Latar Belakang Masalah
Definisi merupakan bagian yang vital
dalam konteks memahami tentang sesuatu. Kita diharuskan untuk bisa mendudukan
definisi mengenai suatu hal. Karena definisi mengarahkan pada orientasi atau
reorientasi yang bermanfaat untuk pemahaman, sehingga target atau pencapaian
menjadi jelas. Mereka beranggapan bahwa pemaknaan harus diberi pembatas supaya
jelas dalam ruang lingkup apa pemaknaannya. (Moch Soehadha, 2008: 6)
Dikalangan ulama hadis terjadi perdebatan tentang konsep sahabat. Setiap
ulama mempunyai pegangan yang berbeda-beda dalam memberikan definisi Sahabat. Menurut
jumhur ulama hadis, yang dimaksud dengan sahabat adalah orang yang bertemu
Rasulullah Saw, dengan pertemuan (liqa) yang wajar sewaktu Rasulullah
masih hidup dalam keadaan Islam dan Iman. Sementara menurut Imam Bukhari (W. 256 H) beliau mendefinisikan
sahabat adalah orang-orang yang menyertai Nabi atau melihatnya, sedangkan dia
dari kalanngan orang-orang Islam, maka ia adalah sahabat.[1]
Sahabat sebagai seseorang yang bertemu langsung dengan Rasulullah menjadi
jembatan antara umat dan Nabi, atas hal terebut Ahlusunnah berpandangan bahwa
pengertian sahabat dengan makna yang luas telah memberikan keumuman mengenai pengertian tentang‘Adalah Sahabat (penjustifikasian)
yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah orang yang adil tanpa
terkecuali, siapa saja yang melemahkan mereka semua adalah termasuk orang yang
kafir. Hal ini mengakibatakan timbulnya pendapat yang kritis mengenai hal
tersebut. Mereka menyatakan bahwa golongan-golongan Islam yang lain, mengatakan
bahwa sifat adil itu mempunyai syarat-syarat syar’i dan sifat-sifat tertentu,
siapa saja yang pada dirinya terdapat syarat-syarat dan sifat-sifat tersebut,
maka ia baru bisa disebut sebagai orang yang adil.
Pembahasan tentang keadilan sahabat memang masih hangat menjadi
perbincangan dikalangan peneliti hadis. Kita harus mengerti batasan-batasan dan
cakupan dari definisi ‘Adalah Sahabat bukan hanya dalam satu perpektif,
supaya jelas dalam ruang lingkup apa pemaknaannya. Tapi kita harus bisa
membandingkan antara pendapat-pendapat untuk mendapatkan makna yang tepat
mengenai pengertian tersebut.
Atas hal tersebut, maka kita perlu mengetahui mengenai antitesis dari ‘Adalah
Sahabat supaya kita bisa objektif
dalam memberi penilian tidak terkungkung oleh diktat yang sudah mengakar dalam
setiap benak kaum muslimin, maka di dapatkan rumusan masalah untuk bisa
menjawab permasalah dalam latar belakang ini, sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian ‘Adalah Sahabat dalam
prespektif Ahlusunnah?
2. Bagaimana sejarah perkembangan konsep ‘Adalah Sahabat?
3. Bagaimana perdebatan di kalangan sarjana muslim mengenai ‘Adalah
Sahabat?
4. Antitesis yang diberikan oleh Ulama Khawarij, Syi’ah,
Mu’tazilah, Qadariyah mengenai ‘Adalah Sahabat?
1.
Pengertian ‘Adalah Sahabat dalam prespektif Ahlusunnah .
- Makna Ash-Shahabah (sahabat) Menurut Istilah Syara’
Ibnu kajar Al – Asqalani Asy-
Syafi’i berkata, “Ash-Shabi (sahabat) adalah orang yang bertemu
dengan Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi
Wasalam, beriman kepada beliau, dan meninggal dalam keadaan islam”.
Penjelasan
Ibnu Hajar atas definisi di atas:
1.
Yang
termasuk sahabat adalah orang yang sempat bertemu dengan Rasullulah, baik
sempat menerimanya dengan lama, maupun
sebentar.
2.
Orang yang
meriwayatkan hadis dari beliau, ataupun orang yang tidak meriwayatkan.
3.
Orang yang
ikut berperang dengannya, ataupun orang yang tidak ikut serta berperang dengan
beliau.
4.
Orang yang
sempat melihat, meskipun tidak pernah duduk menemani beliau.
5.
Orang yang
tidak pernah melihatnya karena dan sebab tertentu, seperti buta.
Pendapat
yang dibuat diatas berdasarkan pendapat yang paling shahih menurut para muhaqiq
seperti Bukhari dan Ahmad Bin Hambal. Melihat dari pendapat yang dibuat Ibnu
Hajar Al Ashqalani, maka orang yang tepat untuk dikatakan sahabat adalah:
1.
Bertemu
dengan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alahi Salam, baik yang bertemu melalui
suatu majelis, obrolan atau hanya sekedar melihatnya saja. Siapa saja yang melihat
Rasulullah atau Rasullullah melihatnya, maka orang tersebut dikatkan sebagai
sahabat, meskipun ia adalah seorang anak kecil, karena kata “melihat” tidak
dinisbatkan kepadanya, akan tetapi dinisbatkan kepada Rasullulah sendiri.
2.
Beriman
kepada Muhammad dan mengakui bahwasannya beliau adalah seorang Nabi. Jika kita
mengambil pendapat Ibnu Hajar, maka kita harus benar-benar memastikan tentang
hakikat keimanan seseorang terhadap Rasullullah. Akan tetapi, hal ini adalah
berada di luar jangkauan kemampuan manusia.
Golongan-golongan
Islam yang sepakat dengan ahlusunnah akan makna dan istilah shahabah,
akan tetapi mereka berbeda pendapat tenntang sifat adil seseorang sahabat. Orang-orang
ahlusunnah memandang bahwa seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil,
tanpa terkecuali. Akan tetapi, golongan-golongan Islam yang lain mengatakan bahwa sifat adil itu mempunyai
syarat-syarat syar’i dan sifat-sifat tertentu, siapa saja yang pada dirinya
terdapat syarat-syarat dan sifat-sifat tersebut, maka ia dapat disebut sebagai
orang yang adil.[2]
B. Beberapa definisi tentang Keadilan Sahabat
Keadilan adalah arti kata dari ‘adalah yang merupakan
bentuk masdar dari kata ‘adlun
yang berarti adil atau keadilan. Sedangkan dalam Ensiklopedia Oxford Dunia
Islam Modern, ‘adlun (adil) berarti keadaan yang seimbang, yaitu
seimbang dalam perbuatan yang dilandaskan dengan kesadaran, lahir dari akal
(rasio) bukan dari nafsu. Keadilan lebih banyak dirasakan daripada dipahami
secara rasional. Karena keadilan adalah kebijakan yang paling esensial bagi
kaum muslim, selalu berupaya mencari kesetaraan, baik bagi fitrah manusia
maupun garis-garis tatanan wahyu di dunia akal dan nafsu.
‘adil sendiri lebih banyak
tertuju pada sikap dan prilaku, bukan rasio. Dalam periwayatan hadis, ‘adil
merupakan unsur utama bagi
diterimanya seuah hadis sebelum dabit yang lebih tertuju pada rasio. Oleh
karena itu, bila seseorang dikatakan dabit akan tetapi tidak ‘adil, maka
hadisnya tidak akan diterima, dan sebaliknya, bila seorang periwayatan hadis
diangggap ‘adil tapi tidak dabit, maka hadisnya masih bisa
dipertimbangkan unutk diterima walaupun dengan beberapa catatan.
Menurut ‘Ajjaj al-Khatib, perkataan ‘adalah
bila dikaitkan dengan ilmu hadis mempunyai konotasi suatu sikap tertentu atau
sifat yang harus dimiliki, yang menjadi tolak ukur bagi seorang periwayat agar
periwayatnya bisa diterima. Dengan demikian orang yang diakui keadilanya maka
dideskripsikan sebagai orang yang dalam jiwanya tertanam sikap taqwa dan
menjaga kehormatan dirinya, yang tercermin dalam sikap kejujurannya serta
menjauhi perbuatan dosa besar dan kecil.[3]
Dari pengertian ‘adil di
atas, dapat disimpulkan bahwa kata ‘adil mempunyai arti dan maksud lebih
dari satu, baik dari segi bahasa maupun istilah. Pada initnya, sifat ‘adil
dalam periwayatan hadis mengacu kepada dua sifat mulia, yaitu bertaqwa dan
maupun memelihara muru’ah. Pada dasarnya, sifat ini berlaku umum bagi
periwayatan hadis, tidak terkecuali bagi sahabat Nabi, baik ketika ia menerima
secara langsung sabda dari Nabi maupun diantara sesama sahabat. Oleh karena
itu, sifat ‘adil ini menjadi sala satu syarat diterima dan tidaknya
suatu periwayatan hadis.
Kriteria-kriteria ‘adil,
diantaranya:
1. Beragama Islam
2. Mukallaf
3. Melaksanakan ketentuan agama
4. Memelihara Muru’ah[4]
2.
Sejarah perkembangan konsep ‘Adalah Sahabat.
Sejarah
perkembangan konsep keadilan sahabat telah mendapat pergeseran atau
perkembangan dari masa dulu ke masa sekarang. Seperti halnya yang diucapkan
oleh ‘Ajjaj al-Khatib sebagai berikut, perkataan ‘adalah bila dikaitkan
dengan ilmu hadis mempunyai konotasi suatu sikap tertentu atau sifat yang harus
dimilki, yang menjadi tolak ukur bagi seseorang periwayatan agar periwayatannya
bisa diterima. Dengan demikian orang yang diakui keadilannya maka
dideskripsikan sebagai orang yang dalam jiwanya tertanam sikap taqwa dan
menjaga kerhormatan dirinya, yang tercermin dalam sikap kejujurannya serta
menjauhi perbuatan dosa besar dan kecil.
Ulama klasik
percaya bahwa para sahabat Nabi itu mempunyai keriteria dan ketaqwaan, maka
mereka sudah tidak diraguakan lagi dan mereka pun bisa memelihara muru’ahnya,
maka bagi para ulama hadis klasik, sudah tidak perlu diadakan penilaian terhadap
kualitas para sahabat Nabi. Sehingga, walaupun para ulama hadis klasik telah
mengunkan ilmu jarh wa ta’dil dalam penelitian hadis, tapi penilian hadis hanya
unutk para rawi generasi setelah sahabat, dalam artian penilian itu terhenti
ketika sampai pada sahabat. Sehingga, dari kriteria tersebut lahirlah sebuah
dictum yang telah disepakati oleh para ulama hadis klasik bahwa semua sahabat
itu adil.
Tapi yang
menjadi pertanyaan di sini adalah, sahabat Nabi yang mana yang memang pantas
atau bisa lolos dari penilian? Karena melihat adanya fitnah besar yakni
perang yang terjadi di kalangan para sahabat. Seperti perang yang terjadi antara
sahabat Ali dan Mu’awiyah maupun sahabat Ali dengan ‘Aisyah. Sehingga
menimbulkan pertanyaan lagi, apakah ketika mereka berperang, muru’ah mereka
tetap terjaga? Sehingga apakah nantinya kualitas keadilan mereka pun
menimbulkan pertanyaan.
Kemudian,
seiring berjalannya waktu dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Lahirlah para
sarjana muslim kontemporer yang mempunyai kegelisahan terhadap ilmu hadis.
Sehingga mereka mencoba untuk melakukan kajian ulang terhadap ilmu hadis, sala
satunya ilmu rijal hadis yaitu yang berkenaan dengan keadilan sahabat. Seperti
yang telah dibahas, bahwa konsep keadilan yang telah disepakati para ulama
hadis itu terbagi pada empat keriteria. Tapi yang lebih ditekankan adalah pada
aspek ketaqwaan para sahabat dan memelihara muru’ah.
Berangkat
dari konsep keadilan itu sendiri yang telah disepakti oleh para ulama bahwa
semua sahabat itu adil. Sehingga, tidak perlu adanya kajian ulang tentang
penilian terhadpa sahabat. Maka berbeda dengan para ulama klasik, para sarjana
kontemporer melakukan sebuah terobosan yang cukup berani, yaitu perlu adanya
penilian ulang terhadap keadilan para sahabat, karena mengingat para sahabat
Nabi itu adalah manusia biasa yang tidak akan luput dari salah. Selain itu,
mengingat pernah terjadi perang anara sahabat dan penilian terhadap sahabat
yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu,
karena adanya sahabat yang saling menilai atau mengkritisi terhadap sahabat
yang lain yang terlebih dalam masalah periwayatan. Seperti hadis yang
diriwayatakan Abu Hurairah tentanng keharusan berwudu’ setelah membawa jenazah
yang ditolak oleh Ibnu ‘Abbas. Dengan melihat beberapa faktor tersebut maka
muncul satu hal yang baru yang diusung oleh ulama kontemporer untuk mengadakan
kajian ulang tentang keadilan sahabat. Sehingga telihat sekali adanya
perkembangan konsep keadilan sahabat dikalangan para kritikus hadis.[5]
3. Perdebatan seputar
keadilan sahabat di kalangan sarjana muslim.
Para sarjana
muslim, khususnya para ulama kontemporer berusaha melakukan penilian terhadap
keadilan sahabat. Mereka berpendapat bahwa para sahabat Nabi pun manusia biasa
yang tidak mungkin luput dari perbuatan salah. Sehingga para pengkaji hadis
kontemporer berusaha untuk melakukan pengkajian ulang terhadap keadilan para
sahabat Nabi.
Sebagaimana yang telah dilakukan Ahmad Amin, dalam kitabnya
fajr al-Islam yang mengkritisi hadis dalam dalam berbagai aspek, sala
satunya mengenai keadilan sahabat. Menurutnya, tidak sedikit kritikus hadis
yang menganggap semua sahabat ‘adil, sehinggga tidak ada keburukan
apapaun dalam diri para sahabat, dan tidak ada yang menisbatkan kebohongan pada
diri para sahabat. Hanya sedikit saja dari mereka para kritikus hadis yang
memperlakukan para sahabat seperti para rawi lainnya. Dengan kata lain, Amin
menjelaskan bahwa keadilan sahabat itu harus diuji kembali.
Abu Rayyah
menjelaskan bahwa keadilan semua sahabat merupakan pembicaraan penuh
perdebatan. Secara umum ia mengakui bahwa terdapat nash yang menyatakan bahwa
sahabat itu adalah orang yang adil. Namun, menurutnya beberpa kelompok telah
melampaui batas sampai mengggap bahwa semua sahabat itu adil tanpa perlu
diadakan penelitian lagi dan keharuan menerima riwayat yang datang dari mereka
tanpa keraguan, sedangkan orang-orang yang tetap memperlakukan sahabat layaknya
perwai lain mendapatkan predikat fasik.
Selanjutnya
al-Maududi yang menolak bahwa semua sahabat adil dengan interpretasi semunya
terbebas dari kesalahan dan setiap individu dari mereka tidak tersentuh
kekurangan manusiawi sedikitpun. Tidak ada keraguan bahwa mayoritas sahabat
adalah orang-orang yang memiliki tingkat keadilan yang tinggi. Akan tetapi kita
tidak bisa mengingkari pula bahwa sebagaian dari mereka telah melakukan beberapa
hal yang menyalahi sifat keadilan.[6]
4. Antitesis apa yang diberikan oleh Ulama Khawarij, Syi’ah,
Mu’tazilah, Qadariyah mengenai ‘Adalah Sahabat.
Kelompok Khawarij termasuk kelompok yang masih memakai
hadis-hadis Nabi dan mempercayainya sebagai sumber hukum Islam. Namun mereka
juga menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sebagian sahabat, khususnya
setelah periatiwa Tahkim. Sebagaimana yang dikatakan al-Siba’i, bahwa kaum
Khawarij dengan kelompoknya yang berbeda-beda itusebelum terjadinya perang
saudara antar sahabat mengganggap semua sahabat Nabi dapat dipercaya. Kemudia
mereka mengkhaffirkan ‘Ali, Utsman, pengikut perang Jamal, dua orang utusan
dalam Majelis Tahkim, pengikut perang Siffin. Mereka menolak
hadis-hadis yang telah diriwayatkan oleh orang-orang yang tersebut diatas,
demikian juga pengikut mereka, karena menurut mereka para sahabat ini mengikuti
pemimpin mereka.
Sebagian Syia’ah mendiskualifikasikan sahabat-sahabat Nabi kecuali ‘Ali dan
pengikutnya, karena menurut mereka bahwa orang yang tidak mengangkat ‘Ali
berarti telah mengkhianati wasiat Rasulullah Saw. dan keluar dari iman yang
sah. Bahkan lebih jauuh mereka telah mengkafirkan kebanyakan sahabat. Menurut
mereka persahabatan bukan merupakan jamina sifat ‘Adil bagi mereka, oleh karena itulah
kelompok Syi’ah menghalalkan kritik terhadap semua sahabat sebagaiman berlaku
atas periwayatan yang lainnya. Menurut mereka di antara para sahabat ada yang
munafik, fasik, murtad serta lari dalam medan peperangan.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa semua sahabat itu ‘Adil, kecuali
mereka yang telah memerangi ‘Ali, karena berarti mereka telah menentang
perintah yang sah. Mereka yang telah memerangi ‘Ali adalah termasuk orang-orang
yang fasik. Namun ada sebagian di antara mereka yang menganggap fasik semua
sahabat,baik yang memerangi ‘Ali maupun yang membela ‘Ali, karena tiak jelas
kelompok mana yang benar atau yang salah. Adapun kelompok Qodariyah mempunyai
pendapat yang sama dengan kelompok Mu’tazilah yang terakhir, yaitu mereka
menganggap fasik semua kelompok, baik dari yang memihak ‘Ali maupun yang
memerangi ‘Ali.[7]
- Kritik terhadap pendapat Ahlusunnah
Melihat makna sahabat secara bahasa dan istilah, para pengikut Islam
(golongan-golongan Islam) telah sepakat bahawa sahabat mencangkup orang-orang
yang masuk Islam dan menampakkan keislamannya, juga orang-orang yang masuk
sempat mendengar Rasullulah, duduk bersama beliau, atau menyaksikan belau. Akan tetapi perbedaan
diantara mereka terletak pada keumuman makna sahabat. Ahlusunnah
berpandangan bahwa pengertian sahabat dengan makna yang luas berarti bahwa para
sahabat semuanya adalah orang-orang yang adil. Akan tetapi, golongan Islam yang
lain tidak mengakui dan tidak sependapatnya dengan ahlusunnah terhadap
pendapat mereka yang menyatakan keumuman makna adil bagi semua sahabat.
Usaha untuk
mempertemukan pendapat yang berbeda, jadi sangat tepat jika para sahabat dibagi
menjadi 2 bagian besar:
1.
Sahabat-sahabat
istimewa, mereka adalah orang-orang pilihan yang mana Daulah Islamiyah menjadi
tegak karena jasa-jasa mereka yang selalu sabar terhadap bermacam-macam cercaan
dan hinaan orang-orang kafir hingga akhirnya Allah memberikan kemenangan.
Mereka semua selalu berpegang teguh kepada Allah, dan menapakkan kesetiaan mereka
terhadap Rasul-Nya dan terhadap orang yang ditunjuk oleh Rasullulah sebagai
wali beliau hingga akhirnya mereka wafat dalam keadaan berpegang teguh kepada
agama Allah. Mereka adalah orang-orang yang lurus secara ijma, tidak
satupun dari golongan Islam yang menentang pendapat tersebut.
2.
Golongan
sahabat yang kedua, adalah bermacam-macam, hanya Allah yang maha mengetahui. Di
antara mereka adalah anak-anak dan kaum munafik. Kaum munafik ditempatkan oleh
Allah dilapisan bawah neraka, meskipun mereka menampakan keislaman mereka,
mereka tetap dinamakan sebagai sahabat menurut pendapat para Ahlusunnah.[8]
B. Tingakat Para Sahabat
Secara
logika, kenyataan dan syara’, para
sahabat tidaklah berada dalam satu derajat yang sama. Di antara mereka ada yang
termasuk dalam golongan orang-orang yang Shadiq, akan tetapi tingkat ke-shadiq-an
mereka pun masih beragama. Begitu pula di antara mereka ada yang termasuk
golongan orang-orang yang kuat, lemah dan munafik, akan tetapi tingkat
kekuatan, kelemahan, dan kemunafikan mereka berbeda-beda satu sama lain.
Meskipun orang-orang ahlusunnah telah sepakat bahawa seluruh sahabat adalah
orang-orang yang lurus, akan tetapi hal ini tidak dapat membuat mereka tidak
mengakui bahwa apa yang mereka sepekati tidak sesuai dengan kenyataan, tidak
logis, dan bertentangan dengan tujuan syariat Islam.
Ibnu sa’ad
membagi sahabat menjadi 5 tingkatan. Kemudian Al-Hakim dalam Mustadraknya
sahabat menajadi 12 tingkatan.
Tingkatan
menurut Al Hakim dalam Mustadrak.
1.
Para sahabat
yang masuk Islam di Makkah. Sebelum melakukan Hijarah, seperti para khulafa
Arrasyiddin.
2.
Para sahabat
yang mengikuti majlis Darunnadwah.
3.
Para shabat
yang iku serta berhijrah ke negeri Habasyah.
4.
Para sahabat
yang ikut serta pada baiat Aqabah pertama.
5.
Para sahabat
yang ikut serta pada baiat Aqabah kedua.
6.
Para sahabat
yang berhijrah setelah sampainya Rasulullah ke Madinah.
7.
Para sahabat
yang ikut serta pada Perang Badar.
8.
Para sahabat
yang berhijrah antara Perang Badar dan Perjannjian Hudaibiyyah.
9.
Para sahabat
yang ikut serta pada baiat Ridwan.
10.
Para sahabat
yang berhijrah antara perjanjian Hudaibiyyah dan Fathu Makkah, seperti Khalid
Bin Walid dan Amru bin Ash.
11.
Para sahabat
yang masuk Islam pada Fathu Makkah, seperti Abu Syufyan dan Muawiiyah.
12.
Bayi-bayi
dan anak-anak yang pernah melihat
Rasullulah pada Fathu Makkah.
Pembagian
sahabat menjadi beberapa tingkatan merupakan refleksi dari perbedaan tingkat
keistimewaan masing-masing dari mereka. Tidak logis jika orang yang pertama
masuk Islam disamakan tingkat keadilannya dengan orang yang masuk Islam pada
hari Fathu Makkah. Perhatikan perkataan Umar yang menyatakan, “Siapa saja yang
menentang kami terhadap kepemimpinan Muhammad dan keturunannya, ketahuilah
bahawasannya kami adalah keluarga dan kerabat beliau.” Inilah ringkasan dari
apa yang dikatakan Abu Bakar dan Umar pada pertemuan di Shqifah ini semua
merupakan aplikasi dari bentuk perbedaan tingkat keistimewaan para sahabat
secara syar’i, yang juga sekaligus menolak habis pendapat yang
menyatakan bahwa para sahabat mempunyai
keadilan yang sama, tanpa terkecuali.
Perbedaan
tingkat keistimewaan sahabat ini sama sekali bertentangan dengan pernyataan
yang menyatakaan bahwa “Seluruh sahabat adalah orang-orang yang adil. Jika
pernyataan ini memang pernyataan yang tepat, maka tidak diperlukaan
pembagian tingkat keistimewaan sahabat, karena penyataan tersebut mempersamakan
tingkat keadilan para sahabat.[9]
C.
Menyalahi
Pendapat Ahlusunnah
Pendapat
yang menyatakan bahwa orang-orang yang melemahkan salah seorang sahabat
adalah kafir, merupakan pendapat yang salah, karena agama Islam sebagai agama
samawi terkahir merupakan agama yang telah siapkan sedemikian rupa agar dapat
diterima oleh setiap umat manusia, sesuai dengan kadar kemampuannya dalam
memahami sesuatu. Agam Islam adalah suatu hal dan pemahamman kita terhadap
Islam adalah hal lain yang berbeda, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan
kita.Perbedan pendapat dan pemahaman bukanlah suatu bentuk kekafiran.[10]
Seandainya
pemahaman seseorang terhadap agama adalah satu (serupa), maka tidak akan ada
istilah Ijma kita temukan dalam keseharian kita dan tidak akan ada
faedahnya memahami sesuatu hal.
Padahal, maslahat umat Islam terwujud dengan persatuan pemahaman, bukan dengan
perbedaan. Dapat dikatakan bahwa orang yang menyatakan bahwa pemahamanya
adalah pemahaman yang sesuai ajaran agama, kemudian membuat ancaman dengan
mengatakan siapa saja yang menentang pendapat ini, maka ia telah keluar dari
ajarn Islam dan ajaran syariat Allah, dan menghukumi mereka sebagai sebutan
kafir, tidak akan melindungi, tidak memberi nafkah, tidak menshalat kan mayat
mereka, adalah pendapat yang tidak sesuai dengan ketetapan agama Islam, dan
ancaman yang mereka berikan adalah ancaman yang tidak sesuai denga nash serta pendapat mereka batil secara mendasar.
Dalam
membuat keputusan kebanyakan orang-orang berijtihad untuk apa yang mereka
pahamilah pemahaman yang benar. Tidak hanya itu, mereka berusaha untuk
mempengaruhi generasi-generasi Islam mengenai Ijtihad ini dan menutup rapat
pintu ijithad untuk mencari hakikat kebenaran syariat, serta memploklamirkan
bahwa pendapat mereka yang benar dan sesuai dengan agama, siapa saja yang
meneyelisihkanya, maka mereka kafir. Hal ini bukan lah hak mereka, karena
mereka adalah suatu hal, sedangkan agama adalah hal lain yang tidak pernah bertemu.
Jika demikian, maka menyelisihi pendapat mereka dengan menggunakan pendapat
ijtihad dan pemahaman sendiri bukanlah berarti menentang agama. Perbuatan
memvonis seseorang kafir karena tidak sependapat dengan pemahaman seseorang
adalah perbuatan yang menunjukan sikap berlindung dibalik nama baik agama.
Perlu
diketahui bahwa pendapat yang menyatakan seluruh sahabat adalah orang-orang
yang adil adalah pendapat yang timbul pada masa Bani Umayyah, yaitu sebelum
definisi sahabat yang telah disebutkan sebelumnya mati (masih tetap diakui).
Artinya, mereka telah menganggap adil para sahabat sebelum mereka memastikan
betul mereka mati dalam beriman (khusnul Khotimah)? Pendapat ini dapat
dipastikan tidak dapat diterima dilihat dari sandaran hukum pendapat tersebut.
Sisi-sisi
yang membuat pendapat tersebut tertolak:
1. Pendapat tersebut berhubungan dengan nash-nash al-Qur’an
yang qaht’i. Pada zaman ini orang-orang munafik telah tersebar luas,
mereka adalah orang-orang yang menampakan keimanan, dan lisannya mereka
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah,
mereka mengucapkan lafadz-lafadz yang serupa dengan kaum muslimin, meskipun
hanya sebagai tipu daya mereka dan hinaan terhadap Islam.
2. Pendapat tersebut bertentangan dengan nash-nash al hadis
dalam beragam cabangnya: baik yang berupa perkataan, perbuatan, maupun yang
berupa taqrir (ketetapan) Rasulullah.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah
adil, tidak sesuai dengan kenyataan yang berlaku.
4. Pendpat tersebut bertentangan dengan ruh Islam secara
umum, dengan aspek ke- Khusnul Khotimah – an seseorang, dan tujuan
hidup.[11]
Contoh-contoh yang membuktikaan pertentangan dengan Nash
Contoh pertama:
-
Kisah
tentang Tsa’ labah, Allah menghukumi dengan sebutan munafik dan termasuk dalam
golongan-golongan yang berdusta. Dalam kisahnya, bahwa Tsa’ labah meminta
pertolongan dengan Rasulullah untuk mendoakan dia mendapatkan rezeki. Dan
permohonannya disetujui, tapi setelah dia cukup, dia ingkar tidak menginfakan
hartanya. (Q.S At-Taubah [9]: 75-77)
-
Kisah tentang
Walid bin Uqbah adalah seseorang yang fasik dan ahli neraka, tidak seorangpun
yang dapat mengeluarkan dia dari api neraka, dan tidak ada jalan keluar dari
api neraka tersebut. (Q.S As-Sajaddah [61]: 7)
-
Kisah
tentang Abdullah bin Sarh, dia adalah orang-orang yang megada-adakan dusta
terhadap Allah. Ia berusaha mengadakan perubahan pada kitabullah, ia adalah
orang yang paling zalim dan mustahil akan mendapatkan petunjuk. (Q.S Ash- Shaff
[61]: 7).
Ahlusunnah mengatakan
bahwa mereka semua adalah sahabat, dan pernyataan untuk menjadi seorang sahabat
pun telah terpenuhi, baik secara bahasa maupun istilah. Manakah hal yang paling
tepat, kita bisa melihat kedua hal berikut ini yang dapat dipercaya: Kitabullah
dan sikapnya terhadap ketiga orang dalam contoh yang telah disebutkan diatas
atau bertaklid buta? Jadi bisa dilihat bahwa pernyataan tentang keadilan
sahabat bertentangan dengan dalail qat’i dan keumuman lafadz
bertentangan dengan hukum-hukum Allah.[12]
Seandainya
kita sepakat dengan pendapat diatas, berarti kita telah meberikan
penghargaan-penghargaan kepada orang-orang yang telah menyalahi
ketentuan-ketentuan Allah. Dari uraian diatas telah membuktikan kebatilan
pendapat yang menyatakan bahwa seluruh sahabat adalah adil bertolak belakang
dengan kenyataan yang ada. Pendapat ini tidak lain hanya sebuah pencapaian
suatu kepentingan-kepentingan politik, menutupi kedok mereka yang berusaha
keluar dari ajaran syariat dan sebagai pembenar terhadap sikap mereka yang
menyerahkan kekeuasan kepada oarang yang pantas. Akan tetapi, banyak orang yang
mengikutinya dengan taklid buta, seperti layaknya sebuah mode yang diikuti.[13]
D. Ayat-ayat dan hadis yang dijadikan dalil mengenai
keutaman sahabat yang perlu ditinjau kembali.
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 143
y7Ï9ºxx.ur
öNä3»oYù=yèy_
Zp¨Bé&
$VÜyur
(#qçRqà6tGÏj9
uä!#ypkà
n?tã
Ĩ$¨Y9$#
tbqä3tur
ãAqߧ9$#
öNä3øn=tæ
#YÎgx©
3
Nabi
Muhammad telah menerangkan salah satu pengertian dari ayat diatas. Kata Wasat
pada ayat tersebut beliau artikan dengan adil. Nabi menyatakan, bahwa
beliau dan umat Islam merupakan saksi yang adil terhadap kebenaran Nabi Nuh
yang telah menyampaikan agama Allah kepada umatnya. Kalau begitu, ayat tersebut
menerangkan keutamaan Nabi Saw. dan umat Islam pada umumnya, serta bukan hanya
menerangkan keutaman para sahabat Nabi saja.
Kalangan
ulama tafsir ada yang menjelaskan, ayat diatas merupakan pernyataan Allah bahwa
umat Islam merupakan umat yang sebaik-baiknya bila dibandingkan dengan umat
yang lainnya. Dengan demikian makin jelas, bahwa ayat tersebut tidak
menerangkan kekhususan keutaman sahabat Nabi dari umat Islam lainnya. Jadi,
ayat yang dimaksud tidak tepat bila digunakan sebagai argumen bahwa seluruh sahabat
Nabi adil.
2. Firman Allah dalam surat Ali Imran (3): 110
öNçGZä.
uöyz
>p¨Bé&
ôMy_Ì÷zé&
Ĩ$¨Y=Ï9
tbrâßDù's?
Å$rã÷èyJø9$$Î/
cöqyg÷Ys?ur
Ç`tã
Ìx6ZßJø9$#
tbqãZÏB÷sè?ur
«!$$Î/
3 öqs9ur
ÆtB#uä
ã@÷dr&
É=»tGÅ6ø9$#
tb%s3s9
#Zöyz
Nßg©9
4 ãNßg÷ZÏiB
cqãYÏB÷sßJø9$#
ãNèdçsYò2r&ur
tbqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÊÊÉÈ
Ulama pada
umumnya berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan Khair ummah dalam ayat
diatas ialah umat Islam secara umum, bila dibandingkan dengan umat lainnya. Itu
pun bila umat Islam melakukan amar ma’ruf nahy munkar dan beriman kepada Allah.
Keutamaan itu bukan hanya dimiliki oleh
sahabat Nabi saja, melainkan juga seluruh umat Islam pada masa berikutnya,
dengan beberapa syarat diatas. Jadi argumen tersebut tidak tepat bila digunakan
sebagai dalil keadilan sahabat.
3. Firman Allah dalam surat al-Fath (48): 18
*
ôs)©9
_ÅÌu
ª!$#
Ç`tã
úüÏZÏB÷sßJø9$#
øÎ)
tRqãèÎ$t7ã
|MøtrB
Íotyf¤±9$#
zNÎ=yèsù
$tB
Îû
öNÍkÍ5qè=è%
tAtRr'sù
spuZÅ3¡¡9$#
öNÍkön=tã
öNßgt6»rOr&ur
$[s÷Gsù
$Y6Ìs%
ÇÊÑÈ
Ayat
tersebut merupakan pernyataan kerelaan Allah kepada orang-orang yang beriman
yang telah melakukan sumpah setia di bawah sebatang pohon. Sumpah itu dikenal
dengan Bai’iat al-Ridwan, terjadi di Hudaibiyah, menjelang perdamaian
Hudaybiyyah. Umat Islam yang hadir pada masa itu sekitar 1400 orang. Merka
menyatakan sumpah setia kepada Nabi dengan tidak akan meninggalkan Hudaybiyyah
untuk menghadapi serangan orang kafir Quraiys. Dalam ayat itu Allah menjajikan
kemenangan kepada umat Islam pada waktu yang dekat. Bila dilihat dari jumlah
sahabat yang menghadiri peristiwa tersebut, maka sahabt Nabi yang mendapatkan
keutamaan tidaklah semuanya, tetapi hanya sebagaian.
4.
Firman Allah
dalam surat al-Fath (48): 29
Ó£JptC
ãAqߧ
«!$#
4 tûïÏ%©!$#ur
ÿ¼çmyètB
âä!#£Ï©r&
n?tã
Í$¤ÿä3ø9$#
âä!$uHxqâ
öNæhuZ÷t/
( öNßg1ts?
$Yè©.â
#Y£Úß
tbqäótGö6t
WxôÒsù
z`ÏiB
«!$#
$ZRºuqôÊÍur
( öNèd$yJÅ
Îû
OÎgÏdqã_ãr
ô`ÏiB
ÌrOr&
Ïqàf¡9$#
4 y7Ï9ºs
öNßgè=sVtB
Îû
Ïp1uöqG9$#
4 ö/àSè=sVtBur
Îû
È@ÅgUM}$#
?íötx.
ylt÷zr&
¼çmt«ôÜx©
¼çnuy$t«sù
xán=øótGó$$sù
3uqtFó$$sù
4n?tã
¾ÏmÏ%qß
Ü=Éf÷èã
tí#§9$#
xáÉóuÏ9
ãNÍkÍ5
u$¤ÿä3ø9$#
3 ytãur
ª!$#
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
(#qè=ÏJtãur
ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
Nåk÷]ÏB
ZotÏÿøó¨B
#·ô_r&ur
$JJÏàtã
ÇËÒÈ
Dalam hal
ini, ulama berbeda pendapat tentang pengertian kata-kata dalam ayat tersebut
yang berbunyi wallazina ma’ah sedikitnya, ada tiga pendapat, yaitu:
seluruh sahabat Nabi, peserta hudaibiyah, dan semua orang yang beriman.
Bila dilihat
dai munasabah ayat tersebut
dengan ayat-ayat sebelumnya, maka pendapat kedua lebih tepat, karena ayat-ayat
sebelumnya membicarakan tentang para sahabat yang mengikuti Bai’at ar-Ridwan.
Namun bila tidak dihubungkan, maka akan lebih tepat pendapat yang pertama dan
ketiga, yaitu semua sahabat. Namun sifatnya umum, bukan untuk individu, karena
karakter pengikut Nabi bermacam-macam. Karakter yang ada dalam ayat tersebut
adalah karakter yang ideal.
5.
Hadis Nabi
Berbunyi:
“Generasi umat Islam yang terbaik ialah generasi Nabi, bukan generasi berikut
dan seterusnya. Dalam hal ini, yang disebutkan adalah generasi bukanlah
individu-individu. Ini berarti, kualitas generasi pada masa Rasul memang baik
dibandingkan dengan generasi selanjutnya, namun bukan berarti ini sebagai dalil
pemutlakan.[14]
Kesimpulan
Pergeseran atau perkembangan konsep ‘Adalah Sahabat
telah berlangsung sampai pada saat ini. Para ulama klasik jelas telah
menyepakati bahwa tidak perlu adanya penilaian terhadap para sahabat, karena
konsep keadilan telah mereka sepakati, percayai, dan tertanam pada pribadi
sahabat Nabi. Ilmu Jarh wa Ta’dil yang digunakan ulama untuk penilaian rawipun
terhenti sampai sahabat, karena dengan anggapan bahwa seluruh sahabat adalah ‘Adil.
Beberapa poin
tentang keraguan dari antitesi ‘Adalah
Sahabat yang timbul
dari pengertian tentang keadilan sahabat
dan dari ulama-ulama, diantaranya sebagai berikut:
·
Terjadi
keumuman makna tentang keadilan sahabat sehingga semua sahabat secara umum
dikategorikan sebagai seseorang yang memiliki sifat yang ‘Adil
·
Terjadi
perbedaan dalam pemahaman di antara ulama tentang ‘Adalah Sahabat.
·
Fitnah yang
terjadi diantara para sahabat.(Ali dengan Mu’awiyah dan Ali dengan ‘Aisyah)
·
Sahabat
adalah manusia biasa sehingga pengkajian penjustifikasiannya perlu untuk di
lakukan untuk mencapai hasil yang otentik dan objektif.
·
Kerjadian
perang, kejadian sahabat saling mengkritik maka hal ini secara eksplisit
menunjukan untuk dilakukannya kajian yang mendalam atas hal tersebut.
Pendapat
dari tradisional mengenai konsep keadilan sahabat sudah mengakar dalam setiap
benak muslim, bahkan sudah mencapai pada dimensi keimanan, dimana seseorang
dalam mengkritik sahabat akan mendapat respon yang negatif dan dinyatakan bahwa
telah menyalahi sala satu prinsip iman. Kemudian secara metodologis, konsep ini
memberikan pengaruh yang sangat besar dalam kajian hadis tradisional dalam ilmu
jarh wa ta’dil. Jadi dapat dilihat bahwa posisi keadilan sahabat memiliki
posisi yang signifikan dalam metode kritik hadis tradisional.
Melakukan
peng cross-cek bukan dalam rangka
untuk meruntuhkan metode kritik hadis tradisional. Karena ranah pemikiran
manusia yang sudah masuk dalam dunia positiveisme (ilmiah) maka untuk melakukan
hal tersebut dalam rangka menjadi seorang akademisi yang objektif terhadap
ketimpangan fakta-fakta sejarah yang terekam, dan kita tidak boleh anti
terhadap beberapa pendapat atau pemikiran. Sebagai seorang akademisi, kita
tidak harus menerima begitu saja karena konsep ‘Adalah Sahabat ini, karena sampai sekarang masalah ini
masih hangat diperbincangkan dan masih layak untuk dikaji secara mendalam,
serta perlu adanya revisi mengenai pengertian ‘Adalah Sahabat supaya mendapatkan
makna ‘Adalah Sahabat tepat pada bidik sasarannya.
Wallahu
A’lam Bishawab.
Daftar Pustaka:
Maryadi. 2002. Telaah Kritis
tentang Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam.
Surakarta:Muhammadiyah University Press.
Hamidah, D. 2012. Pemikiran G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat.
Skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA.
Turmudzi, E. KONSEP'ADĀLAHSAHABATSUNNAH
DALAM PANDANGAN SYI’AH(STUDI KRITIK). File Type Pdf.
Jakfar, T. ‘ULUM AL-HADITS DAN KORELASINYA DENGAN
USHUL AL-FIQH. File Type Pdf.
Syia’ah dan Sahabat Nabi, sumber:
Asy Syariah. File type pdf.
[1]
Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran
G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta:
Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 61.
[2]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 1-9.
[3] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran
G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta:
Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 52-53.
[4] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran
G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta:
Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 55-58.
[5] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran
G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta:
Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 63-66.
[6] Dedeh Hamidah, 2012, “Pemikiran
G.H.A Juynboll tentang Keadilan Sahabat” Skripsi, Yogyakarta:
Perpustakaan UIN SUKA, hlm. 67-69.
[7] Binti Muliati, 2004, “Pandangan Abu
al- A’la al-Maududi tentang konsep ‘Adalah al-sahabah dalam
kritik sanad hadis” skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm.
77-78.
[8]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 14-15.
[9]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 19-21.
[10]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 25-26.
[11]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 28-34.
[12]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang
Keadilan Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 38
[13]
Maryadi, “Telaah Kritis tentang Keadilan
Para Sahabat dan Referensi Politik dalam Islam”, (Cet: I;
Surakarta:Muhammadiyah University Press, 2002), hlm. 48.
[14] Binti Muliati, 2004, “Pandangan Abu
al- A’la al-Maududi tentang konsep ‘Adalah al-sahabah dalam
kritik sanad hadis” skripsi, Yogyakarta: Perpustakaan UIN SUKA, hlm.
86-90.
If you're trying to burn fat then you have to get on this brand new tailor-made keto meal plan diet.
BalasHapusTo design this keto diet service, certified nutritionists, fitness couches, and chefs have united to provide keto meal plans that are useful, suitable, price-efficient, and enjoyable.
From their grand opening in early 2019, hundreds of people have already completely transformed their figure and well-being with the benefits a great keto meal plan diet can offer.
Speaking of benefits; in this link, you'll discover eight scientifically-certified ones offered by the keto meal plan diet.