Kamis, 19 Oktober 2017

KEBENARAN ILMIAH DAN NON-ILMIAH

Latar belakang

Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan unutk menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah kebenaran itu sendiri.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir dengan menggunkan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau menemukan kebenaran yang terdapat dalam objek yang menjadi sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek. Seiring dapat dibenarkan oleh presepsi-presepsi, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal filsafat. Dalam kajian filsafat ilmu perlu dihadirkan pembahasan mengenai kebenaran agar memperoleh wacana yang memadai dalam konteks untuk menemukan kebenaran.
Terori-teori yang hadir di dalam kebenaran cukup banyak dan luas, sehingga menyentuh dimensi-dimensi yang mendalam. Untuk pembahasan di dalam makalah ini, kami memfokuskan di dalam teori ilmu pengetahauan atau teori ilmiah yang menyatakan bahwa kebenaran itu sesuai dengan asas-asas yang terdapat dalam ilmu pengetahuan (merupakan kebenaran dari pembuktian terhadap hipotesis).
Menurut Jujun S. Suriasmantri dalam tulisannya yang berjudul Hakikat Dasar Keilmuan (1998), ilmu merupakan suatu pengetahaun yang menjelaskan rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia. Artinya, objek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat pancaindranya.
Dalam prespektif epistemologi, ilmu selalu memanfaatkan dua kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indra. Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam mempelajari gejalan alam unutk menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam menemukan kebenaran, menyandarkan dirinya kepada salah satu dari tujuh kriteria atau teori kebenaran yaitu: (i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik; (v) esensialistik; (vi) konstruktivistik; dan (vii) religuistik. Untuk pemahaman secara komprehensif mengenai Kebenaran Ilmiah dan Non Ilmiah, maka di dapati rumusan permasalahan sebagai berikut:
1.      Bagaimana definisi kebenaran dan kebenaran ilmiah?
2.      Bagaimana Definisi Ilmiah dan Karakteristiknya?
3.      Bagaimana macam-macam kebenaran ilmiah dan sifat-sifatnya?
4.      Bagaimana cara penemuan kebenaran secara ilmiah?
5.      Cara Penemuan Kebenaran secara ilmiah?
6.      Pengertian kebenaran non-ilmiah?
7.      Bagaimana cara penemuan kebenaran non ilmiah?



















1.   Definisi Kebenaran dan Kebenaran Ilmiah
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai salah satu kata benda yang konkret maupun abstrak (Abbas Hamami, 1983). Jika Subyek hendak menuturkan kebenaran artinya adalah preposisi yang benar. Dengan kata lain arti kebenaran itu bergantung pada preposisi yang mengikuti di belakangnya. Sehingga kebenaran akan memiliki presepsi dan pengertian yang bebeda satu sama lain. Secara umum terdapat tiga macam definisi kebenaran, yaitu:[1] 
1)    Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Terbagi menjadi 4, yaitu:
a)   Pengetahuan Biasa (Ordinary Knowledge), pengetahuan ini memiliki kebenaran yang bersifat subjektif.
b)   Pengetahuan Ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang spesifik dengan metodologi yang telah disepakati para ahli ilmu tersebut. kebenarannya bersifat relative, karena selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan persetujuan dari para ilmuwannya.
c)   Pengetahuan Falsafati, kebenarannya bersifat absolut-intersubjektif, yaitu melekat pada pandangan filsafat seorang pemikir filsafat itu.
d)   Pengetahuan Agama, memiliki sifat dogmatis dan kebenarannya bersifat mutak absolut.
2)      Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karakteristik bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu.  Sehingga implikasi nilai kebenarannya juga sesuai dengan jenis pengetahuan itu.
3)      Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi antara subjek dan objek. Jika subjek yang lebih beperan maka kebenarannya bersifat subjektif. Begitu pula sebaliknya.

2.     Definisi Ilmiah dan Karakteristik Ilmiah
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, pengertian ilmiah adalah segala sesuatu yang bersifat keilmuan, didasarkan pada ilmu pengetahuan, memenuhi syarat atau kaidah ilmu pengetahuan. Segala sesuatu yang dibuat berdasarkan kaidah ilmu pengetahuan dapat disebut bersifat ilmiah.
Sesuatu disebut ilmiah apabila memiliki patokan yang merupakan rambu-rambu untuk menentukan benar atau salah. Karakteristik ilmiah terdiri dari empat syarat, yaitu :[2]
1)      Objektif (Ada kesesuaian dengan objeknya/dibuktikan dengan hasil pengindraan atau  empiri).
2)      Metodik (Diperoleh dengan menggunakan cara-cara tertentu dan terkontrol).
3)      Sistematik (Tersusun dalam suatu sistem, tidak berdiri sendiri satu sama lain saling berkaitan, saling menjelaskan sehingga keseluruhannya merupakan satu kesatuan yang utuh).
4)      Berlaku umum /universal (Tidak hanya berlaku atau dapat diamati oleh seseorang/ oleh beberapa orang saja, tetapi oleh semua orang dengan cara eksperimentasi yang sama dan akan menghasilkan sesuatu yang sama/konsisten).

3.      Macam-macam kebenaran ilmiah dan sifat dari kebenaran ilmiah.
A.   Macam-macam kebenaran ilmiah.
Macam-macam kebenaran ilmiah terlihat dari bagaimana suatu ilmu menyadarkan dirinya kepada salah satu dari kriteria atau teori yang berkaitan dengan kebenaran, diantaranya sebagai berikut:
a.      Koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan, pendapat, kejadia, atau informasi) akan diakui sahih/  dianggap benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga shahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika. Teori ini juuga mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu argumenatasi. Teori ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika terdapat konsistensi yang ditangkap subjek yang satu dengan subjek lainnya tentang suatu realita yang sama. Makin konsisten ide-ide atau kesan yang ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu objek yang sama, makin benarlah ide-ide atau kesan itu.



b.      Korespondensi
Korespondensi merupakan teori kebenaran tang mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu shahih apabila proposisi bersesuaian dengan realitas yang menjadi objek pengetahaun itu. Keshahihankorespondensi itu memilikinpertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi.  Dengan demikian, keshahihan pengetahuan itu dapat dibuktikan secara langsung. Teori ini juga mendasarkan diri kepada kriteria tentang kesesuaian anatar materi yang dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai pernyataan tersebut. Sesuatu dianggap benar apabila apa yang diungkapakan  (prndapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.

c.       Positivistik
Posotivisme yang dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang dinyatakan sebagai Bapaka ilmi Sosiologi di Barat. Positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan berdasarkan sains. Positivisme sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrem, adlaah pandangan yang menganggap bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah “data yang nyata/empirik”, atau yang mereka namakan positif.

d.      Pragmatistik
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang mendasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya suatu penyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori Pragmatisme berbeda dengan teori koherensi dan korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan realita objektif, pargmatisme berusaha menguji kebenaran ide-ide melalui konsekuensi-konsekuensi dari pada praktik atau pelaksanaannya. Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau salah sebelum diuji kemanfaatannya di masyarakat.

e.       Esensialitik
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah berkembang sejak awal peradaban umat manusia. Di dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan penuh dengan fleksibilitas, dimana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak terdapat ketertarikan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan. Nilai-nilai yang terpilih mempunyai tata yang jelas.

f.        Konstruktivistik
Teori konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan menjadi lebih dinamis.

g.      Religiusstik
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius ini yang  kebenarannya secara ontologis dan asksiologis bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui wahyu. Secara pasti, manusia tidak akan mendapatkan kebenaran mutlak, dan unutk mengukur kebenaran dalam filsafat sesungguhnya tergantung kepada kita metode-metode unutk memperoleh pengetahaun itu.

B.     Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah.Artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya sebagai tahap untuk  memperoleh pengetahuan ilmiah. Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivanya.
Mengacu pada status ontologis objek, maka pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat digolongkan dalam dua jenis teori, yaitu teori kebenaran korespondensi dan teori kebenaran koherensi.Ilmu-ilmu kealaman  pada umumnya menuntut kebenaran korespondensi, karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi/pernyataan (statement). Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosial, ilmu logika dan matematika. Ilmu-ilmu tersebut menuntut konsistensi dan koherensi diantara proposisi-proposisi, sehingga pembenaran bagi ilmu-ilmu itu mengikuti teori kebenaran koherensi.
Kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan dibidangnya yang keseluruhan adalah para sarjana, maka sifat kebenaran ilmu yaitu memiliki sifat universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Pernyataan tersebut karena kebenaran ilmu harus selalu merupakan kebenaran yang disepakati dalam konvensi, maka keuniversalan sifat ilmu masih dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain yang hasilnya menolak penemuan terdahulu atau bertentangan sama sekali. Jika terdapat hal yang semacam ini maka diperlukan suatu penelitian ulang yang mendalam. Dan jika hasilnya memang berbeda maka kebenaran yang lama harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenarannya masing-masing.[3]
4.      Cara Penemuan Kebenaran secara ilmiah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin tahu pada manusia dalam taraf keilmuan, yang dimana ada suatu proses yang terjadi dari suatu rangkaian langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk mendapatkan jawaban terhadap sejumlah pertanyaan. Penyaluran sampai pada taraf setinggi ini disertai oleh kayakinan bahwa ada sebab pasti ada akibat, dan bahwa setiap gejala yang tampak dapat dicari penjelasannya secara ilmiah.[4]
Dalam menemukan kebenaran  ilmiah maka harus melakukan penelitian ilmiah  yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:[5]
Ø  Metodologis, logis koheren
Ø  Konsep dan teori yang baku
Ø  Universalitas dan objektivitas
Ø  Progresivitas dan sikap kritis
Ø  Dapat digunakan




5.      Kebenaran non ilmiah
Seringnya orang orang memandang tiga hal berikut ini sebagai kebenaran yang tidak ilmiah, Karena di sebabkan sifat dan caranya yang sederhana ,penuh dengan kira-kira ,serta tidak dapat di jangkau oleh alat indra manusia. hal ini mencakup : pengetahuan biasa, mitos,dan wahyu.
a.  Pengetahuan biasa
Secara skematik, pengetahuan manusia biasa berkembang menuju kepada yang lebih berkualitas/valid. Validitas  tersebut sangat di tentukan oleh kerangka dasar pemikiran/ landasan epistimologinya serta bentuk penalarannya, semakin logis dan teruji di dalam penerapannya , maka pengetahuan itu di sebut ilmiah.
Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari proses tahu   ( ini tahap awal) dan hasil dari itu ialah di sebut pengetahuan biasa,memori (ini tahap kedua). Sedangkan tahap ketiga ialah ilmu pengetahuan ,yaitu pengetahuan yang tingkat validitasnya di atas pengetahuan biasa. Sebab hasil ini di perolehnya berdasarkan pada pengujian teoritik dan penggunaan metode yang jelas dalam analisisnya. Adapun rumus atau teori itu sendiri adalah produk pengetahuan ilmiah yang memiliki kekokohan dasar pemikiran dan telah teruji ,serta pada tahap berikutnya biasa dijadikan landasan pengetahuan obyek kajian tertentu lainnya.
Untuk kejelasan perbedaan pengetahuan biasa  (sesuai dengan maksud sub judul ini) dengan pengetahuan ilmiah,misalnya, maka dapat di contohkan berikut ini. Setiap orang tahu tentang air tawar  (ini hasil proses tahu ). Pengetahuan tersebut di peroleh dengan cara kontak  /pengalaman  (indrawi) antar subyek dengan obyek. Wujud dari pengetahuan ini di sebut pengalaman biasa .dikatakan demikian Karena ia hanya sekedar berupa hasil yang terekam dalam memori manusia tanpa proses Analisa dan penggunaan metode kajian tertentu berbeda dengan  para ilmuan yang memperoleh pengetahuan pengetahuan berdasarkan telaah akademik terhadap obyek kajiannya, sehingga hasilnya lebih rinci, jelas dan akurat (pasti) keakuratan tersebut di buktikan dengan adanya kemampuan menjelaskan unsur-unsur yang ada didalam air tawar, seperti H O2. Sekaligus para ilmuan tersebut dapat membedakan antara air tawar dengan dengan zat cair lainnya yang meskipun secara indrawi tampak sama-sama cair juga.  Sebaliknya, orang awam tidak biasa membedakan sedetailnya.

b.    Mitos
Mitos sebenarnya bagian dari folklore, atau cerita rakyat / hikayat. Kualitasnyaialahsetingkatdenganlegendadandongeng Mitos itu diturunkan secara subyektif, dalam arti kebenaranya hanya berlaku dimana berlaku dalam masyarakatnya, dan tidak ada kaitan antara pengalaman dan penuturan. Mitos berarti menghindar realitas, bukan menghadapi realitas. Seperti ruwatan, patung, sesaji yang dianggap symbol yang dapat menghindarkan malapetaka.
Mitos biasanya efektif sebagai alat komunikasi massa. Mitos akan hidup tatkala rakyat tertekan da n penuh harapan. Mitos dapat juga mendorong per buatan. Misal mitos tentang ratu kidul, masyarakat antusias datang kepantai seklatan melakukan ritual dan sesaji berharap agar hidupnya selamat, aman dan tentram. [6]
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk dibedakn. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan manusia merupakan pematangan dari kepercayaan.[7]

c.    Wahyu
Arti wahyu secara  umum adalah bisikan, isyarat atau petunjuk , ilham, perintah, perundingan rahasia. Dalam syara”, wahyu adalah pengetahuan yang diperoleh Nabi atau Rasul, yang berasal dari allah dengan perantara/ tidak melalui perantara ( malaikat, mimpi, indra, lonceng). Manusia tidak akan mengetahui hakikat wahyu secara pasti, hanya Allah lah yang mengetahui hakekatnya. Logikanya, sesuatu yang dibawa/ disampaikan oleh orang  yang terkenal jujur dan terpelihara dari kesalahan .

6.      Cara penemuan kebenaran non ilmiah
Upaya untuk menemukan kebenaran yang nonilmiah dapat terlaksana dengan berbagai cara di antaranya ialah:[8]
1.      Penemuan secara kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan berlangsung tanpa disengaja. Dalam sejarah manusia, penemuan secara kebetulan itu juga yang berguna walaupun terjadinya tidak secara ilmiah, tidak sengaja dan tanpa rencana. Cara ini untuk dapat diterima dalam metode keilmuanb untuk mengali pengetahuan atau ilma.
2.      Penemuan “coba dan ralat” (trial and error)
Penemuan”coba dan ralat” terjadi tanpa kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari itu. Memang ada aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas itu mengandung unsur spekulatif atau “untung untungan”
3.      Penemuan melalui otoritas atau kewibawaan
Pendapat orang yang memiliki krwibawaan, misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan krkuasaan sering diterima sebagai kebenaran  meskipun pendapat itu  tidak didasarkan apds pembuktian ilmiah.




















KESIMPULAN

Dari penjelasan diatas, kita dapat tarik suatu kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan unutk menemukan kebenaran. Ilmu pengetahuan adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu dengan tujuan menguak rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tidak lagi menjadi misteri.
Tidak terdapat kebenaran yang absolut di dunia ini. Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan itu sendiri tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu dengan menggunakan metode kriteria kebenaran prespektif ilmu yang terdiri dari: koherensi, korespondensi, positivistik, pragmatik, esensialistik, kontruktivistik, dan religusistik.





                                                                                              
















DAFTAR PUSTAKA

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM. 2010. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty, cet. V.
Maslikhah dan Peni Susapti. 2013. Ilmu Alamiah Dasar.Yogyakarta: Ombak.
Suhasti Ermi. 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Praj Media.
Ghazali, Bachir, dkk. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: UIN SUKA
Hartanto, Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu. Semarang: IKIP Semarang Press
Adib, Muhammad. 2005. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, cet. V, 2010), hlm. 135-137
[2] Maslikhah dan Peni Susapti, Ilmu Alamiah Dasar(Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm.46-47
[3] Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty, cet. V, 2010), hlm. 144-145
[4] Kasmadi Hartanto, dkk. Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 31.
[5] Kasmadi Hartanto, dkk. Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. 33.
[6]  Ermi suhasti,filsafat ilmu,(yogyakarta: prajnya media,2012).cet I, hlm.69.
[7] H. Muhammad Adib, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2011), cet. II, hlm. 26.
[8] Kasmadi Hartanto, dkk. Filsafat Ilmu, (Semarang: IKIP Semarang Press, 1990), hlm. .25-27

1 komentar:

  1. terima kasih dengan adanya jurnal ini dapat membantu saya dalam pelajaran filsafat yang membahas tentang permasalahan mengenai kebenaran, dengan adanya jurnal tersebut saya sedikit lebih bisa memahami apa itu kebenaran non ilmiah, meskipun masih ada hal-hal lain yang belum saya ketahui. karena pada hakikatnya kita belajar karena tidak tau dan tujuan dari pemeblajaran tersebut adalah untuk mengetahui hal yang belum diketahui menjadi tau.

    BalasHapus