Kamis, 19 Oktober 2017

Corak Tafsir Adbi Ijtimai

LATAR BELAKANG
Al-Qur’an yang penuh dengan petunjuk, undang-undang, dan hukum, diturunkan sebagai pokok-pokok keterangan yang tidak dapat disangkal kebenarannya. Ia membekali manusia dengan berbagai prinsip dan bermacam-macam kaidah umum serta dasar-dasar ajaran yang menyeluruh. Allah Swt menegaskan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW agar menjelaskan kepada manusia atas segala yang tersirat dalam semua prinsip, kaidah, dan ajaran pokok tersebut secara terperinci, bagian demi bagian, termasuk semua cabang dan rantingnya.
      Untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman diperlukan pemahaman yang benar. Memahami Al-Qur’an dengan benar tidak mudah. Oleh karena itu, dalam memahami Al-Qur’an diperlukan penafsiran, dan untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan menguasai Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang komprehensif tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir. Sejarah mencatat, ada kosa-kata Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh sahabat Nabi. Padahal mereka langsung menerima Al-Qur’an dari Nabi dan menyaksikan situasi dan kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Tentu saja, kunci untuk menggali dan memahaminya lebih jauh tentang semua risalah yang terkandung di dalamnya itu adalah melalui jalan penafsiran secara benar   dan tepat. Kitabullah yang mulia itu, yang tidak mengandung ketidakbenaran, baik secara terang-terangan maupun samar-samar. Tuntutan Al-Qur’an kepada umat manusia untuk menggali dan memahaminya lebih jauh tersebut, berakibat munculnya para mufassir terpanggil untuk menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang yang beragam. Keberagaman penafsiran tersebut disebabkan karena perbedaan metodologi, latar belakang kehidupan sosial, dan kemampuan intelektual mereka pada suatu zaman tertentu.
Pada abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, Bahkan terus-menerus merosot, terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernamakemajuan.
Maka dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian  -segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar gembira. Oleh karena tafsir itu yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk  mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan istilah corak al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Berdasarkan uraian tersebut di atas telah memberikan petunjuk, untuk mengkaji secara mendalam, maka perlu pembatasan perumusan masalah yang akan dibahas dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
  1. Apa pengertian tafsir adabi ijtima’i?
  2. Bagaimana latar belakang munculnya corak penafsiran tersebut?
  3. Apa saja yang menjadi karakteristik dari corak penafsiran tersebut?
  4. Siapa sajakah tokoh yang menggunakan corak penafsiran tersebut dalam penafsirannya?
  5. Apa kelebihan dan kekurangan dari corak penafsiran tersebut?
  6. Bagaimana contoh penafsiran dengan menggunakan corak penafsiran tersebut?











1.      Pengertian tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy 
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar  dari fi`il madhi aduba, yang berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[1]
Sedangkan secara terminologis, Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi, Syekh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir Adabi Ijtima`I sebagai : “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan gaya al-Quran dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Quran.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa tafsir Adabi Ijtima`I adalah  tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti.[2]

Dari definisi- definisi tersebut di atas, dapat diketahui beberapa hal, sebagai berikut:
a.  Tafsir ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Quran serta ketelitian redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b. Dalam tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Quran dikaitkan dengan sunatullah serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
c.  Tafsir ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat. Pemahaman dan pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari alQuran.
d. Disamping mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat (atsar) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.

2.      Latar belakang munculnya corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy 
Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani.  Hal ini wajar kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan modernitas, beliau menyatakan kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim modernitasnya yang semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan kekuatan yang sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan oleh Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita. Wanita dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk berpikir.
Semangat pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial politik itu diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-Afgani yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara menyadarkan umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap dunia barat. Gerakan nyata dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap negara-negara Arab dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti luas.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan mengikuti jejak mereka, termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan penderitaan umat dan makin merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga dari kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir al-Manar  oleh Muhammad Abduh beserta Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunyaPembaharuan dalam Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat menjadi bodoh.[3]
Karena itulah usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki sistem pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat, maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adab ijtima’i.

3.      Karakteristik dari corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy 
Corak penafsiran pada aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu:
a.       Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini adalah berusaha membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan satu kesatuan yang utuh.
b.      Keumuman kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa, bukan umat tertentu saja.
c.       al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam. Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
d.      Menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap menyebabkan  umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan masyarakat.penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
e.       Peranan akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir ini adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan sebagainya. Penggunaan daya pikir  atau nalar dan metode ilmiah. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar (pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.[4]
f.       Tidak merinci persoalan yang disinggung secara mubham. Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau “anjing” yang menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
g.       Sangat kritis dalam menerima hadis Nabi. Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari sunnah yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Alquran harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
h.      Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
i.        Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosialAyat-ayat ditafsirkan selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan pengabaian peranan akal.[5]

4.      Tokoh corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Tokoh dalam corak tafsir ini diantaranya adalah Muhammad Abduh. Nama lengkapnya Syaikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat Nashr di kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.16 Ia menulis beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar,Ahmad Musthafa Al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir Al-Maraghi, dan sebagainya. Tokoh lain ialah Sayyid Muhammad Rasyid  Ridha  dilahirkan  di  Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Lebanon pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang keturunan bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW. Gelar “sayyid” pada permulaan namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama, sehingga mereka juga dikenal dengan sebutan “syaikh”.[6]
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah mengantar Pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi raja Saudi Arabia), mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Selama dalam perjalanan, beliau hanya membaca Al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali muntah. Setelah memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman, pada 23 Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.[7]
Karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha di antaranya Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-Azhar, Al-Manar, dan sebagainya. Ciri-ciri pokok tafsir Rasyid Ridha terletak pada keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi SAW. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat lain. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun pemecahan problem-problem yang berkembang. Keluasan pembahasan tentang arti mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
5.      Kelebihan dan kekurangan dari corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Kelebihan corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy:
·  Disebabkan tafsir ini berangkat dari semangat bebas dalam menggunakan akal pikiran, maka corak tafsir ini jauh dari pengaruh unsur-unsur fanatisme madzhab-mazhab tertentu, jauh dari pengaruh kisah-kisah Israiliyat, dusta khurafat, serta hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
·  Tafsir ini tidak mengungkit-ungkit permasalahan yang samar (mutasyabihat) dalam Al-Qur’an, dan tidak membicarakan rincian-rincian (juz’iyyat).
·  Tafsir ini mampu mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an, baik dari segi risalah maupun linguistik dan keindahan bahasanya (balaghah).
·  Tafsir ini juga mampu menampilkan fenomena keagungan sunnatullah dan aturan tata sosial kemasyarakatan yang sekaligus menunjukkan keagungan penciptanya.
Kekurangan corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy:
·         Terlalu bebas dalam mempergunakan akal pikiran, sehingga sering menakwilkan hakikat syariat yang sudah baku dipalingkan ke majaz (bukan hakikat).
·                  Dengan porsi kebebasan akal pikirannya itu pula, menyebabkan ajaran dan aqidah Mu’tazilah memasuki tafsir ini.
·                  Mudah mendha’ifkan dan memaudhu’kan hadits, padahal hadits tersebut berada dalam Kitab Shahih Bukhari Muslim.[8]

6.      Contoh penafsiran dengan menggunakan corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya menitikberatkan hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat pada ayat, namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang, sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat dilihat dalam contoh penafsiran juz Ammaoleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil: 3-4.
“Dan Dia kirimkan kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong”. Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak. “yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[9]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيراtersebut merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah kering yang bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang, racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh itu.[10]
Dengan begitu, dapat dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat sosial masyarakat modern. Dalam artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut, kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Kemudian pada surat Al-infithar ayat : 13,(إن الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan ) dan kreteria abraar, beliau berkata : (tidak dianggap sebagai orang yang baik, sehingga dia bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa memberikan kontrobusi kepada masyarakat, jangan tertipu dengan orang-orang yang malas, yang mengira dirinya  sudah sampai pada maqam abraardengan rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang mereka dengungkan tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan mereka yang kurang pantas bagi seorang mu'min…)[11] Abduh ingin mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai oleh ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek ruhani (dzikir, wirid, dan memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran umat.





















KESIMPULAN
Corak penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan intelektual.
Kemunculan corak adabi ijtimai ini tidaklah terlepas dari tokoh pembaharu Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan adanya keadaan sosial politik yang ada ketika itu, maka para pembaharu tersebut mencetuskan sebuah tafsir dengan bercorak adabi ijtimai. Dengan adanya corak penafsiran tersebut, diharapkannya dapat mengurangi kemundurannya umat Islam ketika itu, yakni keadaan umat Islam yang jumud, statis dan tidak berkembang.
Kelebihan dari corak tafsir ini adalah  dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit, sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh pembaca/pendengarnya. Sedangkan  sisi kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi mufassir tinggal  ketika itu (bisa dikatakan bersifat lokal).






DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Dudung, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.

Abduh, Muhammad. Tafsir Juz Amma. tej.  Muhammad Bagir. Bandung: Mizan. 1999.

Adz- Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam.

Asy-Shabuni, Muhammad Ali, Pengantar Studi Al-Qur’an at-Thibyani, Al-Ma’arif, 1987.

Asy-Shiddiqiy, Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, Pustaka Rizki Putra, 2000.

Al-Qurthubi, Imam. Tafsir al-Qurthubi.  tej.Dudi Rosyadi dan Faturrahman. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.

al-Qattan, Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera AntarNusa, 2013)

Budiman, Kukuh. Dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha). Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta. 2011.

Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1992.

M. Karman, Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007

Shihab, M. Quraish. Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid
Ridha. Bandung:Pustaka Hidayah. 1994.

Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta: Teras. 2009.




[1] Supiana, Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Islamika, 2002), hlm. 316-317.
[2] Quraish Syihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I, hlm. 108.

[3] Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan oleh Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi TematikKitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha), Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32.
[4] Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009). Hal. 204.
[5] Dudung Abdullah, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
[6] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha, (Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59.
[7] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,(Bandung:Pustaka Hidayah, 1994), hal 59.

[8] Muhammad Husaian al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid 2, (Beirut:Dar al-Fikr, 1976),., hal. 548-549.

[9] Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir (Bandung: Mizan, 1999), hlm. 320.
[10] Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma, tej.  Muhammad Bagir, hlm. 322.
[11] Muhammad Husein Adz- Dzahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam, hal 393.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar