Jumat, 20 Oktober 2017

Mufad dan Jamak

Latar belakang masalah
Al-Qur’an merupakan sumber pedoman umat Islam dan mu’jizat terbesar serta teragung dan kemu’jizatannya tidak tertandingi hingga saat ini. Apabila ditelaah dengan seksama, maka akan ditemukan keunikan-keunikan makna yang tidak akan pernah habis untuk dikaji dan memberi isyarat makna yang terbatas. Kedudukan al-Qur’an merupakan rujukan utama umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan mereka dan terbukanya interpretasi baru sehingga menjadi motivasi tersendiri terhadap usaha untuk penafsiran dan menggali kandungan maknanya.
Al-Qur’an diturunkan berbahasa Arab. Untuk memahami dan mengerti bahasa tersebut, seseorang haruslah mendalami bahasa tersebut agar dapat memahaminya secara menyeluruh dari berbagai aspek, baik perkembangannya maupun tata aturan yang ada dalam bahasa tersebut. Dalam bahasa Arab, baik isim ataupun fiil mengalami berbagai perubahan. Perubahan-perubahan tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk memahami al-Qur’an. Salah satunya yakni adanya isim jama’ dan isim mufrod. Dilihat dari segi ilmu nahwu, isim jama’ adalah isim yang menunjukkan arti banyak, sedangkan mufrod adalah isim yang menunujukkan arti satu. Akan tetapi, dalam studi ulumul Qur’an, jama’ dan mufrod yang tertulis dalam ayat-ayat al-Qur’an mempunyai maksud dan tujuan tersendiri dalam penggunaanya.
Pemakaian suatu lafaldz dalam Al-Qur’an mengandung makna tertentu yang tidak ada pada temapat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-Qur’an. Itu lah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah mufrad dan jamak yang membahasa kosa kata Al-Qur’an. Perlu adanya kajian tentang pola kalimat yang serupa, supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Lafadz-ladazh mufrad dan jamak yang dipakai dalam Al-Qur’an tersebut, ternyata maknanya tidak secara kebetulan hadir, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Perubahan pemakaian makna tersebut jelas membawa perubahan konotasi dari kata itu.
Untuk menjawab dan menambah pemahaman kita secara komprehensif mengenai mufrad dan jamak, maka didapati rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah pengertian dari mufrad dan jamak?
2.      Bagaimana penggunaan mufrad, makna dan contohnya dalam al-Quran?
3.      Bagaimana penggunaan jamak, makna dan contohnya dalam al-Quran?
4.      Bagaimana bentuk perubahan jamak dan mufrad dalam Al-Qur’an?


















1.     Pengertian Mufrad dan Jamak
Secara bahasa kata mufrad adalah isim maf’ul yang berarti terasing. Sedangkan menurut istilah, mufrad adalah sebutan untuk isim yang menunjukan satu atau tunggal, seperti seorang manusia, seekor binatang, sebuah benda, dan sebagainya.
Jamak adalah sebutan unutk menunjukan sejumlah (banyak), baik manusia maupun makhluk lainya. Menurut istilah,  jamak merupakan isim yang menunjukan lebih dari dua, dengan aturan pembentukan tertentu, seperti kata mesjid menjadi masajid, rajul (seorang lelaki) menjadi rija, dan sebagainya.[1]
Bentuk jamak dalam bahasa Arab dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu, pertama Jamak salîm (utuh) adalah bentuk jamak yang terjadi berdasarkan pola yang beraturan atau tetap; dan kedua, jamak taksîr (pecah) adalah bentuk jamak yang terjadinya tidak berdasarkan pola yang seragam atau tetap.[2]
Jama’ adalah bentuk kata yang menunujukkan kepada sesuatu lebih dari dua, seperti kata مسلمون . jama’ dibagi menjadi tiga: Jama’ mudzakar salim, jama’ muannats salim, dan jama’ taksir. Jama’ mudzakar salim adalah bentuk jama’ yamg menunjukkan kepada tiga hal atau lebih, dengan menambahkan wau dan nun di saat rofa’ atau menambahkan ya’ dan nun ketika nashab.[3] Adapun yang bisa dijadikan jama’ mudzakar salim adalah isim alam dan sifat, seperti مخلصون dan ععليون. Sedangkan jama’ muannats salim adalah bentuk jama’ yang menun jukkan kepada tiga atau lebih dengan menambahkan alif dan ta dari bentuk mufradnya[4] dan maknanya diperuntukkan untuk perumpuan. Jama’ yang ketigayaknijama’ taksir, yaitujama’ yang menunjukkan kepada tiga hal atau lebih dengan merubah bentuk mufradnya. Jama’ taksir adalah bentuk jama’ yang umum dipakai baik untuk  yang berakal atau pun tidak, muannatsa atau pun mudzakkar. Jama’ taksir sendiri ada dua macam, yakni jama’ qillah danjama’ katsrah. Jama’ qillah menunjukkan hitungan dari tiga hingga sepuluh yang mengikuti wazan:أفعل، أفعلة، أفعال، فعلة  . Sedangkan jama’ katsrah menunjukkan hitungan lebih dari sepuluh, selain dari wazan dari jama’ qillah.[5]

2.     Penggunaan mufrad dalam Al-Qur’an dan Contohnya.
Pemahaman dalam Al-Qur’an harus memperhatikan kaidah penggunaan tentang isim mufrad dan jamak unutk menyebut beberapa hal tertentu. Diantaranya adalah kata yang selalu disebutkan dalam bentuk mufrad, misalnya: ardh (bumi), shirath (jalan), nur (cahaya).
·         Contohnya mufrad ardh (bumi):
yÏŠ$t7Ïè»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) ÓÅÌör& ×pyèźur }»­ƒÎ*sù Èbrßç7ôã$$sù ÇÎÏÈ  
Artinya: “Hai hamba-hamba yang beriman! Sungguh, bumiku luas; maka sembahalah aku (dan hanya aku)! (QS. Al-Ankabut[29]: 56.
·         Contohnya mufrad shirath (jalan):
¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y 4
öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ  
Artinya: “Inilah jalanku yang lurus. Ikutilah! Janganlah ikuti bermacam-macam jalan yang akan mencerai-beraikan dari jalannya. Demikianlah dia memerintahkan kamu, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al-An’am[6]: 153.)

·         Contohnya mufrad nur (cahaya):
tPöqtƒ ts? tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÏM»oYÏB÷sßJø9$#ur 4Ótëó¡o NèdâqçR tû÷üt/ öNÍkÉ÷ƒr& /ÏSÏZ»yJ÷ƒr'Î/ur ãNä31tô±ç0 tPöquø9$#
×M»¨Zy_ ̍øgrB `ÏB $pkÉJøtrB ㍻pk÷XF{$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù 4 šÏ9ºsŒ uqèd ãöqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊËÈ
Artinya: “ suatu hari akan kau lihat orang-orang beriman laki-laki dan perempuan, betapa cahaya mereka berlari di depan dan disebelah kanan mereka. (Qs. Al-Hadid[57]:12).

3.     Penggunaan jamak dalam Al-Qur’an dan Contohnya.
Kata yang selalu disebutkan dalam bentuk jamak, misalnya: Lubb-albab, kub-akwab.

·        Contohnya jamak albab:
öNs9r& ts? ¨br& ©!$# tAtRr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ¼çms3n=|¡sù yìÎ6»oYtƒ Îû ÇÚöF{$# ¢OèO ßl̍øƒä ¾ÏmÎ/ %Yæöy
 $¸ÿÎ=tGøƒC ¼çmçRºuqø9r& §NèO ßkŠÎgtƒ çm1uŽtIsù #vxÿóÁãB ¢OèO ¼ã&é#yèøgs $¸J»sÜãm 4 ¨bÎ) Îû šÏ9ºsŒ 3tø.Ï%s!
 Í<'rT{ É=»t7ø9F{$# ÇËÊÈ  
Artinya: “Tidaklah kau perhatikan Allah telah menurunkan air dari langit, lalu menyalurkannya melalui sumber-sumber mata air di tanah? Kemudian dengan itu Ia menumbuhkan tanaman beraneka warna; kemudian layu, lalu kau lihat menjadi kuning. Lalu Ia menjadikannya kering dan hancur bertebaran. Sungguh, yang demikian adalah peringatan bagi orang yang arif. (Qs. Az-Zumar[39]: 21).
                    
·         Contohnya jamak akwab:

$pkŽÏù ÖçŽß  ×ptãqèùö¨B ÇÊÌÈ   Ò>#uqø.r&ur ×ptãqàÊöq¨B ÇÊÍÈ  
Artinya: “ Di dalamnya ada singgasana (kemuliaan) yang tinggi. Dan piala-piala tersedia. (Qs. Al-Ghasiyah[88]: 13-14).


4.     Penggunaan mufrad dan jamak dalam Al-Qur’an beserta Contohnya.
Kata yang dipergunakan dalam bentuk mufrad dan jamak untuk maksud atau konteks yang berbeda. Kata-kata tersebut antara lain: sama’, - samawat, rih-riyah, sabil-subul, maghrib-magharib, masyriq-masyariq.
·        Contoh kata mufrad dan jamak sama’-samawat

Îûur Ïä!$uK¡¡9$# ö/ä3è%øÍ $tBur tbrßtãqè? ÇËËÈ   Éb>uuqsù Ïä!$uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ¼çm¯RÎ) A,yss9 Ÿ@÷WÏiB
 !$tB öNä3¯Rr& tbqà)ÏÜZs? ÇËÌÈ  
Artinya: “ Dan dilangit ada rezeki kamu, dan apa yang dijanjikan kepadamu. Maka, demi tuhan pencipta langit dan bumi; sungguh itu benar, sebagaiman yang kamu ucapkan.
 (Qs. Adzzariyat[51]: 22-23).

yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ 
 ¼çms9 à7ù=ãB ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( ¾Çøtä àMÏJãƒur ( uqèdur 4n?tã Èe@ä. &äóÓx« 퍃Ïs% ÇËÈ  
Artinya: “ Segala yang di langit dan di bumi, biarkan memurnikan dan mengagungkan allah; dia Maha perkasa, Maha bijaksana. Kepunyaan-Nya segala kerajaan langit dan bumi. Ia menentukan hidup dan mati; Dia berkuasa atas segala sesuatu.
(Qs. Al-Hadid[57]: 1-2).

Kata sama’ dalam bentuk jamak adalah untuk menyebut bilangan atau untuk menunjukkan betapa luasnya. Dan dalam bentuk mufrad jika yang dimaksud Adalah arah atas, sebagai lawan bawah.

·         Contoh kata mufrad dan jamak rih-riyah

ã@sW¨B šúïÏ%©!$# (#rãxÿx. óOÎgÎn/tÎ/ ( óOßgè=»yJôãr& >Š$tBtx. ôN£tFô©$# ÏmÎ/ ßwÌh9$# Îû BQöqtƒ 7#Ϲ%tæ ( žw
 tbrâÏø)tƒ $£JÏB (#qç7|¡Ÿ2 4n?tã &äóÓx« 4 šÏ9ºsŒ
 uqèd ã@»n=žÒ9$# ßÏèt7ø9$#
Artinya: “ perumpamaan tentang mereka yang mengingkari tuhan, usaha mereka seperti abu, ditiup angin kencang pada hari yang penuh badai. Mereka tak berdaya sama sekali atas segala yang sudah mereka peroleh. Itulah kesesatan yang sudah jauh (dari sasaran).
(QS. Ibrahim[14]: 18).

$uZù=yör&ur yx»tƒÌh9$# yxÏ%ºuqs9 $uZø9tRr'sù z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB çnqßJä3»oYøŠs)ór'sù !$tBur óOçFRr& ¼çms9 tûüÏRÌ»sƒ¿2 ÇËËÈ  
Artinya: “ Dan kami tiupkan angin menyerbuki, kemudian kami turunkan hujan dari langit, yang dengan itu kami beri kamu air, meskipun bukan kamu yang menjaga menyimpannya. (QS. Al-Hijr[15]: 22).

Kata rih biasanya disebutkan dalam bentuk mufrad jika digunakan dalam konteks azab dan digunakan dalam bentuk jama’ jika digunakan dalam konteks rahmat.



·         Contoh kata mufrad dan jamak sabil
¨br&ur #x»yd ÏÛºuŽÅÀ $VJŠÉ)tGó¡ãB çnqãèÎ7¨?$$sù ( Ÿwur (#qãèÎ7­Fs? Ÿ@ç6¡9$# s-§xÿtGsù öNä3Î/ `tã ¾Ï&Î#Î7y
4 öNä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ öNà6¯=yès9 tbqà)­Gs? ÇÊÎÌÈ  
Artinya: “ Inilah jalan-ku yang lurus. Ikutilah! Janganlah ikuti bermacam-macam jalan yang akan mencerai-beraikan dari jalannya. Demikianlah dia memerintahkan kamu, supaya kamu bertakwa. (QS. Al-An’am[6]: 153).

Kata sabil disebutkan dalam bentuk mufrad, jika digunakan dalam kkonteks jalan kebenaran, dan disebutkan dalam bentuk jamak jika untuk jalan kesesatan. Hal itu karena jalan kebenaran hanya satu, sedangkan jalan kesesatan bercabang-cabang.

·         Contoh kata mufrad dan jamak masyriq dan maghrib
¬!ur ä-̍ô±pRùQ$# Ü>̍øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷ƒr'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 žcÎ) ©!$# ììźur ÒOŠÎ=tæ ÇÊÊÎÈ  
Artinya: “ Milik Allah timur dan barat; ke mana pun kamu berpaling, di situlah kehadiran Allah. Allah maha luas, Maha tahu. (QS. Al-Baqarah[2]: 115).

$uZøOu÷rr&ur tPöqs)ø9$# šúïÏ%©!$# (#qçR%x. šcqàÿyèôÒtFó¡ç šX͍»t±tB ÇÚöF{$# $ygt/̍»tótBur ÓÉL©9$# $uZø.t»t/ $pkŽÏù ( ôM£Js?ur àMyJÎ=x. šÎn/u 4Óo_ó¡ßsø9$# 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) $yJÎ/ (#rçŽy9|¹ ( $tRö¨ByŠur $tB šc%x. ßìuZóÁtƒ ÜcöqtãöÏù ¼çmãBöqs%ur $tBur (#qçR$Ÿ2 šcqä©Ì÷ètƒ ÇÊÌÐÈ  

Artinya: “ Kami wariskan kepada golongan yang tadinya dipandang lemah tanah yang kami berkati di timur dan di barat. (QS. Al-A’raf[7]: 137).

Kata masyriq dan maghrib dimufradkan untuk mengisyaratkan arah; ditasniyahkan(ganda) menunjukkan dua tempat terbit dan dua tempat terbenam, yakni di musim dingin dan musim panas; dijamakkan karena keduannya adalah tempat terbit dan tempat terbenam setiap hari.[6]


5.     Muqabalah jamak dengan jamak atau mufrad
Muqabalah berasal dari bahasa arab artinya(مقابلة)  “berhadapan”. Dari itu muqabalah jamak dengan jamak ialah menempatkan kata jamak (plural) setelah kata jamak, karena letak keduanya berdekatan, seakan-akan keduanya berhadap-hadapan. Itulah sebabnya keduanya disebut “muqabalah”. Apabila jamak berdekatan dengan mufrad (kata tunggal) dalam suatu ungkapan, maka disebut “ muqabalah jamak dengan mufrad”, begitulah seterusnya.
Kajian tentang muqabalah ini tak kalah pentingnya dalam memahami ayat-ayat Al-qur’an karena perubahan bentuk kata berpengaruh besar terhadap konotasi kata tersebut.
a.      Muqabalah jamak dengan jamak
Pola kaimat serupa ini banyak dijumpai dalam Al-qur’an antara lain sebagai berikut:
Kata جعلوا(jamak جعل ) berhadapan dengan اصا بعهم  dan اذانهم pada contoh pertama demikian pula استغشوا  (jamak استغشى ) juga dalam contoh pertama berhadapan dengan   ثياب(jamak ثوب ) begitu pula kata يرضعن  (jamak ترضع ) pada contoh kedua berhadapan denganاولاد  (jamak ولد) dan اجلدوا  (jamak اجلد ) pada contoh ketiga berhadapan dengan   ثمانين (jamakثمان).
Pola susunan kalimat serupa itu memberi pengertian yang berbeda bila jamak tersebut berhadapan dengan mufrad sebagaimana akan dibahas pada kedua nanti. Menurut al-syuyuti, dalam dua contoh pertama terkandung makna bahwa masing-masing individu pada jamak yang kedua. Pad ungkapan,جعلواصابعهم فى اذانهم  misalnya, masing-masing mereka menyumbat telinga mereka dengan jari-jemari mereka masing-masing; dan menjadikan pakaian masing-masing menutup diri mereka. Itulah yang dipahami dari ungkapan. واستغشوا ثيابهم pemahaman serupa itu juga ditemukan pada contoh  والوالدات       يرضعن اولادهنArtinya para ibu menyusui anak-anak mereka masing-masing. Adapun contoh yang ketiga mengandung konotasi bahwa masing-masing individu memperoleh siksaan atay sanski hukum yang sama banyaknya.
Dari contoh-contoh diatas dapat disimpulkan bahwa pemakaian jamak dengan jamak tersebut memberikan konotasi umum; artinya setiap individu dalam himpunann jamak tersebut menjadi objek dari jamak itu. Berbeda halnya bila jamak berhadapan denga mufrad sebagaiman dibahas berikut ini.

b.        Muqabalah jamak dengan jamak
Pola kalimat serupa ini banyak dijumpai dalam ayat-ayat Al-qur’an, oleh Karena itu, perlu dikaji permasalahannya supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Berangkat dari pemikiran ini, bila diamati secara seksama lafadz-lafadz yang dipakai dalam Al-qur’an, maka ternyata pemakaian tersebut bukan secra kebetulan, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Kalau muqabalah jamak dengan jamak berkonatsi umum, maka muqabalah jamak dengan mufrad kata al-syuyuti tidak berkonotasi umum meskipun kadang-kadang lanjutmya dapat juga berkonotasi umum seperti kata فد ية (jamaknya فديات فدى ) dalam ayat 184 dari Al-baqarah: وعل الذين يطيقو نه فد ية طعام مسكين dengan demikian, konotasi ayat itu ialah kewajiban membayar fidyah umum bagi setiap orang yang tak sanggup menunaikan puasa di bulan ramadhan pada tiap hari di bulan ramadhan tersebut.
Selain itu ada pula kata dalam Al-qur’an yang hanya dipakai bentuk jamaknya seperti kata الباب yang terulang sebanyak enambelas kali dalam Al-qur’an . tak dijumpai bentuk mufrodnya ,(لب)misalnya dalam ayat 21 dari Al-zumar (ان في ذلك لذ كرى لمن كان له قلب) jika diperlukan makna mufrodnya maka al-qur’an sinonimnya yaitu seperti dalam ayat 37 dari Qaf mengapa hal itu terjadi? Tentu tuhan yang lebih tahu tentang itu; namun Al-syuyuti beragumen bahwa lafadz mufrad dari Al-albab yakni  لبberat diucakpan karena itu Al-qur’an hanya memakai jamaknya saja yakni الباب.
Sebaliknya ada pula kata yang dipakai Al-qur’an dalam   bentuk mufrad-nya saja sepertiارض  yang terulang dalam berbagai ayat Al-qur’an sebanyak 461 kali seperti dalam ayat 12 dari Al-thalaqخلق  سبع سماوات ومن الارض مثلهن . Dalam ayat ini secara eksplisit tuhan menegaskan bahwa langit ada tujuh dan bumi seperti langit pula (yakni tujuh buah). Jika demikian halnya, mengapa lafadz الارض tidak diungkapkan dalam bentuk jamak sebagaimana kataالسماوات  jamak dariالسماء  ? sebenarnya yang tahu persis jawaban dari pertanyaan itu hanya allah. Namun tidak ada salahnya jika ulama berijtihad dalam hal ini. Menurut Al-zarkasyi, meskipun bumi disebut sama dengan langit, namun anatar kedua benda itu sangat tidak sebanding karena bumi sekalipun berbilang, tapi bila dibandingkan dengan keluasan cakrawala langit yang tak tebayangkan, maka onggokan bumi tersebut tetap bagaikan sebuah batu kerikil kecil di tengah-tengah padang pasir yang teramat luas.
Pendapat ini ada benernya bila diperhatikann  kenyataaan bahwa sesuai dengan hasil penyelidikan astronomi, bumi memang sangat kecil, karena terlalu kecilnya sosok bumi itu bia dibandingkan dengan luasnya langit maka dikategorikan dia sebagai sesuatu yang tunggal dan tak perlu dijamakkan tetapi cukup dengan memakai isim jenis yang tunggal saja.
Disamping pendapat Al-zarkasyi itu, agaknya juga tidak keliru bila dikatakan bahwa pemakaian lafadz  الارض yang dalam bentuk tunggal itulah yang cocok dengan kondisi umat pada waktu ayat itu diturunkan Allah karena pada masa itu ilmu astronomi belum berkembang seperti sekarang. Seandainya tuhan mengatakan secara ekplisit bahwa bumi tujuh, tentu mereka akan bingung dan tak mustahil mereka akan ragu-ragu tentang kebenaran Al-qur’an sebab setahu mereka bumi hanya ada satu menagapa dikatakan tujuh? Bila ini terjadi, maka dapat mengakibatkan misi risalah nabi Muahammad saw menjadi gagal.
Kalau lafadz الارض hanya dipakai dalam bentuk mufrad, maka dalam pemakaian lafadz سماء Al-qur’an lebih leluasa, artinya, baik yang mufrad maupun jamak, keduanya teroakai dalam kitab suci itu. Muhammad fu’ad “Abd al-Baqi menemukan lafadz سماء  (tunggal) dalam Al-qur’an sebanyak 120 buah, dan (jamak) sebanyak 190 buah.
Kita yakin perbedaan pemakaian kata tersebut jelas membawa perubahan konotasi dari kata itu. Dalam kasus  السماوات ini, misalnya jika dimaksudkan untuk menunjuk kepada sesuatu yang ada di atas (mulia) maka digunakan bentuk mufradnya seperti dalam ayat QS. Al-mulk:16-17.
Kata السماء  terulang dua kali dalam ayat diatas keduanya dalam bentuk mufrad karena tak perlu dijamakkan sebab tanpa jamak maksudnya sudah diketahui, yakni menunjuk kepada sesuatu yang amat tinggi dan mulia, bukan berkonotasi langit dalam arti planet-planet. Sebaliknya bila yang dimaksudkan ialah konotasi yang kedua: planet-planet, maka ketika ini dipakai bentuk jamaknya seperti dalam ayat 3 dari Al-an’am dan Contoh lain misalnya dalam ayat 3 dari saba’.
Tampak jelas dan terasa sekali perbedaan konotasi السماء antara dalam contoh sebelumnya dengan السماوات dalam dua ayat terakhir ini. Kalau dalam ayat 16-17 dari Al-mulk itu menunjukkan kepada suatu kondisi atau sifat yang mulia dan tinggi, sementara pada dua ayat terakhir ini berkonotasi materi yakni planet-planet.
Hal serupa juga tampak dalam pemakaian kata الارض artinya jika yang dimaksud ialah untuk menunjukkan sifat rendah dan di bawah, maka dipakailah kata الارض sendirian tanpa penjelasan atau cirri-ciri lain, seperti kata الارض yang terdapat dalam empat ayat yang dikemukakan tadi. Tapi bila tuhan bermaksud menjelaskan bumi (الارض) secara material, maka diberinya penjelasan seperti kata مثلهن dalam contoh yang dikemukakan pada permulaan pembahasan ini خلق  سبع سماوات ومن الارض مثلهن. ketika ini, الارض tidak berkonotasi suatu sifat yang rendah dan di bawah, melainkan menunjuk kepada jati dari bumi itu, yakni ada tujuh buah sama jumlahnya dengan langit; namun tuhan tidak menjamakkan kata الارض agar cocok dengan kondisi umat pada waktu itu sebagaimana telah diungkapkan di muka.
Jika demikian halnya bagaimana dengan lafadz السماء  dalam ayat 31 dari yunus
dan dalam ayat 24 dari saba’. Kedua ayat ini membicarakan tentang sumber rezeki; namun yang pertama diungkapkan dengan memakai lafadz mufrad (السماء ) sementara yang kedua diungkapkan dengan memakai lafadz jamak السماوات, padahal keduanya berkonotasi sama-sama abstrak.
Sepintas lalu kedua ayat itu memang tampak kurang sejalan dengan kaidah yang dikemukakan diatas. Namun bila diamati secra seksama, maka diketahui bahwa konteks kedua ayat itu berbeda. Ayat pertama katanya berkenaan dengan orang-orang yang mengakui, bahwa hanya Allah yang memberi rezeki mereka dengan menguasai pendengaran serta penglihatan mereka. Sedangkan ayat kedua berkenaan dengan orang yang tak mengakui hal yang demikian . apa yang dikemukakan oleh zarkasyi itu ada benarnya karena jawaban dari pertanyaan di awal ayat itu, dinyatakan pada akhir ayat tersebut secara eksplisit dalam ungkapan  فسقولون الله (maka mereka akan berkata: Allah).
Jawaban itu menegaskan bahwa mereka mengakui sepenuhnya: hanya Allah pemberi rezeki dan yang menguasai pendengaran serta penglihatan mereka. Jawaban serupa itu tak dijumpai dalam ayat kedua. Karenaya tuhan langsung memerintahkan rasul menjawabnya sebagaimana tertera diujung ayat  قل الله. Mereka yang mengakui bahwa hanya Allah yang memberi rezeki, maka mereka tak pernah menggambarkan proses turunnya rezeki itu dari langit yang satu ke langit yang lain, kemudian baru sampai kepada mereka. Tapi mereka meyakini sepenuhnya bahwa rezeki itu langsung dari Allah tanpa melalui proses yang berbelit. Untuk menggambarkan kondisi yang demikian maka lafadz tunggallah yang cocok yakni السماء sebaliknya pada contoh yang kedua, lafadz jamaklah yang cocok السماوات karena mereka mengakui bahwa turunnya reeki dari allah memaluli proses yang panjang dari satu langit ke langit yang lain. Dalam kondisi yang begini, tentu lafadz jamak السماوات yang sesuai dengan kondisi yang mukhatab. Untuk menolak keyakinan yang demikian itu maka diujung ayat itu langsung ditegaskan allah  قل الله . Dengan begitu jelaslah bahwa pemberian rezeki dan sebegainya itu benar-benar Allah yang berwenang. Tak ada pihak-pihak lain selain Allah.
Pemakaian lafadz dalam Al-qur’an juga tak sama konotasinya dengan mufrad-nya . jika diamati pemakaian kata tersebut, maka dijumpai konotasinya sesuatu yang menyenangkan seperti dalam ayat-ayat QS. Ar-Rum (48), al-Hijr (22), ar-Rum (46). Sebaliknya lafadz  ريحberkonotasi azab atau siksa seperti dalam ayat-ayat QS. Fusilat (16), al-Ahzab (9), al-Haqoh (6), Ibrahim (18).
Dari dua kelompok contoh itu tampak perbedaan pemakaian ladadz   رياحdan ريح  secara jelas. Riyah berkonotasi angin yang baik penuh rahmat dan nikmat, sebaliknya rih angin yang buruk penuh azab dan siksa. Hal itu dapat diketahui melalui konteks ayat tersebut. Namun ada kata  ريحdalam Al-qur’an yang berkonotasi baik seperti dalam ayat 22 dari yunus.
Lafadz  ريح yang pertama berarti angin baik sedamg  ريح yang kedua ialah angin buruk. Pada ayat ini tak sulit mengtahuinya karena yang disifati dengan طيبة (baik) dan yang kedua disifati denganعاصف  (kencang dan menakutkan).
Agaknya timbul pertanyaan, mengapa tidak رياح yang dipakai di tempat ريح yang pertama itu? Sehingga lebih mudah memahaminya sebab sesuai dengan konotasi ayat-ayat lain sebagaimana telah di contohkan di muka. Pemakaian kata serupa itu seakan-akan memberi kesan bahwa Al-qur’an kurang konsisten dalam pemakaian suatu kosa kata karena dalam ayat lain lafadz ريح berkonotasi ‘buruk’ atau ‘azab’, sebaliknya dalam ayat lain lafadz yang sama berkonotasi ‘baik’.
Apabila diamati dengan seksama pemakaian lafadz tersebut dalam ayat 22 dari yunus itu, niscaya kita akan berkata, memang kata yang mufrad itulah yang cocok bukan lafadz رياح jamaknya. Hal itu didasarkan pada konteks ayat tersebut yang membicarakan kondisi kapal yang sedang berlayar di tengah lautan. Jelas, yang dapat menyelamatkan pelayaran kapal ialah satu jenis angin dari satu arah. Oleh karena itu, maka lafadz ريح yang mufrad-lah yang cocok digunakan, tidak yang jamak. Supaya tidak dipahami lafadz yang pertama itu berkonotasi ‘buruk’ maka tuhan menyifatinya dengan طيبة. Dengan demikian umat terhindar dari pemahaman yang keliru. Kata ريح yang semakna ini ditemui pula dalam ayat 33 dari Al-syura.
Satu lagi yang perlu dikaji di sini ialah pemakaian lafadz مشرق dan  مغرب. Dalam Al-qur’an kedua kata tersebut dipakai dalam bentuk mufrad dual(mutsanna), dan jamak. Pemakaian lafad yang mufrad dari kedua kata itu barangkali tidak menarik perhatian umat karena mereka tahu dan tampak dengan jelas bahwa مشرق  (timur) dan مغرب (barat) masing-masing memang hanya satu; jadi cocok dengan konotasi kata tersebut. permasalahan mulai timbul ketika Al-qur’an memakai kata itu dalam bentuk dual seperti dalam ayat 17 dari Al-rahman (رب المشرقين ورب المغربين)dan dalam bentuk jamak seperti dalam ayat 50 dari Al-ma’aarij (فلا اقسم برب المشارق والمغارب). munculnya permasalahan dalam ayat itu ialah karena sepintas lalu seakan-akan Al-qur’an tidak sejalan dengan kenyataan empiric yakni timur dan barat, masing-masing haya satu tidak dua dan tidak pula tiga dan seterusnya. Namun Al-qur’an menggunakan lafadz dual dan jamak yang berkonotasi berbilang.
Apabila dikaji dengan seksama pemakaian kata-kata dalam ayat-ayat Al-qur’an, maka secara jujur harus diakui bahwa pemakaian kata tersebut adalah sanagt tepat dan akurat. Dalam hal ini tidak terkecuali lafadz  مشرقdan  مغربyang dipakai dalam tiga bemtuknya itu sebagaimana telah dicontohkan dim ka. Berdasarkan pada kenyataan itu, maka para ulama’, khusunya mereka yang mendalami ilmu-ilmu Al-qur’an berusaha mencari jawaban bagi permasalahan yang timbul itu. Al-zarkasyi, misallnya, mengomentari pemakaian lafadz dual dan jamak dari kedua kosa kata tersenut dengan mengatakan bahwa hal itu terjadi sesuai dengan pergerakan planet-planet. Akibatnya tempat terbit matahari (masyriq) senantiasa berubah-ubah setiap hari sepanjang tahun. Perubahan ini menyebabkan tempat terbenam matahari(maghrib) ikut berubah. Dengan demikian, berarti masyriq dan maghrib tersebut menjadi banyak karena itu tepatlah Allah berkataرب المشارق والمغارب dengan memakai lafadz jamak. Adapun pemakaian bentuk dual dari kedua, kata itu seperti itu dalam ayat 17 dari Al-rahman tersebut ialah agar serasi dengan ayat-ayat yang lain karena ungkapan ayat-ayat di dalamnya berpasang-pasangan seperti manusia-dan jin, rumput dan pohon, matahari dan bulan, dan sebagainya. Dalam kondisi yang demikian maka akan lebih sesuai menggunakan lafadz dual daripada lafadz tunggal.
Sebenarnya masih ada ayat lain yang berkenaan dengan permasalahan pemakaian kosa kata tunggal dan jamak ini, namun contoh yang dikemukakan di atas cukup menjadi bukti bagi kita bahwa pemakaian suatu lafadz dalam Al-qur’an mengandung makna tertentu yang tak ada pada tempat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-qur’an. Itulah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah yang khusus yang membahas kosa kata Al-qur’an tersebut sebagaimana telah diuraikan.[7]







KESIMPULAN
Kata  mufrad adalah isim maf’ul yang berarti terasing. Sedangkan menurut istilah, mufrad adalah sebutan untuk isim yang menunjukan satu atau tunggal, seperti seorang manusia, seekor binatang, sebuah benda, dan sebagainya. Jamak adalah sebutan unutk menunjukan sejumlah (banyak), baik manusia maupun makhluk lainya. Menurut istilah,  jamak merupakan isim yang menunjukan lebih dari dua, dengan aturan pembentukan tertentu, seperti kata mesjid menjadi masajid, rajul (seorang lelaki) menjadi rija, dan sebagainya.
Pemakaian suatu lafaldz dalam Al-Qur’an mengandung makna tertentu yang tidak ada pada temapat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-Qur’an. Itu lah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah mufrad dan jamak yang membahasa kosa kata Al-Qur’an. Perlu adanya kajian tentang pola kalimat yang serupa, supaya tidak terjadi kekeliruan dalam memahaminya. Lafadz-ladazh mufrad dan jamak yang dipakai dalam Al-Qur’an tersebut, ternyata maknanya tidak secara kebetulan hadir, melainkan sengaja dibuat demikian agar sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Perubahan pemakaian makna tersebut jelas membawa perubahan konotasi dari kata itu.
Sebenarnya masih ada ayat-ayat lain yang berkenaan dengan permasalahan pemakaian kosa kata mufrad dan jamak ini, namun contoh yang dikemukakan di pembahasan cukup menjadi bukti bagi kita bahwa pemakaian suatu lafadz dalam Al-qur’an mengandung makna tertentu yang tak ada pada tempat lain dan sekaligus menjadi bukti atas keistimewaan bahasa Al-qur’an. Itulah sebabnya untuk memahaminya diperlukan kaidah yang khusus yang membahas kosa kata Al-qur’an yaitu kaidah mufrad dan jamak.







Daftar Pustaka
Baidan, Nashruddin.Wawasan Baru Ilmu Tafsir.Pustaka Pelajar. Yogyakarta; 2005
Izzan, Ahmad. Studi kaidah tafsir Al-qur’an. Humaniora. Bandung; 2009
Chirzin, Muhammad. Al-qur’an dan ulumul qur’an. Dana bhakti prima yasa. Jakarta; 2003 cetakan ke 2
Ichwan, Nor. Memahami bahasa Al-Qur’an, Semarang,  Pustaka pelajar; 2002
Nu’mah, Fuad.  Mulakhis Qawaid al Lughah al Arabiyah, Damaskus,  Dar al Hikmah; 1977 cetakan ke 9
Sayyid, Dr. Amin Ali.  Fi Ilm as Sharf. Mesir. Dar al Maarif, cetakan ke 3







  





[1]Drs ahmad izzan, studi kaidah tafsir al-qur’an, (humaniora:bandung, 1998), hlm. 46
[2]Nor Ichwan, Memahami bahasa Al-Qur’an (Semarang: Pustaka pelajar, 2002), hlm. 49
[3] Dr. Amin Ali Sayid, Fi ilmi as Sharf, (Mesir: Dar al Maarif, 1976), hlm. 95
[4] Fuad Nu’mah, Mulakhis Qawaid al-lughah al Arabiyah, (Damaskus: Dar al Hikmah , 1977), hlm. 23
[5] Nor Ichwan, Memahami bahasa Al-Qur’an (Semarang: Pustaka pelajar, 2002), hlm. 51
[6] Drs. muhammmad chirzin, al-qur’an dan ulumul qur’an (dana bhakti prima yasa:Jakarta, 1998), hlm. 195-199
[7] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, ( Pustaka Pelajar,Yogyakarta; 2005), hlm. 308-317

Tidak ada komentar:

Posting Komentar