat relative, karena selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil
penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan dari para ilmuwannya.
c)
Pengetahuan Falsafati, kebenarannya bersifat
absolut-intersubjektif, yaitu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir
filsafat itu.
d)
Pengetahuan Agama, memiliki sifat dogmatis dan kebenarannya
bersifat mutak absolut.
2)
Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara
atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga
sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
3)
Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan
itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebih
beperan maka kebenarannya bersifat subjektif. Begitu pula sebaliknya.
2.
Definisi Ilmiah dan Karakteristik Ilmiah
Menurut kamus besar
bahasa Indonesia, pengertian ilmiah adalah segala sesuatu yang bersifat
keilmuan, didasarkan pada ilmu pengetahuan, memenuhi syarat atau kaidah ilmu
pengetahuan. Segala sesuatu
yang dibuat berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dapat disebut bersifat ilmiah.
Sesuatu
disebut ilmiah apabila memiliki patokan yang merupakan rambu-rambu untuk
menentukan benar atau salah. Karakteristik ilmiah terdiri dari empat syarat,
yaitu :[2]
1)
Objektif (Ada kesesuaian dengan objeknya/dibuktikan dengan hasil
pengindraan atau empiri).
2)
Metodik (Diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu dan
terkontrol).
3)
Sistematik (Tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri satu
sama lain saling berkaitan, saling menjelaskan sehingga keseluruhannya
merupakan satu kesatuan yang utuh).
4)
Berlaku umum /universal (Tidak hanya berlaku atau dapat diamati
oleh seseorang/ oleh beberapa orang saja, tetapi oleh semua orang dengan cara eksperimentasi
yang sama dan akan menghasilkan sesuatu yang sama/konsisten).
3.
Macam-macam kebenaran ilmiah dan sifat dari kebenaran
ilmiah.
A.
Macam-macam kebenaran ilmiah.
Macam-macam kebenaran ilmiah terlihat dari
bagaimana suatu ilmu menyadarkan dirinya kepada salah satu dari kriteria atau
teori yang berkaitan dengan kebenaran, diantaranya sebagai berikut:
a.
Koherensi
Koherensi merupakan teori
kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat, kejadia, atau informasi) akan diakui sahih/ dianggap benar apabila memiliki hubungan
dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga shahih dan dapat
dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Teori ini
juuga mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu argumenatasi. Teori
ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika terdapat konsistensi yang ditangkap
subjek yang satu dengan subjek lainnya tentang suatu realita yang sama. Makin
konsisten ide-ide atau kesan yang ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu
objek yang sama, makin benarlah ide-ide atau kesan itu.
b.
Korespondensi
Korespondensi merupakan
teori kebenaran tang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu shahih apabila
proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahaun itu.
Keshahihankorespondensi itu memilikinpertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Dengan demikian, keshahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara
langsung. Teori ini juga mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian
anatar materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai
pernyataan tersebut. Sesuatu dianggap benar apabila apa yang diungkapakan (prndapat, kejadian, informasi) sesuai dengan
fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
c.
Positivistik
Posotivisme yang dirintis
oleh August Comte (1798-1857), yang dinyatakan sebagai Bapaka ilmi Sosiologi di
Barat. Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan
sains. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrem, adlaah
pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah
“data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.
d.
Pragmatistik
Pragmatisme merupakan
teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau
tidaknya suatu penyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori
Pragmatisme berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan
langsung dengan realita objektif, pargmatisme berusaha menguji kebenaran
ide-ide melalui konsekuensi-konsekuensi dari pada praktik atau pelaksanaannya.
Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji
kemanfaatannya di masyarakat.
e.
Esensialitik
Esensialisme adalah
pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah berkembang
sejak awal peradaban umat manusia. Di dalam memberikan dasar berpijak pada
pendidikan penuh dengan fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan,
toleran dan tidak terdapat ketertarikan dengan doktrin tertentu. Esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan. Nilai-nilai yang terpilih
mempunyai tata yang jelas.
f.
Konstruktivistik
Teori konstruktivisme
didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan
menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya
bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama
ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini
menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan menjadi lebih dinamis.
g.
Religiusstik
Teori Religiusisme
memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga
makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang kebenarannya secara ontologis dan asksiologis
bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Secara pasti, manusia
tidak akan mendapatkan kebenaran mutlak, dan unutk mengukur kebenaran dalam
filsafat sesungguhnya tergantung kepada kita metode-metode unutk memperoleh
pengetahaun itu.
B.
Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah.Artinya suatu
kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya
sebagai tahap untuk memperoleh
pengetahuan ilmiah. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya
objektif maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh
fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivanya.
Mengacu pada
status ontologis objek, maka pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat
digolongkan dalam dua jenis teori, yaitu teori kebenaran korespondensi dan
teori kebenaran koherensi.Ilmu-ilmu kealaman
pada umumnya menuntut kebenaran korespondensi, karena fakta-fakta
objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi/pernyataan
(statement). Akan tetapi
berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, ilmu logika dan
matematika. Ilmu-ilmu tersebut menuntut konsistensi dan koherensi diantara
proposisi-proposisi, sehingga pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikuti teori
kebenaran koherensi.
Kebenaran dalam ilmu harus selalu
merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan dibidangnya yang
keseluruhan adalah para sarjana, maka sifat kebenaran ilmu yaitu memiliki sifat
universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut
karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam
konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih dibatasi oleh penemuan-penemuan
baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak penemuan terdahulu atau
bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal yang semacam ini maka diperlukan
suatu penelitian ulang yang mendalam. Dan jika hasilnya memang berbeda maka
kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan
bersama dengan kekuatannya atas kebenarannya masing-masing.[3]
4.
Cara Penemuan Kebenaran secara
ilmiah
Cara mencari
kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian.
Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan,
yang dimana ada suatu proses yang terjadi dari suatu rangkaian langkah yang
dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mendapatkan jawaban terhadap
sejumlah pertanyaan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh
kayakinan bahwa ada sebab pasti ada akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak
dapat dicari penjelasannya secara ilmiah.[4]
Dalam
menemukan kebenaran ilmiah maka harus
melakukan penelitian ilmiah yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[5]
Ø Metodologis, logis koheren
Ø Konsep dan teori yang baku
Ø Universalitas dan objektivitas
Ø Progresivitas dan sikap kritis
Ø Dapat digunakan
5.
Kebenaran non ilmiah
Seringnya
orang orang memandang tiga hal berikut ini sebagai kebenaran yang tidak ilmiah,
Karena di sebabkan sifat dan caranya yang sederhana ,penuh dengan kira-kira ,serta
tidak dapat di jangkau oleh alat indra manusia. hal ini mencakup : pengetahuan
biasa, mitos,dan wahyu.
a.
Pengetahuan biasa
Secara
skematik, pengetahuan manusia biasa berkembang menuju kepada yang lebih
berkualitas/valid. Validitas tersebut
sangat di tentukan oleh kerangka dasar pemikiran/ landasan epistimologinya
serta bentuk penalarannya, semakin logis dan teruji di dalam penerapannya ,
maka pengetahuan itu di sebut ilmiah.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak terlepas dari proses tahu ( ini tahap
awal) dan hasil dari itu ialah di sebut pengetahuan biasa,memori (ini tahap
kedua). Sedangkan tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan ,yaitu pengetahuan yang
tingkat validitasnya di atas pengetahuan biasa. Sebab hasil ini di perolehnya
berdasarkan pada pengujian teoritik dan penggunaan metode yang jelas dalam
analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri adalah produk
pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah teruji
,serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian
tertentu lainnya.
Untuk
kejelasan perbedaan pengetahuan biasa
(sesuai dengan maksud sub judul ini) dengan pengetahuan ilmiah,misalnya,
maka dapat di contohkan berikut ini. Setiap orang
tahu tentang air tawar (ini hasil proses
tahu ). Pengetahuan tersebut di peroleh dengan cara kontak /pengalaman
(indrawi) antar subyek dengan obyek. Wujud dari pengetahuan ini di sebut
pengalaman biasa .dikatakan demikian Karena ia hanya sekedar berupa hasil yang
terekam dalam memori manusia tanpa proses Analisa dan penggunaan metode kajian tertentu
berbeda dengan para ilmuan yang
memperoleh pengetahuan pengetahuan berdasarkan telaah akademik terhadap obyek kajiannya,
sehingga hasilnya lebih rinci, jelas dan akurat (pasti) keakuratan tersebut di
buktikan dengan adanya kemampuan menjelaskan unsur-unsur yang ada didalam air
tawar, seperti H O2. Sekaligus para ilmuan tersebut dapat membedakan antara air
tawar dengan dengan zat cair lainnya yang meskipun secara indrawi tampak sama-sama
cair juga. Sebaliknya, orang awam tidak
biasa membedakan sedetailnya.
b.
Mitos
Mitos sebenarnya bagian dari folklore,
atau cerita rakyat / hikayat. Kualitasnyaialahsetingkatdenganlegendadandongeng
Mitos itu diturunkan secara subyektif, dalam arti kebenaranya hanya berlaku
dimana berlaku dalam masyarakatnya, dan tidak ada kaitan antara pengalaman dan
penuturan. Mitos berarti menghindar realitas, bukan menghadapi realitas.
Seperti ruwatan, patung, sesaji yang dianggap symbol yang dapat menghindarkan
malapetaka.
Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi
massa. Mitos akan hidup tatkala rakyat tertekan da n penuh harapan. Mitos dapat
juga mendorong per buatan. Misal mitos tentang ratu kidul, masyarakat antusias
datang kepantai seklatan melakukan ritual dan sesaji berharap agar hidupnya
selamat, aman dan tentram. [6]
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri
manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber
pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakn. Adapun
keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari
kepercayaan.[7]
c.
Wahyu
Arti wahyu secara umum adalah bisikan,
isyarat atau petunjuk , ilham, perintah, perundingan rahasia. Dalam syara”,
wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi atau Rasul, yang berasal dari
allah dengan perantara/ tidak melalui perantara ( malaikat, mimpi, indra,
lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti, hanya Allah lah yang mengetahui hakekatnya. Logikanya,
sesuatu yang dibawa/ disampaikan oleh orang yang terkenal jujur dan
terpelihara dari kesalahan .
6.
Cara penemuan kebenaran
non ilmiah
Upaya untuk
menemukan kebenaran yang nonilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara di
antaranya ialah:[8]
1.
Penemuan secara kebetulan
Penemuan
kebenaran secara kebetulan adalah penemuan berlangsung tanpa disengaja. Dalam
sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu juga yang berguna walaupun
terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara ini untuk
dapat diterima dalam metode keilmuanb untuk mengali pengetahuan atau ilma.
2.
Penemuan “coba dan ralat”
(trial and error)
Penemuan”coba
dan ralat” terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran
yang dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas itu
mengandung unsur spekulatif atau “untung untungan”
3.
Penemuan melalui otoritas
atau kewibawaan
Pendapat orang
yang memiliki krwibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan
krkuasaan sering diterima sebagai kebenaran
meskipun pendapat itu tidak
didasarkan apds pembuktian ilmiah.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan diatas, kita dapat tarik suatu kesimpulan bahwa manusia sebagai
makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk
eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan unutk menemukan kebenaran. Ilmu
pengetahuan adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu dengan
tujuan menguak rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi menjadi
misteri.
Tidak terdapat
kebenaran yang absolut di dunia ini. Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan
itu sendiri tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu dengan
menggunakan metode kriteria kebenaran prespektif ilmu yang terdiri dari:
koherensi, korespondensi, positivistik, pragmatik, esensialistik,
kontruktivistik, dan religusistik.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Liberty, cet. V.
Maslikhah dan Peni Susapti. 2013. Ilmu
Alamiah Dasar.Yogyakarta: Ombak.
Suhasti Ermi. 2012. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Praj Media.
Ghazali, Bachir, dkk. 2005. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: UIN SUKA
Hartanto, Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press
Adib, Muhammad. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
terima kasih dengan adanya jurnal ini dapat membantu saya dalam pelajaran filsafat yang membahas tentang permasalahan mengenai kebenaran, dengan adanya jurnal tersebut saya sedikit lebih bisa memahami apa itu kebenaran non ilmiah, meskipun masih ada hal-hal lain yang belum saya ketahui. karena pada hakikatnya kita belajar karena tidak tau dan tujuan dari pemeblajaran tersebut adalah untuk mengetahui hal yang belum diketahui menjadi tau.
BalasHapus