Latar
belakang masalah
Al-Qur’an merupakan sumber pedoman
umat Islam dan mu’jizat terbesar serta teragung dan kemu’jizatannya tidak
tertandingi hingga saat ini. Apabila ditelaah dengan seksama, maka akan
ditemukan keunikan-keunikan makna yang tidak akan pernah habis untuk dikaji dan
memberi isyarat makna yang terbatas. Kedudukan al-Qur’an merupakan rujukan
utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya
interpretasi baru sehingga menjadi motivasi tersendiri terhadap usaha untuk
penafsiran dan menggali kandungan maknanya.
Al-Qur’an
diturunkan berbahasa Arab. Untuk memahami dan mengerti bahasa tersebut,
seseorang haruslah mendalami bahasa tersebut agar dapat memahaminya secara
menyeluruh dari berbagai aspek, baik perkembangannya maupun tata aturan yang
ada dalam bahasa tersebut. Dalam bahasa Arab, baik isim ataupun fiil mengalami
berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut menjadi hal yang sangat
penting untuk memahami al-Qur’an. Salah satunya yakni adanya isim jama’ dan
isim mufrod. Dilihat dari segi ilmu nahwu, isim jama’ adalah isim yang
menunjukkan arti banyak, sedangkan mufrod adalah isim yang menunujukkan arti
satu. Akan tetapi, dalam studi ulumul Qur’an, jama’ dan mufrod yang tertulis
dalam ayat-ayat al-Qur’an mempunyai maksud dan tujuan tersendiri dalam
penggunaanya.
Pemakaian
suatu lafaldz dalam Al-Qur’an mengandung makna tertentu yang tidak ada pada
temapat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-Qur’an.
Itu lah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah mufrad dan jamak yang membahasa
kosa kata Al-Qur’an. Perlu adanya kajian tentang pola kalimat yang serupa,
supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Lafadz-ladazh mufrad dan
jamak yang dipakai dalam Al-Qur’an tersebut, ternyata maknanya tidak secara
kebetulan hadir, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai dengan pesan
yang ingin disampaikan. Perubahan pemakaian makna tersebut jelas membawa
perubahan konotasi dari kata itu.
Untuk
menjawab dan menambah pemahaman kita secara komprehensif mengenai mufrad dan
jamak, maka didapati rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian dari mufrad dan jamak?
2. Bagaimana penggunaan mufrad, makna dan contohnya dalam al-Quran?
3. Bagaimana penggunaan jamak, makna dan contohnya dalam al-Quran?
4. Bagaimana bentuk perubahan jamak dan mufrad dalam Al-Qur’an?
1. Pengertian Mufrad dan Jamak
Secara
bahasa kata mufrad adalah isim maf’ul yang berarti terasing. Sedangkan menurut
istilah, mufrad adalah sebutan untuk isim yang menunjukan satu atau tunggal, seperti
seorang manusia, seekor binatang, sebuah benda, dan sebagainya.
Jamak
adalah sebutan unutk menunjukan sejumlah (banyak), baik manusia maupun makhluk
lainya. Menurut istilah, jamak merupakan
isim yang menunjukan lebih dari dua, dengan aturan pembentukan tertentu,
seperti kata mesjid menjadi masajid, rajul (seorang lelaki)
menjadi rija, dan sebagainya.[1]
Bentuk jamak dalam bahasa Arab dapat
dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, pertama Jamak salîm (utuh)
adalah bentuk jamak yang terjadi berdasarkan pola yang beraturan atau tetap;
dan kedua, jamak taksîr (pecah) adalah bentuk jamak yang
terjadinya tidak berdasarkan pola yang seragam atau tetap.[2]
Jama’ adalah bentuk kata yang
menunujukkan kepada sesuatu lebih dari dua, seperti kata مسلمون . jama’ dibagi menjadi
tiga: Jama’ mudzakar salim, jama’ muannats salim, dan jama’ taksir. Jama’
mudzakar salim adalah bentuk jama’ yamg menunjukkan kepada tiga hal atau lebih,
dengan menambahkan wau dan nun di saat rofa’ atau menambahkan ya’ dan nun
ketika nashab.[3] Adapun yang bisa dijadikan jama’
mudzakar salim adalah isim alam dan sifat, seperti مخلصون dan ععليون. Sedangkan jama’
muannats salim adalah bentuk jama’ yang menun jukkan kepada tiga atau lebih
dengan menambahkan alif dan ta dari bentuk mufradnya[4] dan maknanya diperuntukkan untuk
perumpuan. Jama’ yang ketigayaknijama’ taksir, yaitujama’ yang menunjukkan
kepada tiga hal atau lebih dengan merubah bentuk mufradnya. Jama’ taksir adalah bentuk jama’ yang umum dipakai baik untuk yang berakal atau pun tidak, muannatsa atau pun mudzakkar. Jama’ taksir sendiri ada dua macam, yakni jama’ qillah danjama’ katsrah. Jama’ qillah menunjukkan hitungan dari tiga hingga sepuluh yang mengikuti wazan:أفعل، أفعلة،
أفعال، فعلة . Sedangkan jama’ katsrah menunjukkan hitungan
lebih dari sepuluh, selain dari wazan dari jama’ qillah.[5]
2. Penggunaan mufrad dalam Al-Qur’an dan
Contohnya.
Pemahaman dalam
Al-Qur’an harus memperhatikan kaidah penggunaan tentang isim mufrad dan jamak
unutk menyebut beberapa hal tertentu. Diantaranya adalah kata yang selalu
disebutkan dalam bentuk mufrad, misalnya: ardh (bumi), shirath
(jalan), nur (cahaya).
·
Contohnya
mufrad ardh (bumi):
yÏ$t7Ïè»t tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) ÓÅÌör& ×pyèźur }»Î*sù Èbrßç7ôã$$sù ÇÎÏÈ
Artinya: “Hai
hamba-hamba yang beriman! Sungguh, bumiku luas; maka sembahalah aku (dan hanya
aku)! (QS. Al-Ankabut[29]: 56.
·
Contohnya
mufrad shirath (jalan):
¨br&ur #x»yd ÏÛºuÅÀ $VJÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( wur (#qãèÎ7Fs? @ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4
öNä3Ï9ºs Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÎÌÈ
Artinya: “Inilah
jalanku yang lurus. Ikutilah! Janganlah ikuti bermacam-macam jalan yang akan
mencerai-beraikan dari jalannya. Demikianlah dia memerintahkan kamu, supaya
kamu bertaqwa.” (QS. Al-An’am[6]: 153.)
·
Contohnya
mufrad nur (cahaya):
tPöqt ts? tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 4Ótëó¡o NèdâqçR tû÷üt/ öNÍkÉ÷r& /ÏSÏZ»yJ÷r'Î/ur ãNä31tô±ç0 tPöquø9$#
×M»¨Zy_ ÌøgrB `ÏB $pkÉJøtrB ã»pk÷XF{$# tûïÏ$Î#»yz $pkÏù 4 Ï9ºs uqèd ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊËÈ
Artinya: “ suatu
hari akan kau lihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya
mereka berlari di depan dan disebelah kanan mereka. (Qs. Al-Hadid[57]:12).
3. Penggunaan jamak dalam Al-Qur’an dan
Contohnya.
Kata yang selalu
disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya: Lubb-albab, kub-akwab.
·
Contohnya
jamak albab:
öNs9r& ts? ¨br& ©!$# tAtRr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ¼çms3n=|¡sù yìÎ6»oYt Îû ÇÚöF{$# ¢OèO ßlÌøä ¾ÏmÎ/ %Yæöy
$¸ÿÎ=tGøC ¼çmçRºuqø9r& §NèO ßkÎgt çm1utIsù #vxÿóÁãB ¢OèO ¼ã&é#yèøgs $¸J»sÜãm 4
¨bÎ) Îû Ï9ºs 3tø.Ï%s!
Í<'rT{ É=»t7ø9F{$# ÇËÊÈ
Artinya: “Tidaklah kau
perhatikan Allah telah menurunkan air dari langit, lalu menyalurkannya melalui
sumber-sumber mata air di tanah? Kemudian dengan itu Ia menumbuhkan tanaman
beraneka warna; kemudian layu, lalu kau lihat menjadi kuning. Lalu Ia
menjadikannya kering dan hancur bertebaran. Sungguh, yang demikian adalah
peringatan bagi orang yang arif. (Qs.
Az-Zumar[39]: 21).
·
Contohnya
jamak akwab:
$pkÏù Öçß ×ptãqèùö¨B ÇÊÌÈ Ò>#uqø.r&ur ×ptãqàÊöq¨B ÇÊÍÈ
Artinya: “ Di
dalamnya ada singgasana (kemuliaan) yang tinggi. Dan piala-piala tersedia. (Qs.
Al-Ghasiyah[88]: 13-14).
4. Penggunaan mufrad dan jamak dalam
Al-Qur’an beserta Contohnya.
Kata yang dipergunakan
dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks yang berbeda. Kata-kata
tersebut antara lain: sama’, - samawat, rih-riyah, sabil-subul,
maghrib-magharib, masyriq-masyariq.
·
Contoh
kata mufrad dan jamak sama’-samawat
Îûur Ïä!$uK¡¡9$# ö/ä3è%øÍ $tBur tbrßtãqè? ÇËËÈ Éb>uuqsù Ïä!$uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ¼çm¯RÎ) A,yss9 @÷WÏiB
!$tB öNä3¯Rr& tbqà)ÏÜZs? ÇËÌÈ
Artinya: “ Dan
dilangit ada rezeki kamu, dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi tuhan
pencipta langit dan bumi; sungguh itu benar, sebagaiman yang kamu ucapkan.
(Qs. Adzzariyat[51]: 22-23).
yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ
¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( ¾Çøtä àMÏJãur ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« íÏs% ÇËÈ
Artinya: “ Segala
yang di langit dan di bumi, biarkan memurnikan dan mengagungkan allah; dia Maha
perkasa, Maha bijaksana. Kepunyaan-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Ia
menentukan hidup dan mati; Dia berkuasa atas segala sesuatu.
(Qs.
Al-Hadid[57]: 1-2).
Kata sama’ dalam
bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan betapa
luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud Adalah arah atas, sebagai
lawan bawah.
·
Contoh
kata mufrad dan jamak rih-riyah
ã@sW¨B úïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOÎgÎn/tÎ/ ( óOßgè=»yJôãr& >$tBtx. ôN£tFô©$# ÏmÎ/ ßwÌh9$# Îû BQöqt 7#Ϲ%tæ ( w
tbrâÏø)t $£JÏB (#qç7|¡2 4n?tã &äóÓx« 4 Ï9ºs
uqèd ã@»n=Ò9$# ßÏèt7ø9$#
Artinya: “
perumpamaan tentang mereka yang mengingkari tuhan, usaha mereka seperti abu,
ditiup angin kencang pada hari yang penuh badai. Mereka tak berdaya sama sekali
atas segala yang sudah mereka peroleh. Itulah kesesatan yang sudah jauh (dari
sasaran).
(QS.
Ibrahim[14]: 18).
$uZù=yör&ur yx»tÌh9$# yxÏ%ºuqs9 $uZø9tRr'sù
z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB
çnqßJä3»oYøs)ór'sù !$tBur
óOçFRr&
¼çms9
tûüÏRÌ»s¿2 ÇËËÈ
Artinya: “ Dan kami
tiupkan angin menyerbuki, kemudian kami turunkan hujan dari langit, yang dengan
itu kami beri kamu air, meskipun bukan kamu yang menjaga menyimpannya. (QS.
Al-Hijr[15]: 22).
Kata
rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab
dan digunakan dalam bentuk jama’ jika digunakan dalam konteks rahmat.
·
Contoh
kata mufrad dan jamak sabil
¨br&ur
#x»yd ÏÛºuÅÀ
$VJÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( wur
(#qãèÎ7Fs?
@ç6¡9$#
s-§xÿtGsù öNä3Î/
`tã
¾Ï&Î#Î7y
4 öNä3Ï9ºs Nä38¢¹ur
¾ÏmÎ/
öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÎÌÈ
Artinya:
“ Inilah jalan-ku yang lurus. Ikutilah! Janganlah ikuti bermacam-macam jalan
yang akan mencerai-beraikan dari jalannya. Demikianlah dia memerintahkan kamu,
supaya kamu bertakwa. (QS. Al-An’am[6]: 153).
Kata
sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam kkonteks jalan
kebenaran, dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan. Hal
itu karena jalan kebenaran hanya satu, sedangkan jalan kesesatan
bercabang-cabang.
·
Contoh
kata mufrad dan jamak masyriq
dan maghrib
¬!ur
ä-Ìô±pRùQ$# Ü>ÌøópRùQ$#ur
4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù
çmô_ur «!$#
4 cÎ)
©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
Artinya:
“ Milik Allah timur dan barat; ke mana pun kamu berpaling, di situlah
kehadiran Allah. Allah maha luas, Maha tahu. (QS. Al-Baqarah[2]: 115).
$uZøOu÷rr&ur tPöqs)ø9$#
úïÏ%©!$#
(#qçR%x. cqàÿyèôÒtFó¡ç XÍ»t±tB ÇÚöF{$#
$ygt/Ì»tótBur ÓÉL©9$# $uZø.t»t/
$pkÏù ( ôM£Js?ur
àMyJÎ=x. În/u 4Óo_ó¡ßsø9$#
4n?tã ûÓÍ_t/
@ÏäÂuó Î) $yJÎ/ (#rçy9|¹ ( $tRö¨Byur $tB c%x. ßìuZóÁt
ÜcöqtãöÏù ¼çmãBöqs%ur $tBur (#qçR$2
cqä©Ì÷èt
ÇÊÌÐÈ
Artinya:
“ Kami wariskan kepada golongan yang tadinya dipandang lemah tanah yang kami
berkati di timur dan di barat. (QS. Al-A’raf[7]: 137).
Kata
masyriq dan maghrib dimufradkan untuk mengisyaratkan arah; ditasniyahkan(ganda)
menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni di musim dingin
dan musim panas; dijamakkan karena keduannya adalah tempat terbit dan tempat
terbenam setiap hari.[6]
5.
Muqabalah jamak dengan jamak atau mufrad
Muqabalah berasal dari bahasa arab artinya(مقابلة)
“berhadapan”. Dari itu
muqabalah jamak dengan jamak ialah menempatkan kata jamak (plural) setelah kata
jamak, karena letak keduanya berdekatan, seakan-akan keduanya berhadap-hadapan.
Itulah sebabnya keduanya disebut “muqabalah”. Apabila jamak berdekatan dengan
mufrad (kata tunggal) dalam suatu ungkapan, maka disebut “ muqabalah jamak
dengan mufrad”, begitulah seterusnya.
Kajian
tentang muqabalah ini tak kalah pentingnya dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an
karena perubahan bentuk kata berpengaruh besar terhadap konotasi kata tersebut.
a.
Muqabalah jamak dengan jamak
Pola kaimat serupa ini banyak dijumpai dalam Al-qur’an
antara lain sebagai berikut:
Kata
جعلوا(jamak جعل )
berhadapan dengan اصا بعهم dan اذانهم pada
contoh pertama demikian pula استغشوا (jamak استغشى )
juga dalam contoh pertama berhadapan dengan ثياب(jamak
ثوب ) begitu pula kata يرضعن (jamak ترضع )
pada contoh kedua berhadapan denganاولاد (jamak ولد)
dan اجلدوا (jamak اجلد )
pada contoh ketiga berhadapan dengan ثمانين (jamakثمان).
Pola susunan kalimat serupa itu memberi pengertian
yang berbeda bila jamak tersebut berhadapan dengan mufrad sebagaimana akan
dibahas pada kedua nanti. Menurut al-syuyuti, dalam dua contoh pertama
terkandung makna bahwa masing-masing individu pada jamak yang kedua. Pad ungkapan,جعلواصابعهم فى
اذانهم misalnya, masing-masing
mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jemari mereka masing-masing; dan
menjadikan pakaian masing-masing menutup diri mereka. Itulah yang dipahami dari
ungkapan. واستغشوا ثيابهم pemahaman serupa itu
juga ditemukan pada contoh والوالدات
يرضعن اولادهنArtinya para ibu
menyusui anak-anak mereka masing-masing. Adapun contoh yang ketiga mengandung
konotasi bahwa masing-masing individu memperoleh siksaan atay sanski hukum yang
sama banyaknya.
Dari contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa
pemakaian jamak dengan jamak tersebut memberikan konotasi umum; artinya setiap
individu dalam himpunann jamak tersebut menjadi objek dari jamak itu. Berbeda
halnya bila jamak berhadapan denga mufrad sebagaiman dibahas berikut ini.
b.
Muqabalah jamak dengan jamak
Pola
kalimat serupa ini banyak dijumpai dalam ayat-ayat Al-qur’an, oleh Karena itu,
perlu dikaji permasalahannya supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya.
Berangkat dari pemikiran ini, bila diamati secara
seksama lafadz-lafadz yang dipakai dalam Al-qur’an, maka ternyata pemakaian
tersebut bukan secra kebetulan, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai
dengan pesan yang ingin disampaikan. Kalau muqabalah jamak dengan jamak
berkonatsi umum, maka muqabalah jamak dengan mufrad kata al-syuyuti tidak berkonotasi
umum meskipun kadang-kadang lanjutmya dapat juga berkonotasi umum seperti kata فد ية (jamaknya
فديات فدى ) dalam ayat 184 dari Al-baqarah:
وعل الذين يطيقو نه فد ية طعام مسكين dengan demikian, konotasi ayat itu
ialah kewajiban membayar fidyah umum bagi setiap orang yang tak sanggup
menunaikan puasa di bulan ramadhan pada tiap hari di bulan ramadhan tersebut.
Selain
itu ada pula kata dalam Al-qur’an yang hanya dipakai bentuk jamaknya seperti
kata الباب yang
terulang sebanyak enambelas kali dalam Al-qur’an . tak dijumpai bentuk
mufrodnya ,(لب)misalnya
dalam ayat 21 dari Al-zumar (ان في ذلك لذ كرى لمن كان له قلب)
jika diperlukan makna mufrodnya maka al-qur’an sinonimnya yaitu seperti dalam
ayat 37 dari Qaf mengapa hal itu terjadi? Tentu tuhan yang lebih tahu tentang
itu; namun Al-syuyuti beragumen bahwa lafadz mufrad dari Al-albab yakni لبberat diucakpan karena
itu Al-qur’an hanya memakai jamaknya saja yakni الباب.
Sebaliknya
ada pula kata yang dipakai Al-qur’an dalam
bentuk mufrad-nya saja sepertiارض yang
terulang dalam berbagai ayat Al-qur’an sebanyak 461 kali seperti dalam ayat 12
dari Al-thalaqخلق سبع سماوات ومن الارض مثلهن . Dalam ayat ini
secara eksplisit tuhan menegaskan bahwa langit ada tujuh dan bumi seperti
langit pula (yakni tujuh buah). Jika demikian halnya, mengapa lafadz الارض tidak diungkapkan
dalam bentuk jamak sebagaimana kataالسماوات jamak dariالسماء ? sebenarnya yang
tahu persis jawaban dari pertanyaan itu hanya allah. Namun tidak ada salahnya
jika ulama berijtihad dalam hal ini. Menurut Al-zarkasyi, meskipun bumi disebut
sama dengan langit, namun anatar kedua benda itu sangat tidak sebanding karena
bumi sekalipun berbilang, tapi bila dibandingkan dengan keluasan cakrawala
langit yang tak tebayangkan, maka onggokan bumi tersebut tetap bagaikan sebuah
batu kerikil kecil di tengah-tengah padang pasir yang teramat luas.
Pendapat
ini ada benernya bila diperhatikann
kenyataaan bahwa sesuai dengan hasil penyelidikan astronomi, bumi memang
sangat kecil, karena terlalu kecilnya sosok bumi itu bia dibandingkan dengan
luasnya langit maka dikategorikan dia sebagai sesuatu yang tunggal dan tak
perlu dijamakkan tetapi cukup dengan memakai isim jenis yang tunggal saja.
Disamping
pendapat Al-zarkasyi itu, agaknya juga tidak keliru bila dikatakan bahwa
pemakaian lafadz الارض
yang
dalam bentuk tunggal itulah yang cocok dengan kondisi umat pada waktu ayat itu
diturunkan Allah karena pada masa itu ilmu astronomi belum berkembang seperti
sekarang. Seandainya tuhan mengatakan
secara ekplisit bahwa bumi tujuh, tentu mereka akan bingung dan tak mustahil
mereka akan ragu-ragu tentang kebenaran Al-qur’an sebab setahu mereka bumi
hanya ada satu menagapa dikatakan tujuh? Bila ini terjadi, maka dapat
mengakibatkan misi risalah nabi Muahammad saw menjadi gagal.
Kalau lafadz الارض hanya dipakai
dalam bentuk mufrad, maka dalam pemakaian lafadz سماء Al-qur’an lebih leluasa, artinya, baik
yang mufrad maupun jamak, keduanya teroakai dalam kitab suci itu. Muhammad
fu’ad “Abd al-Baqi menemukan lafadz سماء (tunggal)
dalam Al-qur’an sebanyak 120 buah, dan (jamak) sebanyak 190 buah.
Kita yakin perbedaan pemakaian kata
tersebut jelas membawa perubahan konotasi dari kata itu. Dalam kasus السماوات ini, misalnya jika dimaksudkan untuk menunjuk
kepada sesuatu yang ada di atas (mulia) maka digunakan bentuk mufradnya seperti
dalam ayat QS. Al-mulk:16-17.
Kata السماء terulang
dua kali dalam ayat diatas keduanya dalam bentuk mufrad karena tak perlu
dijamakkan sebab tanpa jamak maksudnya sudah diketahui, yakni menunjuk kepada
sesuatu yang amat tinggi dan mulia, bukan berkonotasi langit dalam arti
planet-planet. Sebaliknya bila yang dimaksudkan ialah konotasi yang kedua:
planet-planet, maka ketika ini dipakai bentuk jamaknya seperti dalam ayat 3
dari Al-an’am dan Contoh lain misalnya dalam ayat 3 dari saba’.
Tampak jelas dan terasa sekali perbedaan
konotasi السماء antara dalam contoh sebelumnya dengan السماوات dalam dua ayat terakhir ini. Kalau dalam
ayat 16-17 dari Al-mulk itu menunjukkan kepada suatu kondisi atau sifat yang
mulia dan tinggi, sementara pada dua ayat terakhir ini berkonotasi materi yakni
planet-planet.
Hal serupa juga tampak dalam pemakaian
kata الارض artinya jika yang dimaksud ialah untuk menunjukkan
sifat rendah dan di bawah, maka dipakailah kata الارض sendirian tanpa
penjelasan atau cirri-ciri lain, seperti kata الارض yang terdapat
dalam empat ayat yang dikemukakan tadi. Tapi
bila tuhan bermaksud menjelaskan bumi (الارض)
secara material, maka diberinya penjelasan seperti kata مثلهن dalam contoh yang dikemukakan pada
permulaan pembahasan ini خلق سبع سماوات ومن الارض مثلهن.
ketika ini, الارض tidak
berkonotasi suatu sifat yang rendah dan di bawah, melainkan menunjuk kepada
jati dari bumi itu, yakni ada tujuh buah sama jumlahnya dengan langit; namun
tuhan tidak menjamakkan kata الارض agar cocok dengan kondisi umat pada waktu itu
sebagaimana telah diungkapkan di muka.
Jika demikian halnya bagaimana dengan
lafadz السماء dalam
ayat 31 dari yunus
dan
dalam ayat 24 dari saba’. Kedua ayat ini membicarakan tentang sumber rezeki;
namun yang pertama diungkapkan dengan memakai lafadz mufrad (السماء ) sementara yang kedua diungkapkan dengan
memakai lafadz jamak السماوات, padahal keduanya berkonotasi sama-sama abstrak.
Sepintas lalu kedua ayat itu
memang tampak kurang sejalan dengan kaidah yang dikemukakan diatas. Namun bila
diamati secra seksama, maka diketahui bahwa konteks kedua ayat itu berbeda. Ayat
pertama katanya berkenaan dengan orang-orang yang mengakui, bahwa hanya Allah
yang memberi rezeki mereka dengan menguasai pendengaran serta penglihatan
mereka. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan orang yang tak mengakui hal yang
demikian . apa yang dikemukakan oleh zarkasyi itu ada benarnya karena jawaban
dari pertanyaan di awal ayat itu, dinyatakan pada akhir ayat tersebut secara
eksplisit dalam ungkapan فسقولون الله (maka mereka akan berkata: Allah).
Jawaban itu menegaskan bahwa
mereka mengakui sepenuhnya: hanya Allah pemberi rezeki dan yang menguasai
pendengaran serta penglihatan mereka. Jawaban serupa itu tak dijumpai dalam
ayat kedua. Karenaya tuhan langsung memerintahkan rasul menjawabnya sebagaimana
tertera diujung ayat قل
الله. Mereka yang mengakui bahwa
hanya Allah yang memberi rezeki, maka mereka tak pernah menggambarkan proses
turunnya rezeki itu dari langit yang satu ke langit yang lain, kemudian baru
sampai kepada mereka. Tapi mereka meyakini sepenuhnya bahwa rezeki itu langsung
dari Allah tanpa melalui proses yang berbelit. Untuk menggambarkan kondisi yang
demikian maka lafadz tunggallah yang cocok yakni السماء sebaliknya pada contoh yang kedua, lafadz jamaklah yang
cocok السماوات karena
mereka mengakui bahwa turunnya reeki dari allah memaluli proses yang panjang
dari satu langit ke langit yang lain. Dalam kondisi yang begini, tentu lafadz
jamak السماوات yang
sesuai dengan kondisi yang mukhatab. Untuk menolak keyakinan yang demikian itu
maka diujung ayat itu langsung ditegaskan allah قل الله . Dengan begitu
jelaslah bahwa pemberian rezeki dan sebegainya itu benar-benar Allah yang
berwenang. Tak ada pihak-pihak lain selain Allah.
Pemakaian lafadz dalam Al-qur’an juga
tak sama konotasinya dengan mufrad-nya . jika diamati pemakaian kata tersebut,
maka dijumpai konotasinya sesuatu yang menyenangkan seperti dalam ayat-ayat QS.
Ar-Rum (48), al-Hijr (22), ar-Rum (46). Sebaliknya lafadz ريحberkonotasi azab atau
siksa seperti dalam ayat-ayat QS. Fusilat (16), al-Ahzab (9), al-Haqoh (6),
Ibrahim (18).
Dari dua kelompok contoh itu tampak
perbedaan pemakaian ladadz رياحdan
ريح
secara jelas. Riyah berkonotasi angin yang baik penuh rahmat dan nikmat, sebaliknya
rih angin yang buruk penuh azab dan siksa. Hal itu dapat diketahui melalui konteks
ayat tersebut. Namun ada kata ريحdalam Al-qur’an yang
berkonotasi baik seperti dalam ayat 22 dari yunus.
Lafadz ريح yang pertama
berarti angin baik sedamg ريح yang kedua ialah angin buruk. Pada ayat
ini tak sulit mengtahuinya karena yang disifati dengan طيبة (baik) dan yang kedua disifati denganعاصف
(kencang
dan menakutkan).
Agaknya timbul pertanyaan, mengapa tidak
رياح
yang
dipakai di tempat ريح yang pertama itu? Sehingga lebih mudah memahaminya sebab sesuai dengan
konotasi ayat-ayat lain sebagaimana telah di contohkan di muka. Pemakaian kata
serupa itu seakan-akan memberi kesan bahwa Al-qur’an kurang konsisten dalam
pemakaian suatu kosa kata karena dalam ayat lain lafadz ريح berkonotasi
‘buruk’ atau ‘azab’, sebaliknya dalam ayat lain lafadz yang sama berkonotasi
‘baik’.
Apabila diamati dengan seksama pemakaian
lafadz tersebut dalam ayat 22 dari yunus itu, niscaya kita akan berkata, memang
kata yang mufrad itulah yang cocok bukan lafadz رياح jamaknya. Hal itu didasarkan pada konteks ayat tersebut yang membicarakan kondisi
kapal yang sedang berlayar di tengah lautan. Jelas, yang dapat menyelamatkan
pelayaran kapal ialah satu jenis angin dari satu arah. Oleh karena itu, maka lafadz
ريح yang mufrad-lah
yang cocok digunakan, tidak yang jamak. Supaya tidak dipahami lafadz yang
pertama itu berkonotasi ‘buruk’ maka tuhan menyifatinya dengan طيبة. Dengan demikian umat terhindar dari
pemahaman yang keliru. Kata ريح yang
semakna ini ditemui pula dalam ayat 33 dari Al-syura.
Satu lagi yang perlu dikaji di sini
ialah pemakaian lafadz مشرق dan مغرب. Dalam Al-qur’an kedua kata tersebut
dipakai dalam bentuk mufrad dual(mutsanna), dan jamak. Pemakaian lafad yang
mufrad dari kedua kata itu barangkali tidak menarik perhatian umat karena
mereka tahu dan tampak dengan jelas bahwa مشرق (timur) dan مغرب (barat) masing-masing memang hanya satu;
jadi cocok dengan konotasi kata tersebut. permasalahan mulai timbul ketika
Al-qur’an memakai kata itu dalam bentuk dual seperti dalam ayat 17 dari
Al-rahman (رب المشرقين ورب المغربين)dan
dalam bentuk jamak seperti dalam ayat 50 dari Al-ma’aarij (فلا
اقسم برب المشارق والمغارب). munculnya permasalahan dalam ayat itu
ialah karena sepintas lalu seakan-akan Al-qur’an tidak sejalan dengan kenyataan
empiric yakni timur dan barat, masing-masing haya satu tidak dua dan tidak pula
tiga dan seterusnya. Namun Al-qur’an
menggunakan lafadz dual dan jamak yang berkonotasi berbilang.
Apabila dikaji dengan seksama pemakaian
kata-kata dalam ayat-ayat Al-qur’an, maka secara jujur harus diakui bahwa
pemakaian kata tersebut adalah sanagt tepat dan akurat. Dalam hal ini tidak
terkecuali lafadz مشرقdan
مغربyang
dipakai dalam tiga bemtuknya itu sebagaimana telah dicontohkan dim ka. Berdasarkan pada kenyataan itu, maka para ulama’,
khusunya mereka yang mendalami ilmu-ilmu Al-qur’an berusaha mencari jawaban
bagi permasalahan yang timbul itu. Al-zarkasyi, misallnya, mengomentari
pemakaian lafadz dual dan jamak dari kedua kosa kata tersenut dengan mengatakan
bahwa hal itu terjadi sesuai dengan pergerakan planet-planet. Akibatnya tempat
terbit matahari (masyriq) senantiasa berubah-ubah setiap hari sepanjang tahun.
Perubahan ini menyebabkan tempat terbenam matahari(maghrib) ikut berubah.
Dengan demikian, berarti masyriq dan maghrib tersebut menjadi banyak karena itu
tepatlah Allah berkataرب المشارق والمغارب
dengan memakai lafadz jamak. Adapun pemakaian bentuk dual dari kedua, kata itu
seperti itu dalam ayat 17 dari Al-rahman tersebut ialah agar serasi dengan
ayat-ayat yang lain karena ungkapan ayat-ayat di dalamnya berpasang-pasangan
seperti manusia-dan jin, rumput dan pohon, matahari dan bulan, dan sebagainya.
Dalam kondisi yang demikian maka akan lebih sesuai menggunakan lafadz dual
daripada lafadz tunggal.
Sebenarnya masih ada ayat lain yang
berkenaan dengan permasalahan pemakaian kosa kata tunggal dan jamak ini, namun
contoh yang dikemukakan di atas cukup menjadi bukti bagi kita bahwa pemakaian
suatu lafadz dalam Al-qur’an mengandung makna tertentu yang tak ada pada tempat
lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-qur’an. Itulah
sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah yang khusus yang membahas kosa
kata Al-qur’an tersebut sebagaimana telah diuraikan.[7]
KESIMPULAN
Kata
mufrad adalah isim maf’ul yang berarti
terasing. Sedangkan menurut istilah, mufrad adalah sebutan untuk isim yang
menunjukan satu atau tunggal, seperti seorang manusia, seekor binatang, sebuah
benda, dan sebagainya. Jamak adalah sebutan unutk menunjukan sejumlah (banyak),
baik manusia maupun makhluk lainya. Menurut istilah, jamak merupakan isim yang menunjukan lebih
dari dua, dengan aturan pembentukan tertentu, seperti kata mesjid
menjadi masajid, rajul (seorang lelaki) menjadi rija, dan
sebagainya.
Pemakaian
suatu lafaldz dalam Al-Qur’an mengandung makna tertentu yang tidak ada pada
temapat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-Qur’an.
Itu lah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah mufrad dan jamak yang
membahasa kosa kata Al-Qur’an. Perlu adanya kajian tentang pola kalimat yang
serupa, supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Lafadz-ladazh mufrad
dan jamak yang dipakai dalam Al-Qur’an tersebut, ternyata maknanya tidak secara
kebetulan hadir, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai dengan pesan
yang ingin disampaikan. Perubahan pemakaian makna tersebut jelas membawa
perubahan konotasi dari kata itu.
Sebenarnya
masih ada ayat-ayat lain yang berkenaan dengan permasalahan pemakaian kosa kata
mufrad dan jamak ini, namun contoh yang dikemukakan di pembahasan cukup menjadi
bukti bagi kita bahwa pemakaian suatu lafadz dalam Al-qur’an mengandung makna
tertentu yang tak ada pada tempat lain dan sekaligus menjadi bukti atas
keistimewaan bahasa Al-qur’an. Itulah sebabnya untuk memahaminya diperlukan
kaidah yang khusus yang membahas kosa kata Al-qur’an yaitu kaidah mufrad dan
jamak.
Daftar Pustaka
Baidan,
Nashruddin.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.Pustaka Pelajar. Yogyakarta; 2005
Izzan, Ahmad. Studi kaidah tafsir Al-qur’an. Humaniora.
Bandung; 2009
Chirzin, Muhammad. Al-qur’an dan ulumul qur’an. Dana
bhakti prima yasa. Jakarta; 2003 cetakan ke 2
Ichwan, Nor. Memahami bahasa Al-Qur’an,
Semarang, Pustaka pelajar; 2002
Nu’mah,
Fuad. Mulakhis Qawaid al Lughah al
Arabiyah, Damaskus, Dar al Hikmah; 1977
cetakan ke 9
Sayyid, Dr. Amin Ali.
Fi Ilm as Sharf. Mesir. Dar al Maarif, cetakan ke 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar