LATAR BELAKANG
Ilmu
qira’at adalah disiplin ilmu yang memiliki otoritas tertinggi dalam menentukan
autentisitas sumber utama ajaran Islam (al-Qur’an). Tanpa merujuk pada standar
yang ditentukan disiplin ilmu ini, maka sumber utama ajaran Islam tidak mungkin
bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Didalam ilmu qira’at terdapat
standar dan kualifikasi yang ditetapkan dalam memilih secara tegas antara
riwayat qira’at yang absah dan tidak absah.
Eksistensi
dari ilmu qira’at memang tidak begitu populer di kalangan kaum muslim.
Masyarakat muslim lebih akrab dengan ilmu tajwid sebagai ilmu yang berkaitan
dengan hukum bacaan lafal al-Qur’an, ketimbang ilmu qira’at. Jadi tidak heran
kalau individu masyarakat muslim khususnya Nusantara banyak yang tidak mengetahui
madzahab qira’at al-Qur’an yang dibaca sehari-hari. Di dalam ilmu qira’at
terdapat beberapa imam yang membawahi madzhab qira’at diantaranya: qira’at
‘Ashim, qira’at Hamzah, atau qira’at Nafi’.
Qira’at
Imam ‘Ashim riwayat Hafsh menjadi madzhab qira’at yang dibaca oleh mayoritas
umat muslim di dunia, lebih khususnya lagi penduduk di Nusantara. Maka dari itu
pengkajian bagaimana akar historis perkembangan qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh
perlu dilakukan untuk mengetahui argumentasi intelektual hakikat madzhab
qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh yang menjadi bacaan al-Qur’an masyarakat
sehari-hari. Setelah mengetahui kaum muslimin akan menyadari bahwa madzhab
qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh bukan satu-satunya madzhab qira’at yang benar.
Dengan demikian, kaum muslim Indonesia tidak akan mudah menyalahkan orang lain
qira’atnya tidak sama dengan qira’at yang dibaca sehari-hari.
Maka
disini akan dibahas pembahasan tentang kesejarahan masuk dan berkembangnya
madzhab ‘Ashim riwayat Hafsh di kawasan
Nusantara yang merupakan hasil resume dari buku Wawan Djunaedi “ Sejarah
Qira’at al-Qur’an di Nusantara”. Pembahasan akan dimulai dari: pertama,
sejarah awal masuknya qira’at Nusantara secara de facto (Ulama-ulama
pembawa madzhab qira’at, para qari terkenal di Nusantara, kurikulum yang
digunakan di Nusantara, dan kitab tajwid yang corak dan afiliasinya terhadap
beberapa madzhab qira’at yang ada) dan secara de yure (Dimulai pada abad
ke-20 dibawa oleh KH. Moenawwir dan KH. Munawwar). Kedua, pembahasan
Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh: sosok dan teori qira’at.
Pembahasan
A. Sejarah masuknya
Madzhab Qira’at ‘Ashim Riwayat Hafsh di Nusantara
Untuk melacak akar perkembangan qira’at Ashim di Nusantara maka
dapat melalui pendekatan secara de facto dan de yure.
1.
“De Facto” Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh di Nusantara
Bukti sejarah hadirnya qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh di Nusantara,
dilihat dari beberapa aspek, diantaranya sebagai berikut:
a.
Ulama Pembawa Madzhab Qira’at Ashim di Nusantara
Seorang agamawan dan pengembara dari Cina bernama I-Tsing memberi
informasi bahwa masa awal kedatangan Islam ke Nusantara terjadi pada tahun
51/671. Ia telah menumpang kapal milik pedagang muslim Timur Tengah yang
kebanyakan berasal dari Arab dan Persia. Selanjutnya ia menginformasikan bahwa
hubungan Timur Tengah dan Timur jauh sudah berlangsung sejak lama. Menurut
penulis kronik asal Cina, Chou Ch’u-fei, kawasan yang menjadi penghubung antara
kedua kawasan tersebut adalah Sriwijaya. Pelabuhan Sriwijaya menjadi export
terpenting antara kawasan Timur Tengah dan Timur Jauh. Orang-orang muslim Arab,
Persia dan India telah mengadakan kontak dagang dengan komunitas Nusantara pada
abad 7-8 M hingga abad-abad berikutnya.
Jika pada masa awal-awal kaum muslimin Arab dan Persia yang
singgah ke Nusantara lebih memfokuskan pada sektor ekonomi, maka pada abad
ke-12 para pengembara sufi ikut menumpang kapal-kapal dagang mereka untuk
melakukan penyebaran Islam secara aktif di Nusantara.
Selanjutnya jika menyinggung pendapat yang menyebut bahwa saudagar
Persia dianggap memiliki andil dalam dalam menyebarluaskan Islam di kawasan
Nusantara, maka perlu diketahui latar belakang penaklukan Persia melalui
pertempuran di Qasadiyah dan Mada’in pada masa khalifah Umar bin Khattab tahun
17/637. Sejak peristiwa itu orang-orang
Persia secara massal memeluk agama Islam. Kawasan Kufah yang secara
geografis memiliki posisi yang dekat dengan Qasadiyah dan Mada’in, sehingga
orang-orang mu’alaf Persia belajar agama Islam dari para ulama Kufah.
Itu artinya kemungkinan orang-orang Persia dimungkinkan belajar cara baca
al-Qur’an sesuai dengan ragam qira’at penduduk Kufah yang sebagian besar
menganut qira’at sahabat Abdullah bin Mas’ud yang tidak lain kakek guru Imam
Ashim. Dan selanjutnya orang-orang Persia melakukan perjalanan ke kawasan
timur dan mengajarkan ragam bacaan qira’at kepada penduduk Nusantara.
Sedangkan pendapat yang menyebut bahwa Islam di Nusantara berasal
dari India tidak memiliki cukup bukti untuk menganggap orang muslim India
sebagai pembawa madzhab qira’at Ashim riwayat Hafsh di Nusantara. Hal ini
dikarenakan ekspansi yang dilakukan oleh Muhammad Ibn al-Qasim al-Tsaqafi
sebagai panglima perang yang bermarkas di Damaskus tidak memiliki pengaruh
cukup kuat untuk mewarnai bacaan qira’at penduduk setempat. Jadi kemungkinan
pengaruh qira’at Ashim yang dibawa oleh orang-orang Persia ke kawasan India
lebih dominan dibanding pengaruh qira’at para prajurit perang Damaskus.
Selajutnya ketiga komponen pembawa Islam yang berasal dari Arab,
Persia maupun India sama-sama memiliki kemungkinan memberi pengaruh jenis
qira’at kepada penduduk Nusantara. Namun dengan mempertimbangkan letak
geografis Persia yang lebih dekat dengan kawasan Kufah sebagai tempat lahirnya
qira’at Ashim, maka orang orang-orang Persia dianggap memiliki ruang lebih
besar sebagai ulama-ulama yang membawa qira’at Ashim riwayat Hafsh di wilayah
Nusantara.
b.
Para Qari Terkenal di Nusantara
Salah satu tokoh qari’ pada masa awal sejarah Islam Nusantara hidup
pada abad ke-14 yaitu ulama Jawa Tengah bernama Maulana Husain yang datang ke
Maluku yang dikabarkan mendemostrasikan kemahirannya dalam menulis huruf Arab
dan membaca al-Qur’an dengan irama yang sangat indah hingga penduduk setempat
tergerak untuk mempelajari al-Qur’an. Menurut Arnold, Husain merupakan salah
satu pedagang pendakwah agama Islam yang mendemostrasikan tilawah al-Qur’an kepada
masyarakat setempat.
Ulama qari’ nusantara lain dalam sejarah Nusantara adalah Syaikh
Abdurrahman yang mendirikan surau besar mirip pesatren yang ada di Batuhampar,
Payakumbuh, dan Jawa. Pada akhir abad ke-18 Syaikh Abdurrahman ini tidak hanya
mengajarkan cara baca al-Qur’an dengan baik dan benar, namun juga mengajarkan tilawah
al-Qur’an dengan irama.
Namun jika merujuk terminologi yang digunakan dalam disiplin ilmu
qira’at dimana seorang muqri’ yaitu seorang yang alim dalam bidang
qira’at dan telah menerima ijazah qira’at serta telah diberi kewenangan untuk
memberikan sanad qira’atnya kepada orang lain, maka kedua tokoh yang telah
disebut belum memenuhi kriteria tersebut.
Selanjutnya berdasarkan dokumentasi sejarah pada akhir abad ke-20
ditemukan bukti fisik berupa sanad qira’at milik KH. Moenawir dari Yogyakarta
dan KH. Munawar dari Gresik yang sanadnya mutawatir sampai kepada
Rasulullah. Kedua tokoh ilmu qira’at inilah yang menyumbangkan disiplin ilmu
qira’at di Nusantara yang sesuai dengan pengertian istilah muqri’ dalam
ilmu qira’at.
c.
Kurikulum Pendidikan Islam di Nusantara
Pada tahap paling awal para ulama pembawa ajaran Islam hanya
sebatas menyampaikan pesan religius yang terkandung dalam firman-firman Allah
SWT. Namun pada tahap berikutnya, para ulama mengajarkan cara baca al-Qur’an
kepada para mu’allaf dari penduduk bumi. Di antara mata pelajaran yang memiliki
hubungan erat dengan disiplin ilmu qira’at dalam pendidikan Islam di Nusantara adalah
pelajaran cara membaca al-Qur’an dan ilmu tajwid. Kedua pelajaran inilah yang
menunjang perkembangan madzhab qira’at Ashim riwayat Hafsh di Nusantara.
Salah satu buku yang dijadikan rujukan dalam pedoman pelajaran
membaca huruf Hija’iyyah di Minangkabau adalah buku Qa’idah Baghdadiyyah
(artinya: kaidah Baghdad), maka metode pembelajaran al-Qur’an tersebut diadopsi
dari Baghdad yang sebagian besar menganut madzhab qira’at Ashim riwayat
Hafsh. Oleh karena itu, sistem pembelajaran al-Qur’an yang diterapkan di
Nusantara sesuai dengan madzhab qira’at dan metodologi yang diterapkan di
negeri asal para ulama pembawanya yaitu Baghdad.
Selain itu dari beberapa kurikulum pendidikan Islam yang ada di
Nusantara ditemukan susunan kurikulum pendidikan Islam yang memuat
materi-materi terkait madzhab qira’at misalnya ilmu tajwid, seperti; (1)
Kurikulum pendidikan di Pondok Pesantren Tambak Beras Jombang pada tahun 1959
yang mengacu pada kitab tajwid Hidayah al-Shibyan dan Tuhfah
al-Athfal, (2) Kurikulum pendidikan Madrasah Mamba’ul Ulum Surakarta pada
tahun 1916, mengajarkan dua macam kitab tajwid , yaitu Tuhfah al-Athfal dan
Jazariyah (3) Kurikulum Madrasah Perikatan Umat Islam (PUI) pada tahun
1955 mengajarkan kitab tajwid Faturrahman fi Tajwid al-Qur’an. (4) Kitab
tajwid yang diajarkan pada jenjang Sekolah Guru adalah kitab Hidayah
al-Mustafid fi Ahkam al-Tajwid. Adapun pembahasan mengenai kitab-kitab
tersebut akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
d.
Kitab Tajwid pada Kurikulum Pendidikan Awal di Nusantara
Salah satu bentuk materi yang dituju untuk menunjang penelusuran
qira’at madzhab ‘Ashim riwayat Hafsh adalah kitab-kitab tajwid yang berkembang
di Nusantara. Di antaranya adalah sebagai berikut:
1)
Hidayah al Mustafidl fi ‘Ilm al Tajwid
Kitab
Hidayah al Mustafidl fi ‘Ilm al Tajwid merupakan sebuah karya Abu Rimah.
Naskah kitab beliau di terbitkan Maktabah Al-Syaikh Salim bin Sa’ad bin Nabhan-
Surabaya. Kitab tersebut juga sudah dialih bahasakan dalam bahasa Madura oleh
Kiai Raden ‘Abd al Majid Tamim.
Kitab ini ditulis memang secara khusus membahas mengenai ilmu
tajwid yang bermdzhab qira’at ‘Ashim riwayata Hafsh. Hal ini dilihat dalam
muqaddimah beliau yang menyebutkan secara jelas bahwa beliau menulis
berdasarkan riwayat ‘Ashim dari Hafsh. Nuansa ini dikuatkan lagi dengan
penyebutan Muhammad Mahmud al Najjar mengenai sub bahasan yang paling khas dari
qira’at yakni mengenai saktah yang terdapat dalam riwayat Hafsh.
2)
Fathurrahman fii Tajwid al Qur’an
Kitab ini ditulis oleh Sa’id bin Sa’ad bin Nabhan. Dalam Mukaddimah
memang tidak disebutkan secara ekplisit mengenai qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh,
namun ketika ditelaah secara detail maka ada kalimat-kalimat tertentu yang
berindikasi pada madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh. Hal ini diketahui pada
redaksi halaman 9 dimana beliau memasukkan pembahasan saktah qira’at riwayah
‘Ashim riwayat Hafsh padahal temanya berkaitan tentang kesepakatan ulama
mengenai idgham.
3)
Hidayah al-Shibyan fi Tajwid al-Qur’an
Kitab tajwid Hidayah al-Shibyan fi Tajwid
al-Qur’an disusun oleh Sa’id bin Sa’ad bin Nabhan yang tidak lain penyusun
kitab Fathurrahan fi Tajwid al-Qur’an yan telah dibahas sebelumnya. Naskah
kitab ini dicetak bersamaan dengan terjemahan bahasa Jawa oleh KH. Ahmad
Shiddiq – Jember , yakni terdapat dalam satu jilid dengan kitab Fathurrahan fi
Tajwid al-Qur’an yang telah diterbitkan Maktabah al-Syaikh Salim bin Sa’ad
Nabhan – Surabaya. Sa’id bin Sa’ad bin Nabhan menyajikan materi-materi tajwid
yang bersifat elementer dan sangat simpel. Itulah sebabnya Sa’id bin Sa’ad bin
Nabhan tidak mengangkat teori-teori tajwid sifatnya yang terlalu detail,
sehingga akan membebani daya kognitif anak-anak.
4)
Tuhfah al-Athfal
Kitab ini dikarang oleh Sulaiman bin
Husain bin Muhammad al-Jamzuriy (w.1198/1784) yang juga masyhur dengan
panggilan Afandi. Beliau meruakan ulama yang terbilang produktif dalam menulis
karya ilmiah. Beliau tidak menyebutkan bahwa kitabnya berdasarkan madzhab
qira’at tertentu tapi beliau mengakui bahwa mendapat pembelajaran dari gurunya
yakni Syaikh al Mihiy. Syaikh al Mihiy sendiri merupakan seorang tunanetra yang
lahir di Mih daerah Qura manuf (Mesir) beliau adalah ulama ahli shufi yang
bermadzhab Syafi’i dan ahli bidang qira’at. Beliau wafat tahun 1204/1795. ‘Ali
al Mihiy sendiri merupakan ayahanda dari ulama besar ahli qira’at yakni
Musthofa Al Mihiy. Dari sini, penulis dapat menyimpulkan bahwa kitab ini
ditransmisikan oleh sanad yang berbau qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh.
5)
Matn al Jazariyyah
Kitab
Matn al Jazariyah ditulis oleh
Abu al Khait Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al Jazariy
(751-833/1350-1429). Kitab ini disusun dengan model Nadhm yang berjumlah
sebanyak 107 bait syair. Di dalam kitabnya, Ibnu AL Jazariy tidak menyebutkan
secara ekplisit bahwa kitab tajwidnya berdasarkan madzhab qiraat tertentu.
Namun, yang jelas adalah kitab nadhm ini lebih komplek daripada kitab nadhm
lainnya.
Dari
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, ada tiga kategori jenis kitab tajwid
yang ada di Nusantara, yaitu: Pertama, Kitab yang secara ekplisit
beafiliasi memberikan keterangan bahwa bermadzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh,
kitab yang tergolong ini Kitab Hidayah al Mustafidl fi ‘ilm al Tajwid. Kedua
memberikan indikasi kuat berafilisasi madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh
sekalipun tidak disebutkan redaksi tegas, kitab yang tergolong Fathurrahman
fii tajwid al Qur’an. Ketiga kitab tidak memberikan indikasi
beafilisasi pada madzhab apapun. Kategori ketiga ini ada dua macam yakni :
Tidak diafilisasikan karena untuk konsumsi anak-anak dimana kitab yang dimaksud
adalah Hidayah al Syibyan fii Tajwid al Qur’an dan Tuhfathul Athfal.
Selanjutnya tidak diafilisasi karena membahas kaidah kaidah tajwid yang
bersifat universal, kitab ini adalah Matn al Jazariyah.
B.
“De Yure” Qira’at ‘Ashim
riwayat Hafsh di Nusantara
Dalam analisis ini, terdapat dua sanad milik ulama Nusantara yang
tergolong paling tua usiannya dimulai abad ke-20, yakni milik KH. Muhammad
Moenawir (Yogyakarta) dan KH. Muhammad Munawwar (Gresik). Berikut akan
dipaparkan mengenai bigrofi dan analisis terhadap sanad beliau:
a.
Profil KH. Muhammad Moenawir
Beliau adalah Muhammad Moenawir bin KH. ‘Abdullah Rasyad bin KH.
Hasan Bashari (Kasan Besari). Putra Kedua dari pasangan KH. ‘Abdullah Rasyad
dan Ibu Khadijah. Belajar kepada KH. Khalil (Bangkalan), beliau juga belajar
kepada KH. ‘Abdullah (Bantul), KH. Shalih (Semarang), KH. ‘Abdurrahman
(Magelang).
Pada tahun 1888, beliau memutuskan untuk meneruskan pendidikan
studinya ke Makkah al Mukarromah dan Madinah al Munawwarah. Di Makkah, beliau
berkonsentrasi pada ilmu bidang Al Qur’an dengan berguru kepada : Syaikh
‘Abdullah Sunqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh ‘Abdus Syakur, Syaikh Manshur, Syaikh
Ibrahim Huzaimiy, Syaikh Muqriy, Syaikh Yusuf Hajar. Sdangkan selama di Madinah
selam 5 tahun beliau mempelajari ilmu tauhid, ilmu fiqh, bahasa, dll. Selain
mampu menghafal Al Qur’an secara sempurna, beliau juga menguasai ilmu qira’ah
sab’ah dengan baik serta mendapatkan riwayat sanad yang bersambung sampai
kepada Rasulullah. Sanad Qira’at beliau merupakan riwayat Qira’at ‘Ashim
riwayat Hafsh thariq ‘Ubaid bin al Shabbah.
Pada tahun 1909, beliau membuka sebuah pengajian al Quran di surau
kecil miliknya yang terdapat di daerah Kauman-Yogyakarta. Pada akhir tahun
1909, beliau akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah pesantren di Krapyak.
Di pesantren inilah, beliau mengajarkan pengetahuan agama ynag dimiliki
teristimewa pada bidang al Qur’an. Setelah 33 tahun pesantren tersebut berdiri,
beliau telah mencetak kader-kader yang siap meneruskan mata rantai sanad
qira’at yang beliau miliki. Di antaranya adalah : KH. Muhammad Arwani Amin
(Kudus), KH. Badawi (Kaliwungu), KH. Zuhdi (Nganjuk), KH. ‘Umar (Solo), KH.
‘Umar (Cirebon), KH. Muntaha (Kalibeber-Wonosobo), KH. Syathibiy (Kutoarjo),
KH. Hasbullah (Wonokromo-Yogyakarta), KH. Muhyiddin (Jejeran-Yogyakarta), KH.
Aminuddin (Kroya). Di antara murid beliau tersebut, yang paling terkenal
memberikan sanad Al Qur’an adalah : KH. Muhammad Arwani Amin (Kudus), KH.
Badawi (Kaliwungu), KH. ‘Umar (Mangkuyudan-Solo). KH. Muhammad Moenawir wafat
pada tanggal 06 Juli 1942/11 Jumadil Akhir 1360.
b.
Profil KH. Munawwar (Gresik)
Beliau
adalah Munawwar bin H. Nur, menurut garis geneologi beliau masih termasuk
keturunan Prabu Brawijaya V. Beliau lahir pada tahun 1884 dan wafat pada tahun
1994 bertepatan dengan tanggal 03 Ramadlan 1365 H, pada usia 60 tahun. Dalam
lembaran sanad beliau, diketahui bahwa beliau merupakan adik seperguruan KH.
Muhammad Moenawir. Menurut KH. Badawi ‘Abdurrasyid (Kaliwungu), menyebutkan
bahwa ada tiga pelajar yang belajar ilmu qira’at kepada Syaikh ‘Abdul Karim bin
‘Umar al Badri al Dimyathi yakni: Muhammad Moenawir (Yogyakarta), Munawwar
(Gresik), Badawi (Kaliwungu) yang mendapatkan qira’at riwayat ‘Ashim riwayat
Hafsh.
c.
Analisis dan Kritik Sanad Moenauwir dan Munawwar
Dapat
disimpulkan lembar sanad KH. Moenauwir dan KH. Munawwar keduanya memiliki
kesamaan,baik dari sisi jumlah mata rantai maupun redaksi yang digunakan. Kalaupun
terjadi perbedaan mungkin hanya secara redaksional saja dan tidak menyentuh
esensialnya. Dari segi penyebutan rawi misalnya, ada lima perbedaan
diantaranya:
a.
Pada mata rantai ke-1 KH. Moenawir disebutkan Syafi’una wa
Nabiyyuna Muhammad Rasulullah SAW, dalam KH. Munawwar disebutkan Sayyidina
Muhammad SAW.
b.
Pada mata rantau ke-4 KH. Moenawir tidak disebutkan al Kuffi
yang dalam KH. Munawwar disebutkan.
c.
Pada mata rantai ke-13 KH. Moenawir disebutkan al asynani
dengan huruf syin dalam KH. Munawwar disebut dengan huruf sin.
d.
Pada mata rantai ke-24 KH. Moenawir tidak disebutkan al Azmiriy
yang dalam KH. Munawwar disebutkan.
Dalam masalah
redaksi penyebutan gelar, hanya ada dua perbedan dalam dua mata rantai
tersebut, yakni:
a.
Pada mata rantai ke-16 KH. Moenawir disebutkan Syaikh al Imam
dalam KH. Munawwar disebutkan dengan al Imam.
b.
Pada mata rantai ke-17 KH. Moenawir disebutkan dengan kata al
Syaikh dan dalam KH. Munawwar dengan al Imam.
Dari beberapa perbedaan redaksional yang sama sekali tidak
menyentuh permasalahan esensial tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua orang ulama
tersebut memang mendapatkan sanad dari seorang guru yang sama. Dari kedua sanad
qira’at tersebut juga dapat diketahui bahwa kedua ulama Nusantara tersebut
sama-sama menempati mata rantai sanad ke-28.
B.
Qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh: sosok dan teori qira’at
1.
Profil imam ‘Ashim
Beliau adalah ‘Ashim bin Bahdalah – maula Bani Judzaimah –
bin Malik bin Nashr bin Qa’in bin Asad. Nama kuniyah yang beliau miliki adalah
Abu Bakar. Ada juga yang mengatakan bahwa nama beliau adalah ‘Ashim bin Abi
al-Najud al-Asadi al-Kufi. Beliau
mendapatkan posisi terhormat di kalangan para ulama ahli qira’at. Diantara
pujian yang dialamatkan kepada beliau berasal dari Abu Ishaq As-Subai’i yang
telah menganggap beliau sebagai seorang ulama paling ahli dalam bidang qira’at
al-Qur’an. Kemudian menurut Syamr
bin ‘Athgiyah, Imam ‘Ashim adalah orang yang paling menguasai qira’at Zaid bin
Tsabit.
‘Ashim Bahladah bukan
hanya ulama yang ahli dalam bidang ilmu qira’at. Beliau juga termasuk dalam
jajaran tokoh ahli hadis, menguasai ilmu bahasa (ahli ilmu nahwu dan logat yang
fashih), apabila melontarkan statment, maka statmentnya akan masyhur di
kalangan masyarakat. ‘Ashim adalah
seseorang yang tekun dalam mengerjakan ibadah, memiliki etika yang terpuji, dan
memiliki suara yang sangat indah. Imam
‘Ashim meninggal dunia di Kufah pada atahun 127/744. Ada juga pendapat yang
mengatakan bahwa beliau meninggal pada tahun 128/745.
Guru dalam bidang qira’at, tercatat ada dua nama tokoh yang
menjadi syaikh Imam ‘Ashim. Pertama, Abu ‘Abdirrahman al-Sulami adalah
orang yang pertama kali mengajarkan al-Qur’an di Kuffah setelah ‘Utsman bin
‘Affan mengirimkan kopi mushaf kekawasan tersebut. Imam ‘Ashim sudah belajar
semenjak masih usia kanak-kanak dan belum mencapai usia akil baligh kepada Abu
‘Abdirahman. Qira’at yang beliau pelajari dari Abu ‘Abdirahman adalah riwayat
yang berasal dari ‘Ali bin Abi Thalib ra. ‘Ashim menegaskan bahwa tidak ada
satu pun perbedaan antara riwayat yang dia sampaikan dengan pelajaran yang
telah diperoleh dari Abu ‘Abdirahman. Begitu juga bahwa riwayat yang
disampainkan oleh Abu ‘Abdirrahman tidak ada satu pun yang berbeda dengan
pelajaran yang telah dia terima dari ‘Ali bin Abi Thalib. Kedua, Zirr
ibn Hubaisy adalah -- salah seorang dari Bani Ghadhirah – bin Malin bin
Tsa’labah bin Khuzaimah. Ziir bin Hubaisy mengajarakan riwayat qira’at kepada
‘Ashim yang berasal dari ‘Abdullah bin Mas’ud. Menurut Imam ‘Ashim, Zirr bin
Hubaisy merupakan orang yang sangat fashih dalam berbahasa Arab.
Murid di dalam menyampaikan qira’at, ‘Ashim mengaku telah
memberikan jalur sanad qira’at yang berbeda kepada kedua orang murid yang
menjadi perawi madzhab qira’atnya. Qia’at yang dia ajarkan kepada Hafsh adalah
riwayat yang bersal dari Abu ‘Abdirrahman al-Sulami, dari ‘Ali bin Abi Thalib
ra. Sedangkan qira’at yang diajarkan kepada Abu Bakar Syu’bah bin ‘Ayyasy
adalah yang beliau pelajari dari Zirr bin Hubaisy dari Ibnu Mas’ud ra.
2.
Profil Imam Hafsh
Beliau adalah Abu ‘Umar Hafsh bin Sulaiman bin al-Mughirah
al-Asadi al-Bazzar al-Ghadhiri al-Kufi. Ada juga yang menyebutkan bahwa garis
nasab beliau adalah Hafsh bin Abi Dawud (nama kuniyah ayahanda Hafsh). Belia
juga dikenal dengan sebutan nama Hufaish. Menurut Khalaf bin Hisyam, beliau
lahir pada tahun 90 H. Hafsh sebenarnya merupakan putra tiri Imam ‘Ashim.
Menurut Ayyub bin Mutawakkil, kualitas riwayat qira’at yang dimiliki oleh Hafsh
dianggap lebih shahih dibandingkan dengan riwayat qira’at Abu Bakar
Syu’bah bin ‘Ayyasy. Hal ini sangat wajar, karena Hafsh memang tinggal serumah
dengan sang ayah tiri dan belajar dari Imam ‘Ashim seperti anak kecil yang
belajar dari orang tuanya. Hafsh bin Sulaiman juga memiliki karir politik yang
cukup cemerlang. Dalam hal ini dia sempat menjabat Hakim Agung (Qadhi) kawasan
Kuffah. Beliau meninggal dunia pada usia 90 tahun, tepatnya pada tahun 180/796.
Guru dalam bidang qira’at, Hafsh disebut-sebut hanya belajar kepada ayah
tirinya, yakni ‘Ashim bin Abi al-Najud. Sedangkan murid yang meriwayatkan
qira’at dari beliau cukup banyak, di antaranya adalah ‘Ubaid bin al-Shabbah,
‘Amr bin Ash-Shabbah, Husain bin Muhammad al-Marwadzi, Hamzah bin al-Qasim
al-Ahwal, Sulaiman bin Dawud al-Zahrani, Hamdan bin Abi ‘Utsman al-Daqqaq,
al-‘Abbas bin al-Fadhl Ash-Shigar, ‘Abdurahman bin Muhammad bin Waqid, Muhammad
bin al-Fadhl, Khalaf al-Haddad, Hubairah bin Muhammad bin Tammar, Abu Syu’aib
al-Qawwas, al-Fadhl bin Yahya bin Syahi bin Firas al-Anbari, Husain bin ‘Ali
al-Ju’fi, Ahmad bin Jubair al-Anthaki, dan Sulaiman al-Faqimi.
3.
Thariq Asy-Syathibiyah
Thariq adalah mata
rantai silsilah qira’at yang berada di bawa perawi. Dengan kata lain, tokoh di
dalam thariq adalah murid-murid yang belajar ilmu qira’at dari para
perwai. Untuk qira’at ‘Ashim riwayat
Hafsh sendiri dikenal memiliki dua macam thariq, yakni thariq
Asy-Syathibyyah dan thariq
al-Thayyibah. Yang dimaksud thariq Asy-Syathibyyah adalah qira’at
yang didasarkan pada jalur periwayatan yang terdapat dalam kitab Hirzul-Amani karya Asy-Syathibi. Sedangkan yang dimaksud
dengan thariq al-Thayyibah adalah
qira’at yang didasarkan pada jalur periwayatan yang terdapat dalam kitab Thayyibah
al-Nasr karya Ibn al-Jazari. Pada
thariq Asy-Syatibiyyah, disebutkan bahwa setiap imam memiliki dua orang perawi,
setiap perawi memilki seorang thariq, dan setiap thariq memiliki satu thariq
lagi di bawahnya. Sementara thariq al-Thayyibah memiliki dua orang thariq pada
setiap perawi, dan setiap thariq juga memiliki dua thariq dibawahnya lagi.
Karena di dalam thariq Asy-Syatibiyyah hanya ada satu thariq, maka syaikh qira’at
yang berada di bawah perawi Hafsh adalah ‘Ubaid bin al-Shabbah. Sedangkan
syaikh qira’at di bawah perawi Hafsh yang terdapat dalam thariq al-Thayyibah
adalah ‘Ubaid bin Ash-Shabah dan ‘Amr bin Ash-Shabbah.
Di antara perbedaan yang sangat mencolok di antara kedua
thariq tersebut adalah cara baca madd ja’iz munfashil. Menurut thariq
‘Ubaid bin Ash-Shabbah (thariq Asy-Syathibiyyah), kadar harakat madd ja’iz
munfashil adalah empat harakat
atau dua alif. Sementara tahariq ‘Amr bin Ash-Shabbah hanya membaca seukuran
dua harakat atau satu alif.
Dengan demikian thariq al-Thayyibah bisa membaca madd ja’izi munfashil
dengna kadar dua harakat atau empat harakat. Perlu diketahui
bahwasanya, qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh yang menjadi bacaan al-Qur’an kaum
muslimin di Indonesia adalah thariq yang mengikuti thariq Asy-Syathibiyyah.
4.
Teori Qiraat ‘Ashim Riwayat Hafs thariq asy-Syathibiyah
Berikut
ini disampaikan beberapa teori madzhab qiraat ‘Ashim riwayat Hafsh thariq
Syatibiyah, diantara sebagai berikut:
a.
Bacaan basmalah
Mengenai aturan membaca basmalah, pada pembacaan basmalah
yang dibaca diantara dua surah al-Qur’an para imam qiraat berbeda pendapat.
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa basmalah tetap dibaca
diakhir sebuah surah sebelum seseorang melanjutkan pada surah yang berikutnya.
Namun ada juga imam qiraat yang berpendapat bahwa basmalah tidak perlu
lagi dibaca di antara dua surah. Diantara kelompok imam yang berpendapat bahwa basmalah
dibaca diantara dua surah adalah imam ‘Ashim.
b.
Ghunnah
Posisi
Imam ‘Ashim sama dengan para imam qira’at dalam membagi bacaan ghunnah.
c.
Idgham
Pembahasan idgham
dibagi menjadi dua kelompok besar:
1)
Idgham kabir, yakni
bertemunya dua huruf mutamatsilan, mutaqariban, atau mutajanisan yang
sama-sama berharakat dalam satu kata atau dua kata. Dalam kasus idgham
kabir, hanya ada idgham kabir mutamasilan dalam riwayat Hafsh,
sedangkan idgham kabir mutaqariban maupun mutajanisan tidak ada.
2)
Idgham shaghir, yakni bertemunya dua huruf mutamasilan, mutaqariban, atau mutajanisan
dalam satu kata atau dua kata, dimana huruf pertama disukun dan huruf
yang kedua berharakat. Segmen ini di bagi menjadi tiga: yakni 1) idgham
mutamasilan,yakni bertemunya dua huruf yang memiliki kesamaan makhraj dan
sifat. Selain dibaca idgham mutamasilan, Hafs juga membacanya saktah. 2)
idgham mutajanisan, yakni bertemunya dua huruf yang memiliki kesamaan
makhraj namun tidak memiliki kesamaan sifat. Qs. 11:412. Riwayat Hafs tahriq
asy-Syatibiyah mengidghamkan lafal irkab pada kata ma’ana.3) idgham
mutaqarriban, yakni bertemunya dua huruf yang memiliki kedekatan makhraj
dan sifat. Qs. 83:14. Riwayat Hafs thariq Syathibiyah tidak mengidghamkan
lafal bal pada kata rana, melainkan membacanya saktah.
d.
Ha’ dhamir
Ha’ dhamir yang
terletak diantara dua huruf berharakat.
Qiraat jenis ini ada dua pendapat mengenai cara membacanya, ada yang boleh
dibaca dengan madd, dan ada yang mengatakan tidak dibaca madd.Hafs
secara umum membaca dua harakat ha’ dhamir jenis ini. Dan ha ’dhamir yang
terletak sebelum huruf sakinah dan setelahnya adalah huruf berharakat, secara umum Hafs tidak membacanya
madd ha’ dhamir jenis ini, kecuali pada ayat.
e.
Tafkhim dan tarqiq
Yang dimaksud dengan tafkhim adalah bentuk artikulasi huruf
secara tebal yang mendekati vokal /o/. Sementara yang dimaksud dengan tarqiq
adalah bentuk artikulasi huruf yang tipis yang mendekati vokal /i/.
Mengenai masalah artikulasi tafkhim dan tarqiq, posisi Imam Ashim
berposisi sama dengan imam qira’at yang lainnya.
f.
Hamzah washl dan Hamzah Qath
Pada pembahasan posisi hamzah qath’ dalam menghilangkan hamzah
washl dan tetap membaca fathah hamzah qath ada tujuh buah lafal tipe
ini yang terdapat di dalam mushaf al-Qur’an. Para imam qira’at sepakat untuk
menghilangkan hamzah washl pada lima tempat (Qs. 2:80, Qs. 34:8, Qs.
38:75, Qs. 63:6, Qs. 37:153) &(Qs. 19:78, Qs. 38:63). Untuk riwayat Hafs,
ketujuh lafal tersebut dibaca dengan menghilangkan hamzah washl.
g.
Saktah
Dalam permasalahan saktah, pendapat para imam qira’at bisa dibilang
cukup variatif. Untuk riwayat Hafs thariq syatibiyah, ada empat bacaan saktah
dalam mushaf yang tidak dibaca oleh riwayat dan thariq qira’at lainnya.
keempat bacaan saktah yang dimaksud adalah berhenti antara lafal iwaja dan
qayyima yang terdapat dalam Qs. 18:1-2, Qs. 36:52, Qs. 75:27, Qs. 83:14.
Disamping pada empat tempat tersebut, riwayat Hafs thariq
asy-Syatibiyah juga memiliki bacaan saktah yang dibaca juga oleh qira’at
melalui jalur riwayat yang lain. Bacaan saktah tersebut terletak pada
dua tempat, yakni pada akhir surah al-Anfal dengan surah at-Taubah dan saktah
yang di baca antara lafal maliyah dan halaka pada Qs.
69:28-29.
h.
Ya’ idhafah dan Ya’ Za’idah.
1)
Menurut para imam qira’at terdapat 212 ya’ idhafah di dalam
mushaf al-Qur’an. Para imam qira’at telah membedakan posisi ya’ idhafah pada
sebuah kata menjadi enam macam:
a)
Terdapat sebelum huruf hamzah yang berharakat fathah. Ada
99 ya’idhafah jenis ini. Dan secara umum Hafs membacanya sukun.
b)
Terdapat sebelum huruf hamzah yang berharakat kasrah. Jenis
ya’ idhafah ini terdapat di 52 tempat. Hampir keseluruhan ya’ jenis
ini dibaca kasrah oleh Hafs, kecuali pada 11 tempat.
c)
Terdapat sebelum huruf hamzah yang berharakat dhammah.
Ya’idhafah jenis terdapat di 10 tempat. Riwayat Hafs membaca semuanya sukun.
d)
Terdapat sebelum /al/ al-ta’rif. Ya’ idhafah jenis ini
terdapat di 14 tempat. Hampir semuanya dibaca fathah oleh Hafs, kecuali
di satu tempat, yakni pada Qs. 21:105.
e)
Terdapat sebelum hamzah washl. Jenis ini terdapat di 7
tempat dan kesemuanya dibaca sukun oleh Hafs.
f)
Terdapat sebelum huruf hijaiyah selain hamzah qath maupun
hamzah washl. Jenis ini terdapat di 30 tempat. Dalam hal ini, 20 lafal
dibaca fathah oleh Hafs, ada satu yang dibaca dengan membuang huruf ya’,
dan satu lagi dibaca fathah oleh imam ‘Ashim. Adapun selebihnya,
maka dibaca sukun.
Dengan
demikian, dari 212 ya’ idhafah yang ada dalam mushaf, 47 diantaranya
dibaca fathah oleh Hafs, satu dibaca hadzf oleh Hafs, dan satu
lagi dibaca fathah oleh ‘Ashim, sedangkan 163 yang lainnya dibaca sukun.
2)
Ya’ Zaidah, menurut
para imam qiraat ada 62 ya’ Zaidah yang terdapat di dalam mushaf
al-Qur’an. Hampir seluruhnya dibaca hafdz (membuang ya’zaidah)
oleh Hafs. Hanya satu saja yang dibaca itsbat (tidak membuang ya’)
dengan harakat fathah ketika washl, boleh dibaca hadzf
atau itsbat. Terdapat pada Qs. 27:36.
i.
Madd
Para imam qira’at membagi pembahasan madd menjadi dua
kelompok besar:
a.
Madd ashli atau madd thabi’i. Dibagi lagi menjadi dua, yakni madd thabi’i kilmi dan madd
thabi’i harfi.
b.
Madd Far’i. Dibagi
lagi menjadi dua macam, yakni Pertama, madd yang disebabkan oleh huruf hamzah,
madd jenis ini dibagi lagi menjadi tiga, yakni a) madd wajib
muttasil, riwayat Hafs thariq asy-syatibiyah membacanya sepanjang 4/5
harakat baik washl atau waqaf, b) madd ja’iz munfashil, riwayat Hafs
thariq asy-Syatibiyah membacanya sepanjang 4/5 harakat, dan c) madd badal, imam Ashim
membacanya seukuran 2 harakat. Kedua, madd yang disebabkan oleh sukun.
Jenis ini dibagi menjadi tiga, yakni a) madd lazim,imam ‘Ashim membacanya
6 harakat, di dalam segmen ini dibagi lagi menjadi dua macam yaitu : madd
lazim kilmi, madd lazim harfi. b) madd ‘aridh, Imam Ashim membacanya
2,4, atau 6 harakat c) madd lin, Imam Ashim membacanya sepanjang
2 harakat.
KESIMPULAN
Perkembangan madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh secara definitif
di bumi Nusantara baru dimulai pada abad ke-20. Hal ini ditandai dengan
keberadaan sanad qira’at milik ulama Nusantara, dalam hal ini sanad milik KH.
Muhammad Moenauwir dan KH. Munawwar. Keduanya baru berhasil memboyong sanad
qira’at tersebut dari Makkah al-Mukarramah pada tahun 1909 dan tahun 1920.
Namun demikian bacaan al-Qur’an penduduk Nusantara sejak masa awal datangnya
Islam bisa di pastikan berafiliasi pada madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh.
Hal ini bisa dibuktikan melalui beberapa kesamaan qawa’id ushuliyyah maupun farsy al-huruf qira’at al-Qur’an
penduduk Nusantara dengan teori-teori qira’at yang terdapat dalam madzhab
qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh.
Bukti yang lainnya adalah adanya kesamaan antara madzhab qira’at
penduduk Nusantara dengan madzhab qira’at para ulama pembawa Islam ke kawasan
Nusantara. hal ini juga diperkuat dengan kesamaan metode pembelajaran dan
kurikulum baca al-Qur’an dalam kurikulum pendidikan Islam di Nusantara yang
menggunakan metode di salah satu negeri asal ulama pembawa Islam di Nusantara,
yakni metode qawa’id Baghdadiyyah. Begitu juga dengan keberadaan
kitab-kitab tajwid dalam kurikulum pendidikan Islam di Nusantara yang
berafiliasi pada madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh, semua itu membuktikan
bahwa secara de facto, penduduk
Nusantara telah menganut madzhab qira’at ‘Ashim riwayat Hafsh sejak masa
kedatangan Islam di kawasan tersebut. Hanya saja secara de yure, sejarah
perkembangan ilmu qira’at di Nusantara baru muncul pada abad ke-20.
DApusnya mana ya kak?
BalasHapus