Latar
Belakang Masalah
Pembahasan teologi merupakan pembahasan yang sangat vital dalam
keberagamaan. Dengan melihat bahwasannya akidah (teologi) sudah menjadi
sunatullah yang terdapat pada setiap
makhluk, tertanam di dalam hati dan sangat mempengaruhi serta mendominasi
perilaku seseorang, baik hal itu berupa perbuatan yang baik dan jahatnya
seseorang bersumber dari baik dan rusaknya akidahnya, karena setiap perbuatan
manusia tergantung atau ditentukan oleh akidahnya, kemudian tinggi dan
rendahnya etos kerja seseorang atau suatu masyarakat atau suatu bangsa tergantung
pada corak akidah yang mereka anut, apakah akidahnya rasional dan berwatak
dinamis ataukah akidahnya tradisional dan berwatak fatalis.
Sala satu kitab tafsir yang populer dan mempunyai corak pemahaman teologi
yang menarik adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar). Kitab
tafsir yang tidak lepas di pengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat
intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi masyarakat pada saat itu. Tasfir
al-Manar sangat mashur di kalangan para peminat studi Al-Qur’an. Majalah al-Manar,
yang memuat tafsir ini secara berkala pada awal abad ke-20 dan sudah
tersebar luas keseluruh penjuru dunia Islam dan mempunyai peranan yang tidak
kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyelubungan agama.
Al-Manar adalah salah satu
kitab tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatu
corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan Al-Qur’an pada segi-segi
ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunya Al-Qur’an yakni
membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan menegaskan bahwa agama islam adalah agama universal dan abadi
yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Tokoh utama corak
penafsiran ini serta yang berjasa meletakan dasar-dasarnya adalah Syaikh
Muhammad Abduh, kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya Muhammad
Rasyid Ridha yang menjadi media dan corong pembaharuan yang digulirkan oleh
gurunya, Muhammad Abduh.
Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar)
merupakan hasil karya secara madiri dari
tokoh pembaharuan Rasyid Ridha, tetapi dalam beberapa bagiannya merupakan hasil
kerjasamanya antara Ridha dengan Gurunya, Muhammad Abduh. Berkenaan dengan
pendirian Rasyid Ridha tentang masalah-masalah teologi yang berkenaan dengan
zat Allah dan sifat-sifatNya serta yang berkaiatan dengan akhirat adalah pemikiran
ulama salaf. Karena Ridha adalah seorang
berpaham teologi Asy’ariyyah dan Sunni yang bermazhab Syafi’i (Sunni-Salaf)
yang menolak taklid dan menyerukan perlunya ijtihad. Ridha memang tidak pernah
menegaskan bahwa ia menganut teologi Asy’ariyyah atau setidak-tidaknya pernah
dipengaruhi oleh teologi tersebut. Dr. Muhammad ibn Abdillah al-Salamah
mengatakan dalam kitabnya Al-Syaykh Rasyid Ridha al-Salafi al-Mushlih,
bahwasanya Rasyid Ridha adalah seorang yang berpaham salaf reformis (pembaru).
Akan tetapi, menurut Harun Nasution, meski Rasyid Ridha itu adalah seorang
pemikir yang masih merujuk kepada Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan ulama-ulama
besar lain yang hidup pada masa silam, dalam masalah-masalah teologi, ia tidak
menganut teologi tertentu.
Dengan perbedaan presepsi yang berbeda terhadap Rasyid Ridha dalam masalah
Teologi, maka menimbulkan suatu proposisi, bagaimana sebenarnya pemikiran
teologi Islam dari Rasyid Ridha dengan melihat juga bahwasanya dalam masalah
teologi Ridha sedikit sekali pendiriannya terhadap Asy’ariyyah. Dengan melihat
fakta ini, maka terjadi kesenjangan bahwa dia seorang Sunni tetapi sedikit
sekali pendiriannya Asy’ariyyahnya dalam masalah teologi. Maka timbul
pertanyaan, Apakah konsep teologi Islam menurut Rasyid Ridha itu identik
dengan aliran Salafiyyah ataukah dengan aliran teologi yang lain ataukah
independen? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi
pokok permasalah unutk mendapatkan jawaban yang tepat, sebagai berikut:
1. Bagaimana Sketsa historis dalam penyusunan Tafsir Al-Manar?
2.
Bagaimana biografi
tokoh yang menyusun kitab Tafsir Al-Manar?
3. Apa visi dan misi yang membuat Ridha ingin memperbaiki
kondisi umat di dalam kitab Tafsir al-Manar?
4. Paradigman dan prinsip-prisnsip apa yang dibangun dalam kitab
Tafsir al-Manar?
5. Karakteristik apa yang terdapat dalam Tafsir al-Manar?
6.
Bagaimana
porsi akal di dalam kitab tafsir al-Manar?
7. Penafsiran Rasyid Ridha mengenai ”Keberadan sfiat-sifat
Allah”
8.
Penafsiran
Rasyid Ridha tentang “Kemampuan Akal dan Wahyu”
1.
Sketsa historis dalam penyusunan Tafsir Al-Manar
Kedua tokoh
pengarang tafsir al-Manar yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha
pada dasarnya adalah anak-anak zamannya yang hidup dan berjuang serta berkarya
dalam kerangka pemikiran dan kondisi zamannya. Mereka hidup pada kurun waktu
antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20. Kurun waktu
tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah Arab Modern
jika dibandingkan dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Pada saat ini juga kaum imperialis Barat telah bersekutu
dengan kaum zionis internasional untuk memecah belah umat islam, membagi-bagi
negeri-negeri mereka, dan merampas harta kekayaan mereka.[1]
Maka tidak heran apabila dikaitkan dengan corak dan cara mereka menyikapi dan
menafsirkan al-Qur’an, isi dan kandungan tafsir yang mereka susun berkait dan
bahkan diarahkan sesuai dengan kondisi yang melatar belakanginya dalam upaya
mendayagunakan al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam menghadapi berbagai
tantangan kehidupan. Demikianlah keadaan umat Islam dilihat dari aspek politik.
Keadaan umat Islam itu semakin menyedihkan lagi jika dilihat dari aspek
agama, sosial, dan budaya. Menurut Ridha sendiri, pada masanya kondisi umat
Islam sudah begitu buruknya. Di samping pemerintahan-pemerintahan mereka sudah
runtuh dan bangsa-bangsa mereka sudah hancur, mereka sendiri selaku umat Islam
tidak dapat lagi mengetahui hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan tidak pula
mampu mengetahui ajaran-ajaran agama Islam yang dapat membawa mereka kepada
kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia. Pada masa ini agama sudah kehilangan
ruhnya dan Islam hanya menjadi simbol-simbol lahir yang tidak menyentuh hati
dan tidak dapat membangkitkan etos kerja. Sebaliknya, khurafat semakin mendominasi
kehidupan mereka dan takhayul semakin berkembang di kalangan mereka. Tasawuf
sudah menjadi permainan para badut dan agama hanya merupakan amalan-amalan
lahir. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh keberhasilan tidak lagi dengan
kerja eras, tetapi dengan bertawasul kepada para wali dan mengusap
kuburan-kuburan mereka.[2]
Pada kurun waktu itu, tarekat-tarekat sufi tidak hanya dapat tumbuh dan
berkembang dengan pesat, tepai juga sudah menguasai masyarakat Islam,
menyesatkan mereka dari agama yang benar, dan menodai keindahan
ajaan-ajarannya. Bahkan, banyak di antara para pemukanya itu yang sudah menjadi
penyebar bidah dan khurafat sehingga banyak orang yang mempercayai para
pembohong itu memiliki keramat dan menjadi wali Allah.[3]
Di lain pihak, dalam memperlajari ilmu-ilmu agama, orang hanya dapat
menghapalkannya, tetapi tidak dapat memahaminya. Kesulitan mereka dalam
memahami ilmu-ilmu itu, semakin bertambah lagi, karena kitab-kitab pelajaran
yang berkenaan dengan ilmu-ilmu tersebut ditulis dalam bentuk hasyiah
(keterangan yang ditulis dipinggir kitab) dan syarah (keterangan yang
ditulis ditengah kitab).
Bersamaan dengan fenomena tersebut diatas, telah pula muncul di kalangan
orang yang berpendidikan modern fenomena menjauhi agama dan tidak tertarik
untuk mempelajari akidah mereka dengan serius. Masuknya kebudayaan Barat, baik
yang positif maupun yang negatif ke negeri-negeri Islam, telah pula membawa
pengaruh besar dalam melahirkan dan mengembangkan sikap yang ada pada orang-orang
yang berpendidikan itu. Tidak diragukan lagi bahwa negara-negara imperalis
memegang peranan penting dalam memasukan kebudayaan Barat tersebut ke
negeri-negeru Islam. Dengan menguasai pemikiran umat Islam, mereka akan lebih
mudah mewujudkan ambisi-ambisinya. Dengan kata lain, dengan mengenalkan pemikiran
yang destruktif kepada umat Islam, mereka akan mudah menanamkan kesan buruk
tentang Islam di hati para pemeluknya dan merusak persatuan dan kesatuan dunia
Islam. Penetrasi dengan cara tersebut merupakan senjata yang paling ampuh dalam
menghancurkan umat Islam dan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan
diri mereka. Karena itu, tidaklah mengeherankan jika pada masa Rasyid Ridha
paham-paham Barat, seperti nasionalisme, sekularisme, sosialisme, kapitalisme,
dan komunisme sudah mulai memasuki pemikiran sementara umat Islam.[4]
Sala satu upaya yang cukup signifikan yang telah dilakukan oleh
negara-negara imperialis dalam memengaruhi pemikiran umat Islam adalah
mendirikan lembaga-lembaga misionaris dan lembaga-lembaga pendidikan di
negeri-negeri Islam. Misalanya, di Libanon yang menjadi tanah air Rasyid Ridha
sendiri telah banyak didirikan kedua lembaga tersebut. Ironisnya, umat Islam di
Libanon memegang peranan penting dalam mempercepat penyebaran dan pendirian
kedua macam lembaga itu. Hal itu karena lembaga pendidikan yang didirikan
kalangan misionaris dan imprealis itu sangat mengutamakan pengajaran bahasa
Arab, sedangkan lembaga pendidikan milik pemerintah Turki Usmani lebih
mengutamakan pengajaran bahsa Turki dan kesusasteraannya daripada bahasa Arab.
Akibatnya, banyak umat Islam Libanon meninggalkan sekolah negeri milik
pemerintah dan beralih memasuki sekolah swasta milik lembaga misionaris Kristen
itu.[5]
Disamping fenomena-fenomena di atas, umat Islam juga jauh terbelakang dari
umat Kristen di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, keterbelakangan tersebut tidak
hanya dari umat Kristen yang berada di Eropa, tetapi juga terbelakang dari umat
Kristen yang berada di Timur Tengah dan yang hidup berdampingan dengan mereka.[6]
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga
golongan. Pertama, golongan yang berpikir jumud. Mereka ini mengangggap
bahwa ilmu agama adalah ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab yang telah
disusun oleh para pemuka mazhab-mazhab dan aliran-aliran, seperti Ahlus Sunah,
Syi’ah Zaydiyyah, dan Syi’ah Itsna, Asy’ariyyah. Menurut mereka, siapa saja
yang tidak mengikuti salah satu dari mazhab itu, dianggap tidak lagi berada di
dalam Islam. Padahal, sebagaiman diketahui setiap mazhab atau aliran hanya
mengutamakan mazhab dan alirannya. Kedua, golongan yang berkiblat kepada
kebudayaan modern. Menurut mereka, syariat Islam tidak cocok lagi diterapkan
untuk masa kini. Karena itu, kalau ingin maju, umat Islam harus mengikuti Eropa
dalam segala hal, baik di bidang ilmu pengetahuan, hukum, dan peraturan maupun
moral. Ketiga, golongan yang menginginkan pembangunan Islam. Golongan
ini menyerukan kepada umta Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan AL-Sunnah,
namun dengan penafsiran baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, karena antara
Islam dan Kebudayaan modern tidak terdapat pertentangan.[7]
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan karya tiga tokoh
Islam, yaitu Jamaluddin Al-Afghani sebagai pencetus ide pembaharuan dan
menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masayarakat kepada sahabat dan muridmya,
Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan-gagasan itu dicerna kemudian
disampaikan melalui penafsiran al-Qur’an dan diterima oleh Rasyid Ridha yang
kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam
bentuk ringkasan dan penjelasan.[8]
Dalam tafsir ini termuat misi dan semangat pembaharuan para penyusunnya:
khsusnya dalam rangka melakukan emansipasi agar umat Islam bangkit dari kondisi
terbelakang dan kejumudannya.[9]
Tafsir al-Manar lahir dan disusun ketika Mesir dalam keadaan
yang tidak menentu dan tidak stabil. Tafsir ini disusun ketika Khilafah
Usmaniyah yang kekuasaanya meliputi Mesir mengalami kemunduran. Khilafah
Usmaniyah ketika itu hanya memikirkan kekuasaan dan tidak memikirkan kehidupan
sosial kemaslahatan rakyatnya, apalagi pendidikan dan pengajaran. Bahkan
perhatian utamanya hanyalah terfokus pada penaklukan-penaklukan serta
mengabaikan kesejahteran rakyat di bawah wilayah kekuasaannya. Akibatnya,
kekhilafahan Usmaniyah secara fisik tanpak kuat, namun esensinya ia lemah
karena rendahnya taraf berpikir dan tingat kesejahteraan rakyatnya.[10]
Dizaman kemunduran ini, Khilafah
Usmaniyah terpukul di Erropa. Kekuatan militer dan politik umat Islam menurun.
Umat Islam dalam keadaan mundur dan statis. Pada saat itu, Eropa dengan
kekayaan yang diangkut dari Amerika dan Timur jauh bertambah kaya dan maju.
Penetrasi Barat yang kekuatannya meningkat, kedunia Islam, yang sedang menurun,
kian mendalam dan meluas. Akhirnya Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1789 M.
Dengan jatuhnya Mesir ketangan Barat mengisafkan dunia Islam akan kelemahanya
dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang
lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Pada periode 1800-an inilah
mulai timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.[11]
Kemunduran Islam yang terjadi di
Mesir pada waktu itu disebabakan faktor eksternal dan internal. Faktor
eksternal diantaranya yaitu datangnya imperialis peranci di bawah pemimpin
Napoleon seperti tersebut diatas, kemudian disusul Inggris. Sedangkan faktor
internal terjadi dari diri umat Islam sendiri yaitu karena mereka tidak lagi
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak terjadi bid’ah-bid’ah yang
menyelewengkan jauh dari Islam.[12]
Menurut Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniyyah,
kondisi sebagian besar umat Islam saat itu adalah dalam keadaan jumud. Statis
dan tidak berkembang. Di sisi lain, adat dan tradisi akal umat Islam yang
diwarnaii oleh aninisme dan keengganan pemakian akal turut pula mempengaruhi
kemunduran tersebut. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan adanya penguasa
yang sengaja membiarkan rakyat buta huruf agar bodoh dan mudah diperintah.[13]
Meskipun demikian, lambat laun kesadaraan akan ketertinggalan ini mulai
disadari, khususnya setelah munculnya kaum cendikiawan dan terpelajar hasil
didikan Dari Barat yang membawa misi pembaharuan untuk menyelesaikan umat Islam
dari kemunduran dan keterpurukannya.[14]
Di Mesir muncul golongan reformasi
dan pembaharuan dari para pelajar, baik yang dididik di dalam negeri maupun
yang menempuh pendidikan di luar negeri. Ada dua pandangan dari kalangan ini, pertama,
mereka yang menginginkan pembaharuan dilakukan secara evolutif dan pelan-pelan
dengan fokus pertama adalah meratkaan pendidikan di kalangan bangas Mesir agar
mereka tahu tentang hak dan kewajiban mereka. Dan kedua, mereka yang
menginginkan perubahan secara revolusioner dan cepat, diantaranya dengan
mengajukan dijaminnya kebebasan individu dan politik bagi setiap warga negara.[15]
Pengarang tafsir al-Manar dikategorikan sebagai pembahruan yang ingin
merubah secara pelan-pelan dan evolutif. Diantatanya dengan cara melalui media
tulis majalah al-Manar yang kemudian selanjutnya menjadi satu bentuk
tafsir al-Manar yang kemudian selanjutnya menjadi suatu bentuk tafsir
al-manar sebagai yang dikenal sekarang.[16]
2.
Penyusunan Tafsir Al-Manar: Muhammad Abduh dan Rasyid
Ridha
Muhammad Abduh sebagai tokoh yang mempunyai ide pembaharuan yang mana ide
tersebut memiliki fokus pemikiran yang menjadi tujuan dari sekian pengembaraan
ilmiah Muhammad Abduh. Dapat dijelaskan disini, paling tidak ada dua persoalan
yang menajdi fokus pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri. Kedua
persoalan tersebut adalah:
- Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlidi yang
menghambat perkembangan pegetahuan agama sebagaimana para salaf
al-Ummad,[17] sebelum timbulnya
perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, yaitu alQur’an.
- Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunkan dalam percakapan
ressmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di
media massa, penerjemahan atau korespondensi.
Namun para pengamat, setelah memperhatikan karya-karya tulis dan
sikap-sikap Abduh, menyatakan bahwa di balik dua hal yang disebutkannya itu
terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya.
Tujuan-tujuan tersebut antara lain: (a) Menjelaskan hakikat agama Islam yang
murni, dan (b) Menghubungkan ajaran-ajaran tersebut dengan menyesuaikan
penafsirannya dengan kehidupan masa kini. Pengamat lain menilai bahwa apa yang
digunakan Abduh tersebut, pada hakikatnya, bertujuan untuk memperkukuh
segi-segi mental spritual kaum Muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan
yang meliputi pikiran mereka pada saat perubahan sosial yang dialami
oleh masyarakat abad ke 19. Kedua fokus tersebut akan ditemukan secara jelas
dalam penafsiran-penafsiran Abduh terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[18]
Muhammad Rasyyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha adalah murid sekaligus sahabat Muhammad Abduh yang
terdekat. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rasyid Ridha Ibnu ‘Ali Ridha Ibnu
Muhaammad Syamsuddin Ibnu Sayyid Baha’uddin Ibnu Sayyid Manlan ‘Ali Khaliffah
al-Baghdadi. Ia dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli,
Libanon pada 27 Jumadil Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis
keturunan langsung dari sayyidina Husain, putra ‘Ali bin Abi Thalib dan
Fatimah.[19]
Semasa kecil ia dimasukan ke madrasah tradisional di Qalum untuk belajar
menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan belajar
di Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di
Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab, juga diajarkan bahasa Turki dan
Perancis serta pengetahuan-pengetahuan modern disamping pengetahuan-pengetahuan
agama. Sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah formal yang cukup maju yang
didirikan oleh Syaikh Hussain al-Jisr. Menurut al-Jisr, umat Islam tidak akan
baik dan maju kecuali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu
pengetahuan umum secara terpadu dengan menggunakan metode yang biasa dipakai
oleh orang-orang Eropa dan melaksanakan pendidikan Islam secara nasional.
Pada tahun 1314 H/ 1978 M, Syaikh Husain al-Jisr memberikan ijazah dalam
bidang ilmu-ilmu agama, bahasa dan filsafat kepada Rasyid Ridha. Sekolah ini
didirikan oleh Syaikh Husain al-jisr, seorang ulama yang telah dipengaruhi oleh
ilmu-ilmu modern. Di masa itu, sekolah-sekolah misi kristen telah mulai
bermunculan di Suriah dan banyak menarik perhatian orang tua untuk memasukan
anak-anak mereka belajar disana. Dalam usaha menandingi daya tarik
sekolah-sekolah misi inilah maka Syaik Husain al-Jisr mendirikin Sekolah
Nasional Islam tersebut. Karena mendapat tantangan dari pemerintah khilafah
Usmaniyah, umur sekolah ini tidak panjang.[20]
Setelah Madrasah Wataniyyah ditutup, Ridha melanjutkan pelajarannya di
madrasah diniyyah (sekolah agama) yang lain. Di samping itu, meskpiun Madrasah
Wathniyyah sudah ditutup, Ridha tetap belajar pada Syekh al-Jisr, baik di
Madrasah Rahibiyyah maupun di rumah gurunya.[21]
Di samping Al-Afgani dan Muhammad Abduh serta Syaikh Husain al-Jisr,
guru-guru beliau masih banyak lagi. merekalah juga yang memberi warna dan
pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha selanjutnya meski tidak
sebesar ketiga gurunya diatas. Guru-guru tersebut diantaranya:
- Syaikh
Muhammad Nasyabah, seorang ahli dalam bidang hadis yang mengajarkan sampai
selesai dan memperoleh ijazah. Karena jasanya lah Rasyid Ridha mampu
memilai hadis-hadis yang da’if dan maudu sehingga ia digelari oleh
teman-temannya sebagai Volontaire-nya kaum Muslimin karena keahlianya
menggoyahkan segal sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
- Syaikh
Muhammad al-Qawijiy, seorang ahli hadis yang mengajarkan salah satu kitab
karangannya dalam bidang hadis.
- Syaikh
‘Abdul Ghani ar-Rafi’, yang mengajarkan sebagaian dari kitab hadis Nail
al-Autor.
- Al
Ustadz Muhammad Hussaini.
- Syaikh
Muhammad Kamil ar-Rafi’
Rasyid ridha selalu hadir dalam diskusi mereka sebagaimana tentang ilmu
ushul dan Logika.[22]
Rasyid Ridha wafat dalm perjalanan pulang dari Suez setelah mengantar pangeran
Sa’ud al-faishal. Mobil yang
dikendarinya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Peristiwa itu
terjadi pada 23 Jumadil Ula 1354 bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Beliau
meninggal dengan wajah yang sangat cerah dan disertai senyuman.[23]
Mengenai perdebatan siapa yang lebih pantas mendapat penisbatan sebagai
pengarang tafsir al-Manar, kebanyakan para ulama menisbatkan tafsir al-Manar
kepada Rasyid Ridha. Meskipun Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya
dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125. Setelah gurunya
wafat kemudian Rasyid Ridha menafsirkan al-Qur’an secara sendirian yang pada
garis besarnya mengikuti metode yang digunakan Abduh sampai dengan surat Yusuf
110. Tafsir Al-Qur’an karya Ridha tidak hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an,
tetapi menjadi media yang corong pembaharuan yang digulirkan gurunya, Muhammad
Abduh. Tafsir Al-Qur’an karya Rasyid Ridha ini berjudul Tafsir al-Qur’an
al-Hakim, mencangkup tafsir surat al-Fatihah hingga surat yusuf (12): 110.
Namun, karena tafsir tersebut pada mulanya dipublikasikan secara berkala di
dalam majalah al-Manar, tafsir Ridha kemudian lebih populer dengan nama
tafsir al-Manar ketimbang nama aslinya, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim.
Meskipun tafsir al-Manar ini adalah hasil karya tulis Rasyid Ridha,
bagian pertamanya, yaitu dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nisa (4):
125 merupakan kerjasama antara dia dengan gurunya, Muhammad Abduh, sedangkan
bagian keduanya, yaitu dari surat an-Nisa (4): 126 sampai dengan surat Yusuf
(12): 110 adalah hasil karyanya secara mandiri.[24]
Oleh karena itu, tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid lebih
pantas untuk dinisbatkan kepada Rasyid Ridha. Sebab disamping lebih banyak yang
ditulisnya baik dari segi jumlah ayat maupun halamannya, juga karena dalam
penafsiran surat al-Fatihah dan al-Baqarah serta an-Nisa ditemui pula
pendapat-pendapatnya yang ditandai dengan kata Aqulu sebelum menguraikan
pendapatnya.[25]
3.
Visi dan Misi Ridha dalam memperbaiki Kondisi Umat
Menurut Ridha, seperti yang dikutip oleh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salaman
bahwa ayahnya, al-Sayyid ‘Ali Ridha, adalah seorang Sunni yang bermazhab
Syafi’i. Guru-gurunya juga adalah ulama-ulama Sunni yang bermaazhab Syafi’i.
Disamping mereka juga adalah orang-orang yang menggandurngi tasawuf. gurunya,
Syekh Husayn al-Jisr meski seorang ulama yang berpikir modern adalah juga
seseorang pemimpin tarekat Khalwatiyyah dan gurunya al-Qawaqiji adalah
seorang pengikut tarekat Syadziliyyah.[26]
Yang dimaksud Sunni di sini, di samping sebagai lawan Syi’ah dan
Mu’tazilli, juga berarti meganut paham Asy’ariyyah. Dengan demikian, ayah dan
guru-guru Ridha’ adalah orang-orang yang menganut paham Maturidiyyah atau paham
salafiyyah.
Dikatakan demikian, karena orang-orang Sunni yang bermazhab Syafi’i pada
umumnya menganut Asy’ariyyah, orang-orang Sunni yang bermazhab Hanafi pada
umumnya menganut paham Maturidiyah, dan orang-orang Sunni yang bermazhab
Hanbali menganut paham tersendiri yang khas Hanbali. Yaitu paham Salafiyyah,
dan orang-orang yang bermazhab maliki di samping ada yang menganut paham
Asy’ariyyah, ada pula yang menganut paham Salafiyyah. Dari ketiga aliran
teologi tersebut, aliran Asy’ariyyah merupakan aliran yang paling akrab
dengan tarekat-tarekat sufi. Hal itu karena keduanya sama-sama berpegangan
pada prinsip kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpaham fatalis, dan
berkeyakinan adanya berkah pada wali-wali dan orang-orang saleh meskipun mereka
sudah wafat. Selain itu, keempat guru Ridha di atas adalah lulusan al-Azhar,
sedangkan teologi yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam yang tertua itu
sejak beberapa abad yang lalu sampai sekarang ini adalah teologi Asy’ariyyah
atau setidak-tidaknya banyak dipengaruhi oleh teologi tersebut. Syekh Husayn
al-Jisr sendiri telah menyusun sebuah kitab teologi yang bejudul al-Hushun
al-Hamidiyyah li Muhafazhah al-Aqidah al-Islamiyyah. Meskipun kitab kitab
yang disusun unutk dipersembahka n kepad Sultan ‘Abdullah tersebut sudah
disusun dengan metode yang jauh lebih baik dari pada metode yang dipakai pada
masa-masa sebelumnya, isinya tidak lepas dari pengaruh teoligi Asy’ariyyah.[27]
Oleh karena ayah dan guru-guru Ridha adalah orang-orang Asy’ariyyah yang
bermazhab Syafi’i dan menyenangi tasawuf, tidaklah mengherankan jika ia dididik
oleh mereka untuk menjadi seorang Sunni-Asy’ariyyah yang bermazhab Syafi’i, dan
menyenangi tasawuf seperti mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ridha
tidak pernah menegaskan bahwa ia menganut teologi Asy’ariyyah atau
setidak-tidaknya pernah dipengaruhi oleh teologi tersebut. Disamping itu, Ridha
juga pernah menjelaskan bahwa pada mulanya ia tidak hanya menyenangi tasawuf
tetapi sudah mempraktekkan kehidupan sufi, seperti tekun melaksankan ibadah,
membaca Dala’il al-Khayrat dan wirid-wirid, terutama yang berasal dari
tarekat Naqsyabandiyyah, serta aktif melaksanakan riyadhah (latihan). Yang
biasa dilakukan pala salik, seperti hidup sederhana, menghindari makanan dan
minuman yang lezat, serta tidur dengan tidak beralaskan kasur.[28]
Menurut Rasyid Ridha, kecenderungannya kepada kehidupan sufi semkain kental
setelah ia membaca iIhya’ ‘Ulum al-Din yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali. Kitab
tersebut katanya tidak hanya telah menarik minatnya untuk berulangkali
membacanya, tetapi juga telah menjadi gurunya yang pertama dalam membentuk
kepribadiannya. Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Ridha, ia
mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan ajaran-ajarannya, dan
melaksanakan latihan-latihan ‘uzlah yang sangat berat.[29]
Beberpa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi dan
mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Ridha menyadari banyaknya bidah dan Khurafat
yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat tersebut. Karena itu,
ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran
tasawuf dan tarekat, tidak hanya sampai di situ, tetapi ia juga berupaya
membimbing masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur
baur dengan bidah dan khurafat tersebut. Upaya-upaya yang telah dilakukannya,
antara lain membuka pengajian untuk kaum pria dan pengajian unutk kaum wanita,
menebang pohon-pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan melarang
masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para wali atau bertawasul dengan
para wali yang telah wafat.[30]
Perubahan sikap Ridha terhadap ajaran tasawuf dan tarekat baru muncul
setelah ia mempelajari kitab-kitab hadis dengan tekun. Perubahan
sikapnya terhadap ajaran-ajaran tersebut semakin terlihat dengan jelas setelah
ia terpengaruh oleh ide-ide pembaharuan al-Afghani dan Abduh yang dimuat
dalam majalah al-Urwah al-Wustqa yang mereka terbitkan di Paris,
Perancis.[31]
Ridha mulai membaca majalah tersebut ketika ia masih belajar di Tripoli dan
ketika majalah tersebut sudah berhenti terbit. Dalam al-Urwah al-Wutsqa, dijelaskan
bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar telah diselewengkan menjadi
kepercayaan Jabbariyyah, padahal kepercayaan kepada qadha dan qadar itu
mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam pada zaman klasik dapat
membawa Islam sampai ke Spanyol dan dapat melahirkan peradaban yang tinggi.
Karena itu, kepercayaan Jabbariyyah harus diubah menjadi kepercayaan kebebasan
manusia dalam berkehendak dan berbuat. Kepercayaan itulah yang akan melahirkan
kembali dinamika umat Islam.[32]
Menurut Rasyid Ridha, kalau kitab Ihya ‘Ulum al-Din telah membuatnya
cenderung kepada kehidupan sufi dan mendorongnya untuk membimbing umat kepada
kehidupan yang saleh, majalah al-‘Urwah al-Wustqa telah membuatnya
bersikap kritis terhadap keadaan umat Islam dan mendorongnya unutk ikut aktif
dalam memajukan dan melepaskan mereka dari belenggu penjajahan.[33]
Dari pernyatan Ridha tersebut dapat diketahui bahawa visinya pada mulainya
adalah umat Islam harus menjadi umat yang saleh. Namun, kemudian umat Islam
harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang
maju sehingga dapt bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa Barat di
berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan,
dan teknologi. Terlebih lagi pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh pada
1885, pengaruh ide pembaharuan yang telah digulirkan oleh al-Afghani dan Abduh
itu semakin mendalam pada diri Ridha. Ide-ide pembaharuan yang selaras dengan
visinya itu kemudian diterapkannya di tempat kelahirannya. Namun, karena
mendapat tantangan dari penguasa setempat, Ridha berhijrah ke Mesir dan
bergabung dengan Muhammad Abduh dalam meperjuangkan pembaharuan pada 1313 H/
1898 M, tidak lama setelah menyelesaikan studinya di Tripoli. Di Mesir, Ridha
tidak hanya menjadi murid terdekat Abduh, tetapi juga menjadi mitra,
penerjemah, dan pengulas pemikiran-pemikirannya. Beberapa bulan setelah menetap
di Mesir, Ridha mulai menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan
persetujuan Abduh. Majalah itu dipersiapkan untuk menjadi media dan corong bagi
gerakan pembaharuan Islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka
dari belnggu penjajahan.[34]
Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 Syawwal 1315 H/ 15 Maret 1898
M. Pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam
seminggu, kemudian setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan
kadang-kadang sembilan nomor dalam setahunnya. Majalah itu dapat diterbitkan
Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang telah dilakukan oleh Ridha
merupakan prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar
terbit, sebanyak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah
terkumpul seluruhnya. Setelah Ridha wafat, masih ada upaya dari kalangan
keluarga dan sahabatnya untuk meneruskan penerbitan majalah tersebut. Namun,
mereka hanya mampu menerbitkannya sebanyak dua nomor, kemudian dihimpun menjadi
jilid ke-35.[35]
Sesuai dengan visinya diatas, maka misi yang dilaksanakan Ridha untuk
mencapai visi tersebut terlihat dengan jelas pada tujuan diterbitkannya majalah
al-Manar. Pada nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan majalah tersebut
antara laian melaksanakan pembaharuan di bidang agama, sosial, dan ekonomi;
menjelaskan bukti-bukti kebenaran Islam dan keserasiannya dengan kemajuan zaman;
meneruskan cita-cita al-Urwah al-Wutsqa, memberantas bidah, khurafat, takhayul,
kepercayaan jabar dan fatalis, paham-paham yang keliru tentang qadha dan qadar;
praktik-pratik bidah atau sesat yang terdapat dalam tarekat-tarekat sufi;
meningkatkan mutu pendidikan Islam; dan memacu umat Islam agar dapat mengejar
umat-umat lain dalam berbagai bidang yang diperlukan unutk mencapai kemajuan
dan kesejahteraan umat.[36]
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka majalah al-Manar memuat dan
mempublikasikan banyak ide pembaharuan al-Afghani, Abduh, dan juga Ridha. Ide
pembaharuan Ridha pada prinsipnya tidak berbeda dengan ide pembaharuan dari
para gurunya., Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.[37]
Bidah lain yang ditentang keras oleh Ridha adalah ajaran para syekh tarekat
tentang tawakal, tawasul, dan kepatuhannya yang berlebihan kepada para syekh
dan wali.[38] Selain itu,
Ridha juga mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah sudah
membudaya paham Jabbariyyah (fatalis). Sebaliknya salah satu sebab kemajuan
banngsa-bangsa Eropa adalah sudah membudaya paham ikhtiar (dinamis). Padahal, Islam
sendiri sebenarnya berisi ajaran yang mendorong umatnya agar bersifat dinamis.
Ajaran tersebut terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan
bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan kemampuan
untuk mencapai suatu tujuan yang mulia, dan berani berkorban, baik dengan harta
benda maupun dengan jiwa raga.[39]
Untuk menyebarkan ide-idenya itu, Ridha tidak hanya berjuang melalui
tulisan-tulisannya di majalah al-Manar, dan lainya, tetapi juga melalui
pendidikan, dakwah, dan politik praktis. Untuk aktifitasnya di tiga bidang ini,
ia sempat delapan kali ke luar negeri dan sempat mendirikan sebuah Madrasah
al-Irsyad wa al-Da’wah, sebuah lembaga pendidikan Islam yang bertujuan
melahirkan kader-kader juru dakwah yang tangguh. Para alumninya dikirim
keberbagai negeri Islam yang membutuhkan tenaga mereka dalam menghadapi
aktifitas kaum misionaris Kristen. Untuk mewujudkan visi dan misinya itu,
bukanlah perkerjaan yyang mudah bagi Ridha. Menurut Edward Mortimer, untuk itu
ia harus berjuang di dua front pertempuran. Di front pertama, ia harus berjuang
melawan paham tradisonal dan skolastik dan kelemahan kaum Muslim dan
kemenangan-kemenangan musuh-musuh mereka. Di front kedua, ia harus berjuang
melawan musuh-musuh mereka sendiri.[40]
Setelah berjuang dengan segala kecerdasan dan kemampuan yang ada padanya untuk
kemajuan dan kejayaan Islam dan umatnya, Ridha berpulang ke rahmatullah dalam
usia 70 taun pada kamis, 23 Jumadil al-Ula 1345 H/ 22 Agustus 1935 M dengan
meninggalkan beberapa karya tulils yang sangat berharga. Karya-karyanya itu,
antara lain, majalah al-Manar sebanyak 34 jilid, Tafsir al-Qur’an
al-Hakim (Tafsir al-Manar) sebanyak 12 jilid, al-Fatawa sebanyak
enam jilid, Tarikkh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh sebanyal
tiga jilid. Disamping itu, kata Mortimer, Ridha juga adalah seorang pemikir
yang telah meninggalkan pengaruh pada masanya dan pada abad ke-20 ini dengan
para pengikut yang tersebar dari Maroko di Afrika Utara sampai ke Indonesia di
Asian Tenggara. Terlebih lagi dibidang tafsir, pengaruh Ridha terhadap para
penulis tafsir sesudahnya sangat signifikan. Pengaruh tersebut tercermin dengan
jelas pada kitab-kitab tafsir yang mereka tulis. Misalnya saja, tafsir al-Maraghi
karya Ahmad Mushthafa al-Maraghi, tafsir al-Farid karya Muhammad
Abdulmu’in al-Jamal, Tafsir al-Wadhih karya Mahmud al-Hijazi, tafsir al-Muniri
dan al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-Kharim (keduanya) karya Dr.
Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Azhar karya Hamka, Tafsir al-Nur karya
al-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an-Karim karya A. Halim dkk, dan Al-Qur’an
dan Tafsirnya karya Dewan
Penyelenggara Penfasir Al-Qur’an dari Departemen Agama RI.[41]
4.
Karakteristik Tafsir al-Manar
Ciri-ciri penafsiran dalam tafsir al-Manar bisa di identifikasi
dengan mengatahui metode penafsiran dan corak penafsiran kitab tafsir.
Al-Farmawi mengatakan bahwa studi atas hasil karya penfasiran para ulama
sekarang ini, secara umum, menunjukan bahwa mereka menggunakan metode-metode
penafsiran tahlili, ijmali, muqaran dan maudu’i.[42]
Dari keempat metode ini, tafsir al-Mannar mengambil metode tahlili.
Metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya
dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makan kosakata, makna
kalimat, maksud setiap uangkapan, kaitan antara pemisah (munasabat)
sampai sisi-sisi keterkaitan antarpemisah itu (wajh al-Munasabat) dengan
bantuan Asbab al-Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad,
sahabat dan tabi’in. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan
kebudayaan generasi Nabi sampai dengan tabi’in; terkadang pula diisi dengan
uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan
unutk memahami al-Qur’an.[43]
Dari segi corak penafsiran al-Farmawi menjelaskan, tafsir al-Manar termasuk
tafsir yang menggunakan corak al-Adab al-ijtima’i berupa menyingkap keindahan bahasa al-Qur’an
dan mukjizat-mukzijatnya; menjelsakan makna-makna dan maksud-maksudnya;
meperlihatkan aturan-aturan al-Qur’an tentang kemasyarakatan; dan berusaha
mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan umat
manusia pada umumnya.[44]
Corak penafsiran ini pun berupaya menunjukan bahwa al-Qur’an adalah kitab
suci yang Shlih li kullli Zaman wa Makan. Disamping itu, corak tafsir
ini berupaya menjawab keraguan-keraguan yang dilontarkan musuh-musuh Islam
tentang al-Qur’an dengan menampilkan argumen-argumen yang kuat.[45]
Quraish Shihab menambahkan, paling tidak ada empat unsur tasfir yag memakai
corak Adab al-Ijtima’i ini. Corak
sastra terlihat dengan jelas dalam upaya pengungkapan keindahan gaya bahasa
yang dipakai al-Qur’an dan upaya untuk mengungkap aspek-aspek kemukjizatan dan kedalaman
makna yang dikandungnya. Sedangkan dari segi corak sosial nampak pada
upaya pengangkatan hukum-hukum sosial dari al-Qur’an untuk dijadikan terapi
dalam penyembuhan umat dari penyakit-penyakit yang dideritanya serta dalamupaya
pemecahan problematika hidup yang sedang dihadapi.[46]
Dari paparan di atas secara umum tafsir al-Manar mencangkup semua
karakteristik di atas dengan masing-masing pengarang tafsir ini yaitu Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha mempunyai karakteristik penafsiran yang hampir sama
pula. Meskipun secara detail ternyata ada beberapa perbedaan yang tidak esensial
bagi warna tafsir al-Manar. Kedua pengarang inilah yang membentuk
karakteristik dalam tafsir al-Manar dengan segala kelebihan dan
kekeranganya.
·
Persamaan-persaman
dari ciri-ciri penfasiran kedua tokoh tersebut diantaranya:
1.
Menganggap
satu surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2.
Ayat-ayat
al-Qur’an bersifat umum.
3.
Al-Qur’an
adalah sumber akidah dan hukum.
4.
Pengunaan
akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5.
Menentang
dan memberantas taqlid.
6.
Tidak
merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubbham (tidak jelas), atau
sepintas lalu, oleh al-Qur’an.
7.
Sangat
kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.
8.
Sangat
kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat.
9.
Mengaitkan
penfasiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial.
·
Perbedaan-perbedaan
dari ciri-ciri penafsirkan keduanya adalah:
1.
Keluasan
pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi S.a.w.
2.
Penyisipan
pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat pada
masanya. Hal ini bertujuan mengantarkan kepada penjelasan tentang petunjuk
agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan mauoun pemecahan
problema-problema yang berkembang.
3.
Keluasan
pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat. (Menafsirkan kandungan suatu
ayat dengan kandungan ayat-ayat yang lain dan Menafsirkan arti satu kata dalam
rangkaian satu ayat dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain.
4.
Keluasan
pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi, serta pengungkapan
pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.
5.
Eksplorasi Akal yang cukup Liberal
Rasyid Ridha menjelaskan sikapnya dalam menghadapi adanya pertentangan
antara naqal dengan akal, sebagai berikut (Tafsir tarkh al ustadz h. 5)
إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى طَرِيقَةِ السَّلَفِ وَهَدْيِهِمْ .
عَلَيْهَا أَحْيَا وَعَلَيْهَا أَمُوتُ إِنْ شَاءَ اللهُ - تَعَالَى ، وَإِنَّمَا
أَذْكُرُ مِنْ كَلَامِ شَيْخِنَا ، وَمِنْ كَلَامِ غَيْرِهِ ، وَمِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي
بَعْضَ التَّأْوِيلَاتِ لِمَا ثَبَتَ عِنْدِي بِاخْتِبَارِي النَّاسَ أَنَّ مَا انْتَشَرَ
فِي الْأُمَّةِ مِنْ نَظَرِيَّاتِ الْفَلَاسِفَةِ وَمَذَاهِبِ الْمُبْتَدِعَةِ الْمُتَقَدِّمِينَ
وَالْمُتَأَخِّرِينَ ، جَعَلَ قَبُولَ مَذْهَبِ السَّلَفِ وَاعْتِقَادَهُ يَتَوَقَّفُ
فِي الْغَالِبِ عَلَى تَلَقِّيهِ مِنَ الصِّغَرِ بِالْبَيَانِ الصَّحِيحِ وَتَخْطِئَةِ
مَا يُخَالِفُهُ ، أَوْ طُولِ مُمَارِسَةِ الرَّدِّ عَلَيْهِمْ ، وَلَا نَعْرِفُ فِي
كُتُبِ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ أَنْفَعَ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ النَّقْلِ وَالْعَقْلِ
مِنْ كُتُبِ شَيْخَيِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ - رَحِمَهُمَا
اللهُ - تَعَالَى - ، وَإِنَّنِي أَقُولُ عَنْ نَفْسِي : إِنَّنِي لَمْ يَطْمَئِنُّ
قَلْبِي بِمَذْهَبِ السَّلَفِ تَفْصِيلًا إِلَّا بِمُمَارَسَةِ هَذِهِ الْكُتُبِ .
“Sesungguhnya
segala puji untuk Allah, aku berada di jalan salaf dan petunjuk mereka, dan
hidup mati di atas jalan itu. Kalau pun aku meyebut-nyebut sementara
penakwilaan dari guru, dari orang lain atau dari aku pribadi adalah karena dari
hasil penelitianku di masyarakat terbukti bahwa teori-teori dari ppara filosof
dan aliran-aliran bidah, baik klasik maupun yang mutakahir telah tersair
dikalangan umat. Hal itu, tentu saja membuat ajaran dan kepercayaan Salaf hanya
dapat diterima oleh orang-orang yang memang sejak kecil sudah menerimanya melalui
informasi yang benar dan penjelasan tentang kekeliruan ajaran-ajaran yang
bertentangan dengan ajaran dan
kepercayaan tersebut, atau hanya dapat diterima oleh orang-orang yang
memang sudah lama berpolemik dengan mereka. Kita tidak mengetahui kitab-kitab yang ditulis oleh para Ulama Ahli Sunnah yang
sangat signifikan dalam memadukan antara naqal dengan akal. Keculai kitab-kitab
yang telah ditulis oleh dua orang syekh, yaitu Ibnu Taimiyyah dan Ibn Qayyim
al-Jawziyyah. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku tidak pernah dapat
menenteramkan hatiku dengan mazhab Salaf tersebut, kecuali setelah aku meguasai
isi dari kitab-kitab mereka itu.”
Dari penjelasan Ridha, tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya tokoh
pembaharuan itu mengikuti paham Salaf. Namun, dalam hal-hal tertentu, ia
melakukan penakwilan-penakwilan dengan tujuan untuk menghilangkan keraguan
sementara orang terhadap kebenaran firman Allah dan sabda Rasul-Nya, terutama
terhadap orang-orang yang memusuhi Islam dan orang-orang yang bergelut di
bidang filsafat, sains, dan lain-lain. Akan tetapi jika dilihat dari aspek
operasionalnya, sikap Ridha jauh lebih liberal dari pada sikap para pakar kalam
dan pakar-pakar tafsir. Ia kadang-kadang sangat berhati-hati dalam menerima
hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang menginformasikan hal-hal yang gaib, yang
menurut harfiahnya berlawanan dengan akal. Sebaliknya, ia tidak segan-segan
mengkritik hadis-hadis atau riwayat-riwayat tersebut dan menilainya syubhat,
mursal, dhaif, atau maudhu’, atau menakwilaknnya agar sesuai dengan pemahaman
akal. Cari iniilah yang selalu dipakainya dalam semua karya tulisnya, seperti
majalah al-Manar, tafsir al-Manar, dan al-Wahy al-Muhammadi.[47]
Tabel
I
Persamaan
dan Perbedaan Pendirian Ridha dengan Aliran-Aliran
Teologi
dalam Islam
No.
|
Pendirian
Rayid Ridha
|
Pendirian
|
|||
Mu’
|
Asy
|
Mat
|
Sal
|
||
|
Al lah memiliki sifat-sifat
yang teramat sempurna.
|
X
|
+
|
+
|
+
|
|
Sifat-sifat Mutasyabihat (Antropomorfisme):
Wajah Allah ditakwilkan, antara lain dengan keridaan
Allah
|
+
|
+
|
+
|
X
|
Mata kami ditakwilkan dengan pengawasan Allah
|
V
|
V
|
V
|
X
|
|
Tangan Allah ditakwilkan dengan Allah maha pemurah
|
V
|
V
|
V
|
X
|
|
Allah berada di langit dan di bumi ditafsirkan dengan
sifat-sifat Allah diketahui di langit dan di bumi
|
V
|
V
|
V
|
X
|
|
Allah di atas hamba-hamba-Nya ditakwilkan dengan
kekuasaan dan keunggulan Allah atas hamba-hambaNya
|
X
|
X
|
X
|
+
|
|
Allah datang kepada makhluk- makhluknya ditakwilkan
dengan perintah atau dengan azabNya yang datang kepada mereka
|
X
|
+
|
+
|
+
|
|
Allah bersemayam di atas Arsy diartikan menurut
harfiahnya
|
X
|
V
|
V
|
+
|
|
|
Allah dapat dilihat di akhirat dengan cara yang hanya
dapat diketahui Allah
|
|
|
|
|
|
Kalam Allah atau Al-Qur’an bukan mahkluk, mempunyai
huruf dan suara yang dapat didengar, namun yang sesuai dengan kemahasucian
Allah dari adnya persamaan dan kerupaanya dengan mahluk-Nya
|
|
|
|
|
Keterangan:
1. + adalah sa-ma/iden-tik
2. V adalah sejalan
3. X adalah berlawan-an[48]
Dari paparan dan bahasan tentang pendirian Ridha tentang masalah
sifat-sifat Allah dan perbandingannya dengan pendiran dari berbagai aliran
teologi dalam Islam tentang masalah yang sama dapat disimpulkan bahwa pendirian
tokoh pembaharuan itu tidak mencerminkan pendiran dari aliran teologi
tertentu dalam Islam, khusunya aliran Salafiyyah. Karena di antara
pendirian itu (a) ada yang sejalan dengan Salafiyyah, (b) ada yang sejalan
dengan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Salafiyyah, dan (c) dan adapula yang
sejalan dengan dengan Mu’tazillah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah, dan (d) ada
pula yang hanya mencerminkan pendapatnya sendiri.
Munculnya pendirian Ridha yang tidak mencerminkan aliran teologi
tertentu itu tidaklah mengherankan sebab ia sendiri sudah menjelaskan
sebelumnya bahwa metode yang digunakannya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an
dan sunah, terutama yang mengesankan antropomorfisme, pada dasarnya mengikuti
cara salaf. Namun, dalam hal-hal tertentu ia mengikuti cara khalaf, yaitu dengan
cara menakwilkan nash-nash, terutama apabila terdapat pertentangan antara akal
dengan nash-nash yang bersumber dari wahyu tersebut, apalagi jika hal-hal itu
dapat menimbulkan kesangsian orang terhadap kebenaran yang telah disampaikan
Allah dan Rasul-Nya.
6.
Penafsiran Rasyid Ridha mengenai ”Keberadan sfiat-sifat
Allah”
Sebagaiman Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Salafiyyah, Ridha juga mengakui
Allah mempunyai beberpa sifat. Pengakuannya itu dapat ditemukan secara jelas
ketika ia menafsirkan surat al-A’raf (7): 180
¬!ur
âä!$oÿôF{$#
4Óo_ó¡çtø:$#
çnqãã÷$$sù
$pkÍ5
( (#râsur
tûïÏ%©!$#
crßÅsù=ã
þÎû
¾ÏmÍ´¯»yJór&
4 tb÷rtôfãy
$tB
(#qçR%x.
tbqè=yJ÷èt
ÇÊÑÉÈ
“Hanya Allah yang memiliki al-asma al-husna. Karena itu,
berdoa lah kepadaNya dengan menyebut al-asma al-husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpng dari kebernaran dalam (menyebut) nama-naman-Nya.
Nanti, mereka akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka lakukan.”
تفسير المنار [9
/361]
وأقرب الوسائل للمخرج
منها إلى ضدها فقال :
ولله الأسماء الحسنى
فادعوه بها الأسماء جمع اسم ، وهو اللفظ الدال على الذات فقط ، أو على الذات مع صفة
من صفاتها ، سواء كان مشتقا ، كالرحمن الرحيم الخالق الرازق ، أو مصدرا ، كالرب والسلام
والعدل . والحسنى جمع أحسن ، والمعنى :
ولله دون غيره جميع
الأسماء الدالة على أحسن المعاني وأكمل الصفات ، فادعوه أي سموه واذكروه ونادوه بها
، لمجرد الثناء ، وعند السؤال وطلب الحاجات ،
Ketika menafsirkan firman Allah tersebut, Ridha antara
lain menjelaskan bahwa al-asma adalah jamak dari ism yang berarti nama. Ism
adalah lafal yang hanya menunjukan zat atau menunjukan zat bersama dalam satu
dari sifat-sifat yang dimilikinya, baik ism tersebut merupakan ism yang mustaq
maupun ism masdar. Ism mustaq adalah seperti al-Rahman (Yang Maha Pengasih),
al-Rahim (Yang Maha Penyayang), al-Khaliq (Yang Maha Pencipta), al-Razzaq (Yang
Maha Pemberi Rezeki). Ism mashdar adalah seperti al-Rabb (Yang Maha
Pemelihara), al-Salam (Yang Maha Sejahtera), dan al’Adl (Yang Maha Adil). Al-Husna
adalah jamak dari al-Asan, yang berarti yang terbaik. Dengan demikian, maksud
dari firman Allah yang menyatakan, “Hanya Allah yang memiliki al-Asma
al-Husna dan berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma itu” adalah hanya
Dia yang memiliki semua nama yang menunjukan kepada semua sifat yang paling
baik dan paling sempurna. Karena itu, kalau Anda memuji-Nya atau berdoa dan
memohon sesuatu kepada-Nya, sebutlah nama-nama-Nya yang teramat baik itu.
Selanjutnya, maksud dari firman Allah berikutnya, “dan
tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (meyebut)
nama-nama-Nya” adalah orang-orang beriman harus meninggalkan semua
orang-orang yang menyimpng dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya, bsiik
dari segi lafal-lafal-Nya maupun makna-makana yang terkandung di dalamnya atau
melanggar kesucian nama-namaNya. Misalnya, dengan cara mengubah nama-nama
tersebut, menakwilkannya, menyerupakannya dengan makhluk-Nya, menyekutikan-Nya
dengan yang lain, mendustakannya, menambah nama-nama lain yang tidak pernah
disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau mengurangi nama-nama yang telah ada,
atau menyebut Allah dengan sifat-sifat yang berlawanan dengan nama-nama-Nya
yang teramat baik itu (golongan Musyabbihah dan Jahmiyyah). Meskpun pendirian
Ridha sejalan dengan pendiran ketiga aliran yang semunya adalah Ahli Sunah itu,
tidak berarti bahwa pendapat Ridha identik dengan pendapat salah satu dari tiga
aliran teologi tersebut.[49]
Tabel II
Persamaan dan
Perbedaan Ridha dan Pendirian dari Aliran-Aliran Teologi dalam Islam
No.
|
Pendirian Rayid Ridha
|
Pendirian
|
|||
Mu’
|
Asy
|
Mat
|
Sal
|
||
|
Semua perbuatan Allah membawa
hikmah kepada manusia
|
V
|
X
|
+
|
+
|
|
Akal akan dapat mengetahui baik
dan buruk suatu perbuatan meskipun wahyu belum datang menjelaskannya
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Selama belum datang wahyu menjelaskan baik dan buruk
suatu perbuatan belum ada taklif meskipun akal sudah mengetahuinya
|
X
|
+
|
+
|
+
|
|
Allah yang menciptakan perbuatan manusia
|
X
|
+
|
+
|
+
|
|
Arti menciptakan perbuatan manusia adalah menciptakan
daya yang menyebabkan manusia dapat melakukan perbuatanya secara hakiki
|
V
|
X
|
V
|
+
|
|
Daya manusia efektif (memiliki ta’tsir) unutk melakukan
perbuatanya
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Hukum kausitas atau sunatullah adalah suatu hal yang
niscaya dan tidak pernah berubah
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Takdir Allah pasti terjadi, namun takdir itu tidak
menghalngi kebebasan manusia dalam memilih dan melakukan perbuatanya, asalkan
tidak melebihi batas kemanusiannya dan sunatullah
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Allah meberikan petunjuk dan menyesatkan manusai sesuai
dengan Sunah-Nya
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Allah tidak membebankan taklif kepada manusia kecuali
yang sesuai dengan batas kemampuannya.
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Allah akan membalas kebaikan manusia, sesuai dengan
janji dan sunah-Nya
|
+
|
X
|
+
|
+
|
|
Allah akan menghukum kejahatan manusia sesuai dengan
ancaman dan sunah-Nya
|
+
|
X
|
X
|
X
|
|
Allah tidak akan meberka syafaat, kecuali kepada
orang-orang beriman yang berhak unutk menerimanya
|
+
|
X
|
X
|
X
|
|
Mukmin yang selalu melakukan dosa besar dan tidak
betobat akan kekal di dalam neraka.[50]
|
+
|
X
|
X
|
X
|
7.
Penafsiran Rasyid Ridha tentang “Kemampuan Akal dan Wahyu”
Ketika menafsirkan surat al-A’raf (7): 33 khususnya
berkenan dengan ayat yang menyatakan:
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.Îô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ã ¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ
Katakanlah, “Tuhan
ku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan
fahisyah (buruk), baik yang tampak maupun yang tersembunyi,
perbuatan-perbuatan dosa, pelanggaran tanpa alasan yang benar, dan (Dia juga
mengharamkan) kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan
hujah untuk itu dan mengatakan hal-hal yang tidak kuketahui tentang Allah.”
Ridha
menjelaskan bahwa Fahisyah dalam tafsir al manar jilid VIII h. 351 adalah:
تفسير المنار [8 /351]
(إنما) وهي :
1 ، 2 : الفواحش
الظاهرة والباطنة - فالفواحش جمع فاحشة ، وهي الفعلة أو الخصلة التي فحش قبحها في الفطر
السليمة والعقول الراجحة التي تميز بين الحسن والقبيح والضار والنافع ، وكانوا يطلقونها
على الزنا واللواط والبخل الشديد وعلى القذف بالفحشاء والبذاء المتناهي في القبح ،
“Perbuatan
atau perilaku yang keburukannya dalam (pandangan) fitrah sehat dan akal yang
dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan antara yang bermanfaat dan
yang berbahaya sudah melebihi batas. Mereka (orang-orang Arab) menyebut zina,
homoseksual, kikir yang jelewatan batas, dan qadzaf (menuduh orang lain telah
berzina, tanpa bukti) dengan fahisyah dan ucapan yang sangat keji.”
Dari penjelasan Ridha tentang pengertian Fahisyah (perbuatan dari
perilaku yang sangat buruk dan keji) tersbut dapat diketahui bahwa tokoh
pembaharuan itu juga mengikuti bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruknya
suatu perbuatan. Pengakuannya yang lebih tegas lagi dapat diketahui pada
penafsirannya terhadap surat al-An’am (6): 151 “Demikian itulah yang telah
dipesankan Allah kepadamu. Semoga kamu memahaminya,” Ridha menjelaskan
bahwa Allah telah berpesan demikian kepadamu karena padanya terdapat kesiapanmu
dan pembangkit harapan dalam dirimu sehingga kamu dapat memikirkan mana yang membawa
kebaikan dan kemnafaatan kepadamu pada perbuatan-perbuatan itu apabila kamu
meninggalkan apa yang telah menjadi larangan-Nya dan melakukan apa yang sudah
menjadi perintahnya. Semuanya itu termasukhal-hal yang dapat diketahui oleh
akal meski hanya melalui renungan yang sangat sederhana. Pada ayat tersebut
juga terdapat bukti tentang kebaikan itu bersifat esensial dan akal mampu
mengetahuinya apabila mau memperhatiknya.[51]
Dapat dilihat bahwa pendirian Ridha tentang kemampuan akal dalam mengetahui
baik-buruknya suatu perbuatan, adanya Allah, kewajiban bersyukur kepada-Nya
yang belum ada penjelasnnya dari wahyu, bukan merupakan pendirian yang
independen, melainkan pendirian yang identik dengan pendirian Maturidiyyah dan
Slafiyyah. Dari sini juga terlihat sekali bahwa konsep teologi Ridha menghargai
akal sebagaimana Maturidiyyah dan Salafiyyah meskipun tidak setinggi
penghargaan yang diberikan Mu’tazilah.
Analisis
Fakta-Fakta:
Pemikiran Ridha tidak lepas dari pengaruh zamannya,
pada awal abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20:
-Masa kelabu dalam sejarah Arab modern.
- Kemunduran Islam dari aspek politik, agam,
sosial-budaya, dan politik
- Agama kehilangan ruhnya dan Islam hanya menjadi
simbol-simbol lahir, sebaliknya Khurafat dan takhayul berkembangan serta
tarekat sufi mendominasi Islam.
- Ilmu-ilmu agama hanya dihafalkan tanpa memahami,
terdapat juga kesulitan dalam penulisan ilmu-ilmu dalam bentuk hasyiah dan
syarah.
- Pengaruh Barat dari negara-negara imperalis: kalangan
pendidik menjauhi kajian agama, masuknya paham seperti Nasionalisme,
Sekularisme, Sosialisme, dan Komunisme. Kemudian ditambah lagi dengan
pendirian lembaga-lembaga misonaris dan lembaga pendidik Islam (berfokus
dalam dalam mempelajari Bahasa Arab), umat Islam terbelakang dalam ilmu pengetahuan
dari Kristen (Timur dan Barat).
- Mesir dalam keterpurukan pada saat Khilafah Usmaniyah
mengalami kemmunduran karena ditaklukan Eropa, kekuatan militer dan politik
menurun, Islam mundur, statis, jumud, akal diwarnai aninisme dan enggan
menggunakan akal, penguasa membiarkan rakyat menjadi bodoh.
- Napoleon menduduki Mesir 1789 M sebagai faktor
eksternal keemunduran Mesir, dan faktor internal, tidak menganut
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan terjadi bidah.
|
-Ridha adalah seorang Sunni (Asy’ariah)- Syafi’i.
-Pendidikan Ridha berawal di madrasah al-Wataniyyah
al-Islamiyyah sampai madrasah itu ditutup belaiu tetap belajar kepada
pendirinya yaitu Syekh Husain al-Jisr (Ulama yang dioegaruhi oleh ilmu-ilmu
Modern).
-Ayah dan guru-guru Ridha adalah Ulama Sunni-Syafi’i
(sebagian lulusan al-Azhar).
-Sunni Asy’ariyyah paling dekat dengan tarekat sufi,
karena berpegang pada prinsip kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan,
berpaham fatalis, dan berkeyakinan adanaya berkah pada wali-wali dan
orang-orang Shalih meskipun sudah wafat.
-Pada awalnya Ridha sudah mempraktekan tasawuf dan
kehidupan Sufi, akibat ia telah membaa kitab “Ihya Ulum al-Din” Imam
al-Ghazali.
|
Dengan
semua fenomena yang terjadi pada saat itu, sehingga menimbulkan respon dalam
menentang keadaan dengan munculnya ide-ide pembaharuan oleh cendikiawan
terpelajar Islam hasil didikan dari Eropa yang menginginkan perubahan
dilakukan secara evolutif dan perlahan-perlahan, ini lah yang dilakukan dalam
kitab Tafsir al-Manar (Majalah al-Manar dan kemudian menjadi bentuk Tafsiran
)
|
-Kesadaran Ridha dimulai setelah membaa ide-ide
pembaharuan Muhammad Abduh dan Al-Afghani di majalah “al-Urwah al-Ustwa”.
-Tersadar banyaknya bidah dan khurafat dalam tasawuf
dan tarekat, kemudian ia meninggalkan ajarn-ajaran itu dan membimbing
mastarakat pada jalan yang sebenarnya.
-Perubahannya itu terjadi setelah mempelajari
kitab-kitab hadis secara tekun,
-kemudain ia melihat Qadha dan Qadar diselewengkan
dalam kepercayaan Jabariyyah, beliau ingin merubah kepercayaan Jabariyyah
yang sedang berkembang, diubah dalam keprcayaan kebebasan manusia karena
Islam adalah agama yang dinamis.
-Ide pembaharuan membuat dia kritis pada umat Islam dan
ikut aktif dalam memajukan ide-ide tersebut dan membebaskan masyarakat dari
semua masalah itu.
-Misi yang dilaksanakan Ridha unutk mencapai visi
pembahruan tersebut terlihat jelas dengan diterbitkannya majalah al-Manar.
Tujuan majalah ini ingin melaksankan pembaharuan di bidang agama-
sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Karena melihat Islam adalah agama yang
dinamis, ajaran yang terkandung dalam kata Jihad (bersaha sesunguhnya dalam
mecurahkan segenap pikiran, kekuatan dan kemampuan unutk mencapai tujuan
pembahruan dalam masyarakat).
|
Al-Manar merupakan tafsiraan yang memiliki prinsip kemasyarakatn
sebagai bentuk respon terhadap permaslahan yang terjadi di tengah masyarakat
(al-Adab al-Ijtima’i) dengan menggunakan metode Tahlili berupa mengungkap
keindahan dan maksudnya, memperhatikan aturan-aturan al-Qur’an dan
mukjizat-Nya, menjelsakan makna-makana dan maksudnya, meperhatikan
aturan-aturan tentang kemasyarakatan, dan berusaha mengataasi persoalan yang
dihadapi umat Islam secara khusus dan umat manusia pada umunya, kemudian
corak ini berupaya menjawab keraguan-keraguan (dengan mentakwilkan) yang
dilontarkan musuh-musuh Islam tentang al-Qur’an dengan menampilkan argumen
yang kuat. Adab al-Ijtima’i dalam corak sastra adalah pengungkpaan keindahan
gaya bahasa sedangkan dalam corak sosial dalam upaya pengangkatan hukum-hukum
sosial unutk menjawab problematikan hidup yang sedang dihadapi.
|
Kesimpulan
Pemikiran dari tokoh pembaharuan Rasyid Ridha tentang masalah-masalah
teologi terdapat banyak persamaann dan keselarasan dengan pendirian aliran
Salafiyyah, tidak berarti pemikirannya itu secara keseluruhan identik dengan
pendirian Slafiyyah. Sebab, diantara pemikiran tokoh tersebut di samping ada
yang identik atau sejalan dengan pendirian Salafiyyah, juga ada yang sama dan
sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan pendirian Maturidiyah. Namun,
sedikit sekali di antara pendirianya itu yang sama atau sejalan dengan
pendirian Asy’ariyyah. Mengingat realitas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teologi
Rasyid Ridha tidak menganut teologi tertentu. Hal itu, disamping ia
seorang yang anti taklid, ia juga konsisten dengan metode berpikir yang
digunakannya dalam masalah-masalah teologi. Metode Ridha tersebut
sebagaimana yang telah diakuinya sendiri, pada dasarnya mengikuti metode salaf,
namun dalam hal-hal tertentu ia mengikuti metode khalaf dengan tujuan untuk
menghilangkan kesan pertentangan antara nash dan akal atau meghilangkan
kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nash yang telah disampaikan Allah
dan Rasul-Nya atau untuk memudahkan mereka dalam memahami nash-nash tersebut.
Pemikiran atau konsep teologi Ridha termasuk teologi rasional atau yanng
bercorak rasional, konsep teologi tersebut dapat menumbuhkan dan meningkatkan
etos kerja umat Islam, membawa pencerahan dan pembaharuan yang sesuai dengan
visi dan misi pembaharuan yang di upayakan dalam memperbaiki keadaan umat
dari ketertinggalan dan keterpurukan mereka dibidang politik, ekonomi, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kemudian menjadi umat yang merdeka dan maju sehingga
dapat seiring dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Maka tidak
heran apabila dikaitkan dengan corak dan cara Ridha menyikapi dan menafsirkan
al-Qur’an, isi dan kandungan tafsir yang Ridha susun berkait dan bahkan
diarahkan sesuai dengan kondisi yang melatar belakanginya dalam upaya
mendayagunakan al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam menghadapi berbagai
tantangan kehidupan. Di antara konsep teologinya yang dapat mebawa ke arah
peningktan etos kerja dan kemajuan itu adalah penekanannya terhadap keniscayaan
hukum kausalitas dan sunatullah, kebebasan manusia dalam berbuat an berkehendak
yang sesuai denga batas-batas kemampuannya, dan keadilan Allah dalam membalas
perbuatan-perbuatan hamba-hambanya. Karena itu, teologi dari Rasyid Ridha ini
tidak hanya relevan unutk umat Islam yang hidup pada masanya, tetapi juga masih
relevan untuk umat Islam yang hidup pada masa sekarang ini.
Pada akhirnya secara tidak langsung Rasyid Ridha ingin mengatakan kepada
kita, bahwasannya kita tidak boleh terjebak dalam kungkungan pemahaman teologi
yang kita imani. Ia mengajak kita untuk bisa menerobos batasan pemahaman, untuk
bisa memahami pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas segala permasalahan yang
terjadi ditengah masyarakat pada masa sekarang. Bersikap objektif (jujur) dan
kritis merupakan prinsip yang harus dipegang dalam pemahaman teologi, dan hal
ini tidak akan menghilangkan nilai atas pemahaman teologi yang kita imani
tetapi justru dengan melakukan hal tersebut kita bisa fleksible dalam menjawab
segala problemtika yang terjadi.
Daftar Pustaka
Athaillah, A. 2006. Konsep
Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar. Jakarta:
Erlangga.
Ridha, R. 1928. al-Manar. Jilid
ke-29. Kairo.
Shihab, Q. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka
Hidayah.
Faiz, F. 2003. Hermeuneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan
Kontektualisasi . Yogyakarta: al-Qalam.
Nasution, H. 1975. Pembaharuan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Muntaqien, I. 2008. Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir
al-Manar karya Rasyid Ridha Skripsi , Yogyakarata: UIN SUKA.
Hikmah, U. Nilai-Nilai Kesalehan Ritual dan Sosial dalam Tafsir Al-Manar
Studi Penafsiran Surat al-Baqarah (2): 177 dan Surat At-Taubah (9): 71.
Skripsi, Yogyakarata: UIN SUKA.
Saifullah. 2012. Nuansa Inkllusif dalam Tafsir al-Manar. Cet. I.
Jakarta: Lemabaga Litbang dan Diklat kementerian Agama RI.
[1]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 21.
[2]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 23.
[3]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 24.
[4]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 24.
[5]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25.
[6]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25.
[7]
Rasyid Ridha al-Manar, jilid
ke-29, (Kairo: 1928 M), h. 67.
[8]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar (Bandung: Pustaka
Hidayah, 1994) h. 67-68.
[9]
Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika
Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi (Yogyakarta: al-Qalam,
2003) h. 74.
[10]
Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika
Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi, h. 74.
[11]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 14.
[12]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, h. 72-73.
[13]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, h. 62-63.
[14]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha (Yogyakarata:
Skripsi UIN SUKA) h. 15.
[15]
Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika
Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi, h.75-76.
[16]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha (Yogyakarata:
Skripsi UIN SUKA) h. 16.
[17]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, h. 19.
[18]
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 19.
[19]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, h. 59.
[20]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, h. 61.
[21]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 28.
[22]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, h. 61.
[23]
Quraish Shihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, h. 66.
[24]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 3.
[26]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 29.
[27]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 30.
[28]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 30-31.
[29]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 31.
[30]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 31.
[31]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.
32.
[32]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, h. 66.
[33]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.
32.
[34]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 32.
[36] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir
Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.
34.
[37]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.
34.
[38]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, h. 73.
[39]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam
Islam, h. 74.
[40]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 37.
[41]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 38.
[42]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[43]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[44]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[45]
Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf
dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[46]
Lihat Muhammad Husain Az-Zahab, Al-Tafsir
wa al-Mufasirun (Beirut: Dar al-Qalam) Jilid II, hlm. 549.
[47]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 68.
[48]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 156.
[49]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 90.
[50]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 347.
[51]
A. Athaillah, Konsep Teologi
Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 188.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar