LATAR BELAKANG
Al-Qur’an
yang penuh dengan petunjuk, undang-undang, dan hukum, diturunkan sebagai pokok-pokok keterangan
yang tidak dapat disangkal kebenarannya. Ia membekali manusia dengan berbagai prinsip
dan bermacam-macam kaidah umum serta dasar-dasar ajaran yang menyeluruh. Allah Swt menegaskan kepada Rasul-Nya Muhammad SAW
agar menjelaskan
kepada manusia atas segala yang tersirat dalam semua prinsip, kaidah,
dan ajaran pokok
tersebut secara terperinci, bagian demi bagian, termasuk semua cabang dan rantingnya.
Untuk menjadikan
Al-Qur’an sebagai pedoman diperlukan pemahaman yang benar. Memahami Al-Qur’an
dengan benar tidak mudah. Oleh karena itu, dalam memahami Al-Qur’an diperlukan
penafsiran, dan untuk memperoleh penafsiran yang benar tidak cukup dengan
menguasai Bahasa Arab secara baik, melainkan perlu pula pengetahuan yang
komprehensif tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan ilmu tafsir. Sejarah
mencatat, ada kosa-kata Al-Qur’an yang tidak dipahami oleh sahabat Nabi.
Padahal mereka langsung menerima Al-Qur’an dari Nabi dan menyaksikan situasi
dan kondisi yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Tentu saja,
kunci untuk menggali dan memahaminya lebih jauh tentang semua risalah yang
terkandung di dalamnya itu adalah melalui jalan penafsiran secara benar dan tepat. Kitabullah yang mulia itu, yang
tidak mengandung ketidakbenaran, baik secara terang-terangan maupun samar-samar. Tuntutan Al-Qur’an kepada umat manusia untuk menggali dan
memahaminya lebih jauh tersebut, berakibat munculnya para mufassir
terpanggil untuk menafsirkan Al-Qur’an dari sudut pandang yang beragam. Keberagaman penafsiran tersebut
disebabkan karena perbedaan metodologi, latar belakang kehidupan sosial, dan
kemampuan intelektual mereka pada suatu zaman
tertentu.
Pada
abad ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, Bahkan terus-menerus merosot,
terbelakang dan banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing.
Dan pada masa itulah muncul seorang pemimpin yang mengumandangkan seruan untuk
membangkitkan umat Islam kembali, yaitu Jamaluddin al-Afghani. Murid pertamanya
yang mengikuti jejaknya ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar
pembaharuan dalam berbagai prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan
ajaran-ajaran agama dengan kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama
sekali tidak bertentangan dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang
bernamakemajuan.
Maka
dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian -segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu,
istilah-istilah dalam balaghah, bahasa dan lain-lain. Perhatian pokok dari
kitab-kitab tafsir ini adalah memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah
dengan cara yang sesuai dengan ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang
bernilai tinggi, yaitu memberi peringatan dan kabar gembira. Oleh karena tafsir
itu yang bermanfaat bagi ummat Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an
dari segi bahwa ia adalah kitab yang berisi ajaran-ajaran agama yang
menunjukkan kepada manusia cara untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Corak ataupun model penafsiran tersebut dikenal dengan
istilah corak al-Adaby al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak
seperti ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh
yang mempunyai hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid
Muhammad Rasyid Ridha.
Berdasarkan uraian tersebut di atas telah memberikan petunjuk, untuk
mengkaji secara mendalam, maka perlu pembatasan perumusan masalah yang
akan dibahas dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut:
- Apa pengertian tafsir adabi ijtima’i?
- Bagaimana latar belakang munculnya
corak penafsiran tersebut?
- Apa saja yang menjadi karakteristik
dari corak penafsiran tersebut?
- Siapa sajakah tokoh yang
menggunakan corak penafsiran tersebut dalam penafsirannya?
- Apa kelebihan dan kekurangan dari
corak penafsiran tersebut?
- Bagaimana contoh penafsiran dengan
menggunakan corak penafsiran tersebut?
1.
Pengertian tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Al-adabi wa al-ijtima’i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Kata al-adaby dilihat
dari bentuknya termasuk mashdar dari fi`il madhi aduba, yang
berarti sopan santun, tata krama. Kata tersebut bermakna norma-norma yang
dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam kehidupannya. Sedangkan
kata al-ijtima’iy bermakna banyak bergaul dengan masyarakat
atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara etimologis tafsir al-adaby
al-Ijtima’i adalah tafsir yang berorientasi pada perilaku dan
kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan tafsir sosio-kultural.[1]
Sedangkan secara terminologis,
Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi mendefinisikan tafsir al-Adaby wa
al-Ijtima’iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah,
keindahan bahasa al-Quran dan ketelitian redaksinya, kemudian mengaitkan
kandungan ayat-ayat al-Quran dengan sunatullah dan aturan hidup kemasyarakatan,
yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat
manusia pada umumnya. Tidak jauh berbeda dengan apa yang didefinisikan Dr.
Muhammad Husain al-Dzahabi, Syekh Manna’ Qathan memberikan definisi tafsir
Adabi Ijtima`I sebagai : “Tafsir yang diperkaya dengan riwayat salaf al-Ummah dan
dengan uraian tentang sunatullah yang berlaku dalam masyarakat. Menguraikan
gaya al-Quran dengan menyingkapkan maknanya dengan ibarat-ibarat yang mudah
serta berusaha menerangkan masalah-masalah yang musykil dengan
maksud untuk mengembalikan kemuliaan dan kehormatan Islam serta mengobati
penyakit masyarakat dengan petunjuk al-Quran.” Jadi dapat kita simpulkan bahwa
tafsir Adabi Ijtima`I adalah tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat
atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah
dimengerti.[2]
Dari
definisi- definisi tersebut di atas, dapat diketahui beberapa hal, sebagai
berikut:
a. Tafsir
ini menekankan penelitiannya pada keindahan gaya bahasa al-Quran serta
ketelitian redaksinya, yang didalamnya terkandung hikmah mendalam yang dapat
memberikan sentuhan iman dan rangsangan intelektual.
b. Dalam
tafsir ini makna yang dicakup oleh ayat al-Quran dikaitkan dengan sunatullah
serta peran dan kedudukan akal sangat penting.
c. Tafsir
ini mengungkapkan sunatullah yang berlaku pada umat terdahulu yang di pandang
penting untuk mendorong pembangunan demi kemakmuran masyarakat. Pemahaman dan
pemamfaatan sunatullah harus dilandasi dengan nilai moral yang bersumber dari
alQuran.
d. Disamping
mempergunakan daya intelektual, tafsir ini juga menggunakan riwayat-riwayat
(atsar) dan sejarah. Hingga dapat dikatakan bahwa tafsir ini menggabungkan
antara pendekatan akal, atsar dan sejarah.
2.
Latar belakang munculnya corak
penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Mengenai latar belakang munculnya corak tafsir adabi
ijtimai pastilah tidak lepas dari tokoh pembaharu di Mesir, yakni Jamaluddin
al-Afgani. Hal
ini wajar kiranya mengingat bahwa beliau adalah tokoh Islam yang dianggap
pertama kali bersikap tegas terhadap tantangan modernitas, beliau menyatakan
kembali kepada tradisi Islam dengan cara yang sesuai untuk menjawab berbagai
problem penting yang muncul akibat “Barat” dengan klaim modernitasnya yang
semakin mengusik “Timur Tengah” dengan tradisi Islam tradisionalnya. Tema besar
yang diperjuangkan Jamaluddin al-Afgani adalah bahwa Islam merupakan kekuatan
yang sangat penting untuk menangkal “Barat”. Pemikiran lain yang dimunculkan
oleh Jamaluddin al-afgani adalah tentang adanya persamaan antara pria dan wanita.
Wanita dan pria sama dalam pandangannya, keduanya mempunyai akal untuk
berpikir.
Semangat
pembaharuan jamaluddin al-Afgani yang berangkat dari respon sosial politik itu
diikuti oleh para muridnya. Muhammad Abduh adalah salah satu murid al-Afgani
yang sejalan dengan pemikirannya dalam mengadakan reformasi dengan cara
menyadarkan umat akan pentingnya mengusir penjajah, serta mengejar
ketertinggalan-ketertinggalan dunia Islam terhadap dunia barat. Gerakan nyata
dari reformasi keagamaan dan politikal-Afgani dan Abduh adalah majalah al-Urwah
al-Wusqa yang mampu memberikan kesadaran kolektif terhadap negara-negara Arab
dan Islam lainnya untuk bangkit menuju kemajuan dalam arti luas.
Banyak ulama dan ilmuan Islam yang terpanggil dan
mengikuti jejak mereka, termasuk Rasyid Ridha yang telah menyaksikan
penderitaan umat dan makin merosotnya keadaan sosial keagamaan. Sehingga
dari kondisi sosial politik Timur Tengah tersebut, dirumuskanlah Tafsir
al-Manar oleh Muhammad Abduh beserta
Rasyid Ridha. Disebutkan oleh Harun Nasution dalam bukunyaPembaharuan dalam
Islam mengutip pendapat Muhammad Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa
al-Madaniah, menyebutkan bahwa “kondisi sebagian umat Islam pada saat
dituliskannya tafsir al-Manar itu adalah kondisi jumud, statis dan tidak
berkembang karena tradisi Islam saat itu diwarnai oleh animisme dan
masyarakatnya enggan memakai akal”. Kondisi masyarakat yang seperti itu
diperparah oleh sistem pemerintahan Mesir yang seolah sengaja membiarkan rakyat
menjadi bodoh.[3]
Karena itulah
usaha pertama Abduh dalam gerak pembaharunya adalah memperbaiki sistem
pendidikan sebagai jantung umat Islam. Setelah munculnya putri-putri Mesir yang
terdidik dan terpelajar, baik dari pendidikan lokal maupun pendidikan Barat,
maka mulailah ada gelombang-gelombang reformasi dan pembaharuan sebagaimana
yang diharapkan oleh Abduh.
Dalam kondisi
politik dan masyarakat yang seperti itu, sebuah respon politik yang belum
pernah terjadi pada zaman mufassir sebelumnya lahir. Majalah al-Manar yang
nantinya menjadi tafsir al-Manar ditulis dengan corak baru dalam tafsir sebagai
usaha menjawab tantangan zamannya. Corak tafsir yang dikembangkan oleh Abduh
dan Rasyid Ridha itu kemudian dikenal corak adab ijtima’i.
3.
Karakteristik dari corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Corak penafsiran pada
aliran tafsir ini meliputi beberapa hal pokok yaitu:
a.
Memandang bahwa setiap surat merupakan satu kesatuan, ayat-ayatnya
mempunyai hubungan yang serasi. Salah satu yang menonjol dalam tafsir ini
adalah berusaha membuktikan bahwa ayat-ayat dan surat dalam alQuran merupakan
satu kesatuan yang utuh.
b.
Keumuman
kandungan al-Quran. Menurut Muhammad Abduh, kandungan al-Quran bersifat
universal dan berlaku terus sampai hari kiamat. Di dalamnya terdapat
pelajaran-pelajaran, janji dan ancaman, berita gembira dan siksa, serta ajaran
tentang aqidah, akhlak dan ibadah yang dapat berlaku semua umat dan bangsa,
bukan umat tertentu saja.
c.
al-Quran sumber utama aqidah dan syariat Islam.
Untuk menetapkan suatu ketetapan hukum harus kembali kepada sumber yang pertama
yaitu al-Quran. Muhammad Abduh sebagai tokoh utama aliran tafsir ini mengecam
sementara mufassir yang menganggap bahwa sebagian ayat alQuran musykil hanya
tidak sejalan dengan pendapat aliran (mazhabnya).
d.
Menerangi taklid buta. Salah satu corak dari tafsir ini adalah berusaha
menghilangkan taklid buta dalam masyarakat Islam, karena dianggap
menyebabkan umat Islam beku, tidak dinamis dan tidak mencerdaskan
masyarakat.penggunaan daya pikir atau nalar dan metode ilmiah. Di
dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar
(pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda
kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban pencipta-Nya.
e.
Peranan
akal atau nalar dalam pemahaman al-Quran. Salah satu corak dari tafsir ini
adalah penggunaan interpretasi oleh akal. Muhammad Abduh berpendapat bahwa
al-Qutan sangat menghargai akal pikiran dan memberikan kedudukan yang
terhormat. Karena itu, dalam alQuran banyak ayat yang menyuruh menggunakan akal
pikiran seperti; afala ta’qilun, afala tatafakkarun dan
sebagainya. Penggunaan daya pikir atau nalar dan metode ilmiah. Di
dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang mengajak manusia melakukan nadzar
(pengamatan) terhadap alam semesta serta mengambil pelajaran dari pertanda
kekuasaan Allah di alam semesta ini dan keajaiban
pencipta-Nya.[4]
f.
Tidak merinci persoalan yang disinggung
secara mubham. Di dalam Alquran sering ditemui lafazh tak terinci, misalnya
menyangkut “sapi” yang disebut dalam S. Al-Baqarah (2): 67 atau “anjing” yang
menyertai “Ashabul Kahfi” (S. Kahfi: 18). Terhadap ayat/lafazh semacam ini
Abduh tidak merinci atau menjelaskannya.
g.
Sangat kritis dalam menerima hadis Nabi.
Dilatar belakangi oleh sikap Muhammad Abduh yang sangat rasional, dia
berpendapat bahasa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Abduh
menyatakan bahwa sumber ajaran agama adalah Alquran dan sedikit dari sunnah
yang bersifat amaliyah dan sedikit pula jumlah hadis mutawatir, maka Alquran
harus dijadikan sumber madzhab dan pendapat dalam agama.
h.
Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat
sahabat-sahabat dan menolak Israiliyyat. Muhammad Abduh sangat berhati-hati
dalam menerima pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pendapat tersebut
berselisih satu sama lainnya, sehingga untuk menguatkan salah satunya
dibutuhkan pemikiran yang mendalam.
i.
Mengaitkan penafsiran Alquran dengan kehidupan sosialAyat-ayat ditafsirkan
selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah
kemajuan dan pembangunan. Abduh menilai keterbelakangan masyarakat Islam
disebabkan oleh kebodohan dan kedangkalan pengetahuan mereka akibat taqlid dan
pengabaian peranan akal.[5]
4.
Tokoh corak penafsiran al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Tokoh dalam corak tafsir ini diantaranya adalah Muhammad
Abduh. Nama lengkapnya Syaikh Muhammad Abduh bin Hasan Khairullah dilahirkan di desa Mahallat
Nashr di kabupaten
Al-Buhairah, Mesir pada 1849 M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya, bukan pula keturunan
bangsawan. Namun, ayahnya
dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.16 Ia menulis
beberapa kitab tafsirnya, salah satunya adalah
Tafsir Juz ‘Amma, Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha dalam Tafsir Al-Manar,Ahmad Musthafa
Al-Maraghi dalam tafsirnya Tafsir Al-Maraghi, dan sebagainya. Tokoh lain ialah Sayyid Muhammad Rasyid Ridha
dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari
Tripoli, Lebanon pada 27 Jumadil ‘Ula 1282 H. Beliau adalah seorang
keturunan bangsawan Arab yang mempunyai
garis keturunan langsung
dari Sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri
Rasulullah SAW. Gelar “sayyid” pada permulaan
namanya adalah gelar yang biasa diberikan kepada semua garis keturunan
tersebut. Keluarga Ridha dikenal oleh lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu
agama, sehingga mereka juga dikenal
dengan sebutan “syaikh”.[6]
Dalam perjalanan pulang dari kota Suez di Mesir, setelah
mengantar Pangeran Sa’ud Al-Faisal (yang kemudian menjadi
raja Saudi Arabia), mobil yang dikendarainya
mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar
otak. Selama dalam
perjalanan, beliau hanya
membaca Al-Qur’an, walau beliau telah sekian kali muntah. Setelah
memperbaiki posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang yang menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerah disertai senyuman, pada 23
Jumadil-‘Ula 1354/22 Agustus 1935.[7]
Karya-karya ilmiah Muhammad Rasyid Ridha di antaranya Al-Hikmah Asy-Syar’iyah fi Muhakamat
Al-Dadiriyah wa Al-Rafi’iyah, Al-Azhar,
Al-Manar, dan sebagainya. Ciri-ciri pokok tafsir Rasyid
Ridha terletak pada keluasan pembahasan tentang ayat-ayat yang ditafsirkan
dengan hadis-hadis Nabi SAW. Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan
ayat lain. Penyisipan pembahasan-pembahasan yang luas tentang hal-hal yang
sangat dibutuhkan oleh masyarakat pada masanya, dengan tujuan mengantar kepada
penjelasan tentang petunjuk agama, yang menyangkut argumentasi keyakinan maupun
pemecahan problem-problem yang berkembang. Keluasan pembahasan tentang arti
mufradat, susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam
bidang tersebut.
5. Kelebihan
dan kekurangan dari corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy
Kelebihan
corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy:
· Disebabkan tafsir ini berangkat dari semangat bebas
dalam menggunakan akal pikiran,
maka corak tafsir ini jauh dari pengaruh unsur-unsur fanatisme madzhab-mazhab
tertentu, jauh dari pengaruh kisah-kisah Israiliyat, dusta khurafat, serta hadits-hadits dha’if dan maudhu’.
·
Tafsir ini tidak mengungkit-ungkit permasalahan yang samar (mutasyabihat) dalam Al-Qur’an, dan tidak
membicarakan rincian-rincian (juz’iyyat).
·
Tafsir ini mampu mengungkapkan kemukjizatan al-Qur’an, baik dari
segi risalah maupun linguistik dan keindahan bahasanya (balaghah).
·
Tafsir ini juga mampu menampilkan fenomena keagungan sunnatullah
dan aturan tata sosial kemasyarakatan yang sekaligus menunjukkan
keagungan penciptanya.
Kekurangan
corak al-Adabi wa al-Ijtima’iy:
·
Terlalu
bebas dalam mempergunakan akal pikiran, sehingga sering menakwilkan hakikat syariat
yang sudah baku dipalingkan ke majaz
(bukan hakikat).
·
Dengan porsi
kebebasan akal pikirannya itu pula, menyebabkan ajaran dan aqidah Mu’tazilah
memasuki tafsir ini.
·
Mudah
mendha’ifkan dan memaudhu’kan hadits, padahal hadits tersebut berada dalam
Kitab Shahih Bukhari Muslim.[8]
6. Contoh penafsiran dengan menggunakan corak penafsiran al-Adabi wa
al-Ijtima’iy
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa tafsir-tafsir sebelumnya
menitikberatkan hanya pada pemaknaan terhadap makna linguistik yang terdapat
pada ayat, namun penafsiran dalam corak tafsir adabi ijtimai bukan lagi hanya
mefokuskan pada pemaknaan linguistik, tetapi juga melihat keterkaitan makna
ayat dengan aspek-aspek atau persoalan yang muncul pada zaman sekarang,
sehingga al-Qur’an bukan lagi dianggap sebagai kitab suci yang memiliki sastra
tinggi, namun al-Qur’an dapat berfungsi sebagaimana fungsi utamanya bagi
masyarakat (umat Islam), yakni sebagai petunjuk dalam hidup. Hal inilah yang menjadikan titik
perbedaan antara corak tafsir adabi ijtimai dengan yang lainnya.
Sebagaimana dapat
dilihat dalam contoh penafsiran juz Ammaoleh Muhammad Abduh dalam QS. Al-Fiil:
3-4.
“Dan Dia kirimkan
kepada mereka, burung-burung yang berbondong-bondong”. Kata أبابيل ialah kawanan burung atau kuda dan sebagainya yang
masing-masing kelompok mengikuti kelompok lainnya. sedangkan yang dimaksud
dengan طيرا ialah hewan yang terbang di langit, baik
yang bertubuh kecil ataupun besar; tampak oleh penglihatan mata ataupun tidak.
“yang melempari mereka dengan batu-batu dari tanah yang membatu”. Kata سجيل berasal dari bahasa Persia yang bercampur
dengan bahasa Arab, yang berarti tanah yang membatu.[9]
Di dalam tafsir tersebut, Abduh menjelaskan bahwa lafadh طيراtersebut
merupakan dari jenis nyamuk atau lalat yang membawa benih penyakit tertentu. Dan bahwa lafadh بحجارة itu berasal dari tanah kering yang
bercampur dengan racun, dibawa oleh angin lalu menempel di kaki-kaki binatang
tersebut. Dan apabila tanah bercampur racun itu menyentuh tubuh seseorang,
racun itu masuk ke dalamnya melalui pori-pori, dan menimbulkan bisul-bisul yang
pada akhirnya menyebabkan rusaknya tubuh serta berjatuhannya daging dari tubuh
itu.[10]
Dengan begitu, dapat
dilihat bahwa penafsiran Abduh ini, lebih bersifat sosial masyarakat modern. Dalam
artian bahwa beliau lebih menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat tersebut,
kemudian menguraikan makna yang dikandung dalam ayat tersebut dengan redaksi
yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an
dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Kemudian pada surat
Al-infithar ayat : 13,(إن
الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan
) dan kreteria abraar, beliau berkata : (tidak dianggap sebagai
orang yang baik, sehingga dia bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa
memberikan kontrobusi kepada masyarakat, jangan tertipu dengan orang-orang yang
malas, yang mengira dirinya sudah sampai pada maqam abraardengan
rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang mereka dengungkan
tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan mereka yang kurang
pantas bagi seorang mu'min…)[11]
Abduh ingin mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai
oleh ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek ruhani (dzikir, wirid, dan
memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran
umat.
KESIMPULAN
Corak
penafsiran al-Adabi al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi pada
sastra budaya kemasyarakatan. Dalam artian bahwa suatu corak penafsiran yang
menitik beratkan penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian leksikal
atau redaksinya. Kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi
yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan
pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat
dan pembangunan dunia serta dapat memberikan pencerahan dan rangsangan
intelektual.
Kemunculan corak adabi ijtimai ini tidaklah terlepas dari
tokoh pembaharu Mesir, yakni Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid
Ridha. Dengan
adanya keadaan sosial politik yang ada ketika itu, maka para pembaharu tersebut
mencetuskan sebuah tafsir dengan bercorak adabi ijtimai. Dengan adanya corak
penafsiran tersebut, diharapkannya dapat mengurangi kemundurannya umat Islam
ketika itu, yakni keadaan umat Islam yang jumud, statis dan tidak berkembang.
Kelebihan dari corak tafsir ini adalah dalam menafsirkan sebuah ayat, mufassir bukan
hanya terfokus pada aspek balaghah yang ada, namun juga mengkaitkan makna yang
terkandung dengan keadaan sosial yang ada, juga pemilihan bahasa yang sesuai
dengan kondisi perkembangan umat modern yakni lugas dan tidak berbelit,
sehingga mudah untuk dipahami oleh siapa saja (bukan hanya ulama saja). Dalam
tafsirannya, corak tafsir adabi ijtimai ini menganalogikan dengan sesuatu
berkembang di zaman-nya seperti pemahaman tentang ilmu pengetahuan dan
teknologi, sehingga maknanya dapat dengan mudah ditangkap oleh
pembaca/pendengarnya. Sedangkan sisi
kekurangannya yaitu terkadang kesesuaian itu tidak sesuai dengan daerah kondisi
mufassir tinggal ketika itu (bisa
dikatakan bersifat lokal).
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Dudung, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir alManar,
Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
Abduh,
Muhammad. Tafsir Juz Amma. tej.
Muhammad Bagir. Bandung: Mizan. 1999.
Adz- Dzahabi, Muhammad Husein, At-Tafsir
wa Al-Mufassirun, Beirut : Dar Al-Arqam.
Asy-Shabuni, Muhammad Ali, Pengantar Studi Al-Qur’an at-Thibyani, Al-Ma’arif,
1987.
Asy-Shiddiqiy,
Muhammad Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir, Pustaka Rizki Putra, 2000.
Al-Qurthubi,
Imam. Tafsir al-Qurthubi.
tej.Dudi Rosyadi dan Faturrahman. Jakarta: Pustaka Azzam. 2009.
al-Qattan,
Manna’ Khalil , Studi Ilmu-ilmu Islam (Surabaya, Litera
AntarNusa, 2013)
Budiman,
Kukuh. Dalam skripsi Term
Di’afan (Lemah) dalam Surat an-Nisa ayat 9 (Studi Tematik Kitab Tafsir al-Manar
Karya Rasyid Ridha). Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Yogyakarta. 2011.
Nasution,
Harun, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1992.
M.
Karman, Supiana. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Islamika. 2002.
Shihab,
M. Quraish. Membumikan al-Qur’an. Bandung: PT. Mizan Pustaka. 2007
Shihab,
M. Quraish. Studi
Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M.Rasyid
Ridha.
Bandung:Pustaka Hidayah. 1994.
Usman. Ilmu Tafsir. Yogyakarta:
Teras. 2009.
[3]
Dikutip dari Harun Nasution dalam Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran
dan Gerakan oleh Kukuh Budiman dalam skripsi Term Di’afan (Lemah) dalam Surat
an-Nisa ayat 9 (Studi TematikKitab Tafsir al-Manar Karya Rasyid Ridha), Skripsi
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hlm. 31-32.
[5] Dudung Abdullah, Pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir
alManar, Ar-Risalah,vol.11, nomor 2, November 2011.
[6] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,
(Bandung:, Pustaka Hidayah, 1994), hal 59.
[7] Quraish Shihab, Studi
Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduhdan M. Rasyid Ridha,(Bandung:Pustaka
Hidayah, 1994), hal 59.
[8] Muhammad Husaian al-Dzahabi, Al-Tafsir
wa al-Mufassirun, jilid 2, (Beirut:Dar al-Fikr, 1976),., hal. 548-549.
[9] Muhammad Abduh, Tafsir Juz
Amma, tej. Muhammad Bagir (Bandung:
Mizan, 1999), hlm. 320.
[10] Muhammad Abduh, Tafsir
Juz Amma, tej. Muhammad Bagir, hlm. 322.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar