Jumat, 20 Oktober 2017

Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar)

Latar Belakang Masalah
Pembahasan teologi merupakan pembahasan yang sangat vital dalam keberagamaan. Dengan melihat bahwasannya akidah (teologi) sudah menjadi sunatullah yang terdapat  pada setiap makhluk, tertanam di dalam hati dan sangat mempengaruhi serta mendominasi perilaku seseorang, baik hal itu berupa perbuatan yang baik dan jahatnya seseorang bersumber dari baik dan rusaknya akidahnya, karena setiap perbuatan manusia tergantung atau ditentukan oleh akidahnya, kemudian tinggi dan rendahnya etos kerja seseorang atau suatu masyarakat atau suatu bangsa tergantung pada corak akidah yang mereka anut, apakah akidahnya rasional dan berwatak dinamis ataukah akidahnya tradisional dan berwatak fatalis.
Sala satu kitab tafsir yang populer dan mempunyai corak pemahaman teologi yang menarik adalah Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar). Kitab tafsir yang tidak lepas di pengaruhi oleh banyak faktor, seperti tingkat intelegensi, kecenderungan pribadi, latar belakang pendidikan, bahkan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi masyarakat pada saat itu. Tasfir al-Manar sangat mashur di kalangan para peminat studi Al-Qur’an. Majalah al-Manar, yang memuat tafsir ini secara berkala pada awal abad ke-20 dan sudah tersebar luas keseluruh penjuru dunia Islam dan mempunyai peranan yang tidak kecil dalam pencerahan pemikiran serta penyelubungan agama.
Al-Manar  adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi pada sastra-budaya dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan Al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunya Al-Qur’an yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan menegaskan bahwa agama islam adalah agama universal dan abadi yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia. Tokoh utama corak penafsiran ini serta yang berjasa meletakan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya Muhammad Rasyid Ridha yang menjadi media dan corong pembaharuan yang digulirkan oleh gurunya, Muhammad Abduh.
Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar) merupakan  hasil karya secara madiri dari tokoh pembaharuan Rasyid Ridha, tetapi dalam beberapa bagiannya merupakan hasil kerjasamanya antara Ridha dengan Gurunya, Muhammad Abduh. Berkenaan dengan pendirian Rasyid Ridha tentang masalah-masalah teologi yang berkenaan dengan zat Allah dan sifat-sifatNya serta yang berkaiatan dengan akhirat adalah pemikiran ulama salaf. Karena  Ridha adalah seorang berpaham teologi Asy’ariyyah dan Sunni yang bermazhab Syafi’i (Sunni-Salaf) yang menolak taklid dan menyerukan perlunya ijtihad. Ridha memang tidak pernah menegaskan bahwa ia menganut teologi Asy’ariyyah atau setidak-tidaknya pernah dipengaruhi oleh teologi tersebut. Dr. Muhammad ibn Abdillah al-Salamah mengatakan dalam kitabnya Al-Syaykh Rasyid Ridha al-Salafi al-Mushlih, bahwasanya Rasyid Ridha adalah seorang yang berpaham salaf reformis (pembaru). Akan tetapi, menurut Harun Nasution, meski Rasyid Ridha itu adalah seorang pemikir yang masih merujuk kepada Ibn Hanbal, Ibn Taimiyyah, dan ulama-ulama besar lain yang hidup pada masa silam, dalam masalah-masalah teologi, ia tidak menganut teologi tertentu.
Dengan perbedaan presepsi yang berbeda terhadap Rasyid Ridha dalam masalah Teologi, maka menimbulkan suatu proposisi, bagaimana sebenarnya pemikiran teologi Islam dari Rasyid Ridha dengan melihat juga bahwasanya dalam masalah teologi Ridha sedikit sekali pendiriannya terhadap Asy’ariyyah. Dengan melihat fakta ini, maka terjadi kesenjangan bahwa dia seorang Sunni tetapi sedikit sekali pendiriannya Asy’ariyyahnya dalam masalah teologi. Maka timbul pertanyaan, Apakah konsep teologi Islam menurut Rasyid Ridha itu identik dengan aliran Salafiyyah ataukah dengan aliran teologi yang lain ataukah independen? Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalah unutk mendapatkan jawaban yang tepat, sebagai berikut:
1.      Bagaimana Sketsa historis dalam penyusunan Tafsir Al-Manar?
2.      Bagaimana biografi tokoh yang menyusun kitab Tafsir Al-Manar?
3.      Apa visi dan misi yang membuat Ridha ingin memperbaiki kondisi umat di dalam kitab Tafsir al-Manar?
4.      Paradigman dan prinsip-prisnsip apa yang dibangun dalam kitab Tafsir al-Manar?
5.      Karakteristik apa yang terdapat dalam Tafsir al-Manar?
6.      Bagaimana porsi akal di dalam kitab tafsir al-Manar?
7.      Penafsiran Rasyid Ridha mengenai ”Keberadan sfiat-sifat Allah”
8.      Penafsiran Rasyid Ridha tentang “Kemampuan Akal dan Wahyu”







1.     Sketsa historis dalam penyusunan Tafsir Al-Manar
            Kedua tokoh pengarang tafsir al-Manar yaitu Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha pada dasarnya adalah anak-anak zamannya yang hidup dan berjuang serta berkarya dalam kerangka pemikiran dan kondisi zamannya. Mereka hidup pada kurun waktu antara sepertiga akhir abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20. Kurun waktu tersebut merupakan kurun waktu yang paling kelabu dalam sejarah Arab Modern jika dibandingkan dengan kurun-kurun waktu sebelumnya. Pada saat ini  juga kaum imperialis Barat telah bersekutu dengan kaum zionis internasional untuk memecah belah umat islam, membagi-bagi negeri-negeri mereka, dan merampas harta kekayaan mereka.[1] Maka tidak heran apabila dikaitkan dengan corak dan cara mereka menyikapi dan menafsirkan al-Qur’an, isi dan kandungan tafsir yang mereka susun berkait dan bahkan diarahkan sesuai dengan kondisi yang melatar belakanginya dalam upaya mendayagunakan al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Demikianlah keadaan umat Islam dilihat dari aspek politik.
Keadaan umat Islam itu semakin menyedihkan lagi jika dilihat dari aspek agama, sosial, dan budaya. Menurut Ridha sendiri, pada masanya kondisi umat Islam sudah begitu buruknya. Di samping pemerintahan-pemerintahan mereka sudah runtuh dan bangsa-bangsa mereka sudah hancur, mereka sendiri selaku umat Islam tidak dapat lagi mengetahui hakikat ajaran-ajaran agama mereka dan tidak pula mampu mengetahui ajaran-ajaran agama Islam yang dapat membawa mereka kepada kemajuan dan kehidupan yang baik di dunia. Pada masa ini agama sudah kehilangan ruhnya dan Islam hanya menjadi simbol-simbol lahir yang tidak menyentuh hati dan tidak dapat membangkitkan etos kerja. Sebaliknya, khurafat semakin mendominasi kehidupan mereka dan takhayul semakin berkembang di kalangan mereka. Tasawuf sudah menjadi permainan para badut dan agama hanya merupakan amalan-amalan lahir. Upaya yang dilakukan untuk memperoleh keberhasilan tidak lagi dengan kerja eras, tetapi dengan bertawasul kepada para wali dan mengusap kuburan-kuburan mereka.[2]
Pada kurun waktu itu, tarekat-tarekat sufi tidak hanya dapat tumbuh dan berkembang dengan pesat, tepai juga sudah menguasai masyarakat Islam, menyesatkan mereka dari agama yang benar, dan menodai keindahan ajaan-ajarannya. Bahkan, banyak di antara para pemukanya itu yang sudah menjadi penyebar bidah dan khurafat sehingga banyak orang yang mempercayai para pembohong itu memiliki keramat dan menjadi wali Allah.[3]
Di lain pihak, dalam memperlajari ilmu-ilmu agama, orang hanya dapat menghapalkannya, tetapi tidak dapat memahaminya. Kesulitan mereka dalam memahami ilmu-ilmu itu, semakin bertambah lagi, karena kitab-kitab pelajaran yang berkenaan dengan ilmu-ilmu tersebut ditulis dalam bentuk hasyiah (keterangan yang ditulis dipinggir kitab) dan syarah (keterangan yang ditulis ditengah kitab).
Bersamaan dengan fenomena tersebut diatas, telah pula muncul di kalangan orang yang berpendidikan modern fenomena menjauhi agama dan tidak tertarik untuk mempelajari akidah mereka dengan serius. Masuknya kebudayaan Barat, baik yang positif maupun yang negatif ke negeri-negeri Islam, telah pula membawa pengaruh besar dalam melahirkan dan mengembangkan sikap yang ada pada orang-orang yang berpendidikan itu. Tidak diragukan lagi bahwa negara-negara imperalis memegang peranan penting dalam memasukan kebudayaan Barat tersebut ke negeri-negeru Islam. Dengan menguasai pemikiran umat Islam, mereka akan lebih mudah mewujudkan ambisi-ambisinya. Dengan kata lain, dengan mengenalkan pemikiran yang destruktif kepada umat Islam, mereka akan mudah menanamkan kesan buruk tentang Islam di hati para pemeluknya dan merusak persatuan dan kesatuan dunia Islam. Penetrasi dengan cara tersebut merupakan senjata yang paling ampuh dalam menghancurkan umat Islam dan menggoyahkan kepercayaan mereka terhadap kemampuan diri mereka. Karena itu, tidaklah mengeherankan jika pada masa Rasyid Ridha paham-paham Barat, seperti nasionalisme, sekularisme, sosialisme, kapitalisme, dan komunisme sudah mulai memasuki pemikiran sementara umat Islam.[4]
Sala satu upaya yang cukup signifikan yang telah dilakukan oleh negara-negara imperialis dalam memengaruhi pemikiran umat Islam adalah mendirikan lembaga-lembaga misionaris dan lembaga-lembaga pendidikan di negeri-negeri Islam. Misalanya, di Libanon yang menjadi tanah air Rasyid Ridha sendiri telah banyak didirikan kedua lembaga tersebut. Ironisnya, umat Islam di Libanon memegang peranan penting dalam mempercepat penyebaran dan pendirian kedua macam lembaga itu. Hal itu karena lembaga pendidikan yang didirikan kalangan misionaris dan imprealis itu sangat mengutamakan pengajaran bahasa Arab, sedangkan lembaga pendidikan milik pemerintah Turki Usmani lebih mengutamakan pengajaran bahsa Turki dan kesusasteraannya daripada bahasa Arab. Akibatnya, banyak umat Islam Libanon meninggalkan sekolah negeri milik pemerintah dan beralih memasuki sekolah swasta milik lembaga misionaris Kristen itu.[5]
Disamping fenomena-fenomena di atas, umat Islam juga jauh terbelakang dari umat Kristen di bidang ilmu pengetahuan. Bahkan, keterbelakangan tersebut tidak hanya dari umat Kristen yang berada di Eropa, tetapi juga terbelakang dari umat Kristen yang berada di Timur Tengah dan yang hidup berdampingan dengan mereka.[6]
Menurut Rasyid Ridha, umat Islam pada masanya dapat dibagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan yang berpikir jumud. Mereka ini mengangggap bahwa ilmu agama adalah ilmu yang terdapat di dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh para pemuka mazhab-mazhab dan aliran-aliran, seperti Ahlus Sunah, Syi’ah Zaydiyyah, dan Syi’ah Itsna, Asy’ariyyah. Menurut mereka, siapa saja yang tidak mengikuti salah satu dari mazhab itu, dianggap tidak lagi berada di dalam Islam. Padahal, sebagaiman diketahui setiap mazhab atau aliran hanya mengutamakan mazhab dan alirannya. Kedua, golongan yang berkiblat kepada kebudayaan modern. Menurut mereka, syariat Islam tidak cocok lagi diterapkan untuk masa kini. Karena itu, kalau ingin maju, umat Islam harus mengikuti Eropa dalam segala hal, baik di bidang ilmu pengetahuan, hukum, dan peraturan maupun moral. Ketiga, golongan yang menginginkan pembangunan Islam. Golongan ini menyerukan kepada umta Islam agar kembali kepada Al-Qur’an dan AL-Sunnah, namun dengan penafsiran baru yang sesuai dengan kemajuan zaman, karena antara Islam dan Kebudayaan modern tidak terdapat pertentangan.[7]
            Tafsir al-Manar  pada dasarnya merupakan karya tiga tokoh Islam, yaitu Jamaluddin Al-Afghani sebagai pencetus ide pembaharuan dan menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masayarakat kepada sahabat dan muridmya, Muhammad Abduh. Oleh tokoh kedua ini gagasan-gagasan itu dicerna kemudian disampaikan melalui penafsiran al-Qur’an dan diterima oleh Rasyid Ridha yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.[8] Dalam tafsir ini termuat misi dan semangat pembaharuan para penyusunnya: khsusnya dalam rangka melakukan emansipasi agar umat Islam bangkit dari kondisi terbelakang dan kejumudannya.[9]
            Tafsir al-Manar  lahir dan disusun ketika Mesir dalam keadaan yang tidak menentu dan tidak stabil. Tafsir ini disusun ketika Khilafah Usmaniyah yang kekuasaanya meliputi Mesir mengalami kemunduran. Khilafah Usmaniyah ketika itu hanya memikirkan kekuasaan dan tidak memikirkan kehidupan sosial kemaslahatan rakyatnya, apalagi pendidikan dan pengajaran. Bahkan perhatian utamanya hanyalah terfokus pada penaklukan-penaklukan serta mengabaikan kesejahteran rakyat di bawah wilayah kekuasaannya. Akibatnya, kekhilafahan Usmaniyah secara fisik tanpak kuat, namun esensinya ia lemah karena rendahnya taraf berpikir dan tingat kesejahteraan rakyatnya.[10]
            Dizaman kemunduran ini, Khilafah Usmaniyah terpukul di Erropa. Kekuatan militer dan politik umat Islam menurun. Umat Islam dalam keadaan mundur dan statis. Pada saat itu, Eropa dengan kekayaan yang diangkut dari Amerika dan Timur jauh bertambah kaya dan maju. Penetrasi Barat yang kekuatannya meningkat, kedunia Islam, yang sedang menurun, kian mendalam dan meluas. Akhirnya Napoleon menduduki Mesir pada tahun 1789 M. Dengan jatuhnya Mesir ketangan Barat mengisafkan dunia Islam akan kelemahanya dan menyadarkan umat Islam bahwa di Barat telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Islam. Pada periode 1800-an inilah mulai timbul ide-ide pembaharuan dalam Islam.[11]
            Kemunduran Islam yang terjadi di Mesir pada waktu itu disebabakan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal diantaranya yaitu datangnya imperialis peranci di bawah pemimpin Napoleon seperti tersebut diatas, kemudian disusul Inggris. Sedangkan faktor internal terjadi dari diri umat Islam sendiri yaitu karena mereka tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Banyak terjadi bid’ah-bid’ah yang menyelewengkan jauh dari Islam.[12] Menurut Abduh dalam bukunya al-Islam Din al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, kondisi sebagian besar umat Islam saat itu adalah dalam keadaan jumud. Statis dan tidak berkembang. Di sisi lain, adat dan tradisi akal umat Islam yang diwarnaii oleh aninisme dan keengganan pemakian akal turut pula mempengaruhi kemunduran tersebut. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan adanya penguasa yang sengaja membiarkan rakyat buta huruf agar bodoh dan mudah diperintah.[13] Meskipun demikian, lambat laun kesadaraan akan ketertinggalan ini mulai disadari, khususnya setelah munculnya kaum cendikiawan dan terpelajar hasil didikan Dari Barat yang membawa misi pembaharuan untuk menyelesaikan umat Islam dari kemunduran dan keterpurukannya.[14]
            Di Mesir muncul golongan reformasi dan pembaharuan dari para pelajar, baik yang dididik di dalam negeri maupun yang menempuh pendidikan di luar negeri. Ada dua pandangan dari kalangan ini, pertama, mereka yang menginginkan pembaharuan dilakukan secara evolutif dan pelan-pelan dengan fokus pertama adalah meratkaan pendidikan di kalangan bangas Mesir agar mereka tahu tentang hak dan kewajiban mereka. Dan kedua, mereka yang menginginkan perubahan secara revolusioner dan cepat, diantaranya dengan mengajukan dijaminnya kebebasan individu dan politik bagi setiap warga negara.[15] Pengarang tafsir al-Manar dikategorikan sebagai pembahruan yang ingin merubah secara pelan-pelan dan evolutif. Diantatanya dengan cara melalui media tulis majalah al-Manar yang kemudian selanjutnya menjadi satu bentuk tafsir al-Manar yang kemudian selanjutnya menjadi suatu bentuk tafsir al-manar sebagai yang dikenal sekarang.[16]

2.     Penyusunan Tafsir Al-Manar: Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Muhammad Abduh sebagai tokoh yang mempunyai ide pembaharuan yang mana ide tersebut memiliki fokus pemikiran yang menjadi tujuan dari sekian pengembaraan ilmiah Muhammad Abduh. Dapat dijelaskan disini, paling tidak ada dua persoalan yang menajdi fokus pemikiran Abduh, sebagaimana diakuinya sendiri. Kedua persoalan tersebut adalah:
  1. Membebaskan akal pikiran dari belenggu-belenggu taqlidi yang menghambat perkembangan pegetahuan agama sebagaimana para salaf al-Ummad,[17] sebelum timbulnya perpecahan; yakni memahami langsung dari sumber pokoknya, yaitu alQur’an.
  2. Memperbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunkan dalam percakapan ressmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.
Namun para pengamat, setelah memperhatikan karya-karya tulis dan sikap-sikap Abduh, menyatakan bahwa di balik dua hal yang disebutkannya itu terdapat sekian banyak hal yang menjadi tujuan utama pemikiran-pemikirannya. Tujuan-tujuan tersebut antara lain: (a) Menjelaskan hakikat agama Islam yang murni, dan (b) Menghubungkan ajaran-ajaran tersebut dengan menyesuaikan penafsirannya dengan kehidupan masa kini. Pengamat lain menilai bahwa apa yang digunakan Abduh tersebut, pada hakikatnya, bertujuan untuk memperkukuh segi-segi mental spritual kaum Muslimin dengan jalan menghilangkan kecemasan yang meliputi pikiran mereka pada saat perubahan sosial yang dialami oleh masyarakat abad ke 19. Kedua fokus tersebut akan ditemukan secara jelas dalam penafsiran-penafsiran Abduh terhadap ayat-ayat al-Qur’an.[18]
Muhammad Rasyyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha adalah murid sekaligus sahabat Muhammad Abduh yang terdekat. Nama lengkap beliau adalah Muhammad Rasyid Ridha Ibnu ‘Ali Ridha Ibnu Muhaammad Syamsuddin Ibnu Sayyid Baha’uddin Ibnu Sayyid Manlan ‘Ali Khaliffah al-Baghdadi. Ia dilahirkan di Qalmun, suatu kampung sekitar 4 km dari Tripoli, Libanon pada 27 Jumadil Ula 1282 H. Dia adalah bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari sayyidina Husain, putra ‘Ali bin Abi Thalib dan Fatimah.[19]
Semasa kecil ia dimasukan ke madrasah tradisional di Qalum untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia meneruskan belajar di Madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Di madrasah ini, selain bahasa Arab, juga diajarkan bahasa Turki dan Perancis serta pengetahuan-pengetahuan modern disamping pengetahuan-pengetahuan agama. Sekolah ini dikategorikan sebagai sekolah formal yang cukup maju yang didirikan oleh Syaikh Hussain al-Jisr. Menurut al-Jisr, umat Islam tidak akan baik dan maju kecuali jika mereka mempelajari ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu pengetahuan umum secara terpadu dengan menggunakan metode yang biasa dipakai oleh orang-orang Eropa dan melaksanakan pendidikan Islam secara nasional.
Pada tahun 1314 H/ 1978 M, Syaikh Husain al-Jisr memberikan ijazah dalam bidang ilmu-ilmu agama, bahasa dan filsafat kepada Rasyid Ridha. Sekolah ini didirikan oleh Syaikh Husain al-jisr, seorang ulama yang telah dipengaruhi oleh ilmu-ilmu modern. Di masa itu, sekolah-sekolah misi kristen telah mulai bermunculan di Suriah dan banyak menarik perhatian orang tua untuk memasukan anak-anak mereka belajar disana. Dalam usaha menandingi daya tarik sekolah-sekolah misi inilah maka Syaik Husain al-Jisr mendirikin Sekolah Nasional Islam tersebut. Karena mendapat tantangan dari pemerintah khilafah Usmaniyah, umur sekolah ini tidak panjang.[20]
Setelah Madrasah Wataniyyah ditutup, Ridha melanjutkan pelajarannya di madrasah diniyyah (sekolah agama) yang lain. Di samping itu, meskpiun Madrasah Wathniyyah sudah ditutup, Ridha tetap belajar pada Syekh al-Jisr, baik di Madrasah Rahibiyyah maupun di rumah gurunya.[21]
Di samping Al-Afgani dan Muhammad Abduh serta Syaikh Husain al-Jisr, guru-guru beliau masih banyak lagi. merekalah juga yang memberi warna dan pengaruh terhadap pemikiran-pemikiran Rasyid Ridha selanjutnya meski tidak sebesar ketiga gurunya diatas. Guru-guru tersebut diantaranya:
  1. Syaikh Muhammad Nasyabah, seorang ahli dalam bidang hadis yang mengajarkan sampai selesai dan memperoleh ijazah. Karena jasanya lah Rasyid Ridha mampu memilai hadis-hadis yang da’if dan maudu sehingga ia digelari oleh teman-temannya sebagai Volontaire-nya kaum Muslimin karena keahlianya menggoyahkan segal sesuatu yang tidak benar dalam bidang agama.
  2. Syaikh Muhammad al-Qawijiy, seorang ahli hadis yang mengajarkan salah satu kitab karangannya dalam bidang hadis.
  3. Syaikh ‘Abdul Ghani ar-Rafi’, yang mengajarkan sebagaian dari kitab hadis Nail al-Autor.
  4. Al Ustadz Muhammad Hussaini.
  5. Syaikh Muhammad Kamil ar-Rafi’

Rasyid ridha selalu hadir dalam diskusi mereka sebagaimana tentang ilmu ushul dan Logika.[22] Rasyid Ridha wafat dalm perjalanan pulang dari Suez setelah mengantar pangeran Sa’ud  al-faishal. Mobil yang dikendarinya mengalami kecelakaan dan ia menderita gegar otak. Peristiwa itu terjadi pada 23 Jumadil Ula 1354 bertepatan dengan 22 Agustus 1935 M. Beliau meninggal dengan wajah yang sangat cerah dan disertai senyuman.[23]
Mengenai perdebatan siapa yang lebih pantas mendapat penisbatan sebagai pengarang tafsir al-Manar, kebanyakan para ulama menisbatkan tafsir al-Manar kepada Rasyid Ridha. Meskipun Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surat al-Fatihah sampai dengan surat an-Nisa ayat 125. Setelah gurunya wafat kemudian Rasyid Ridha menafsirkan al-Qur’an secara sendirian yang pada garis besarnya mengikuti metode yang digunakan Abduh sampai dengan surat Yusuf 110. Tafsir Al-Qur’an karya Ridha tidak hanya menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, tetapi menjadi media yang corong pembaharuan yang digulirkan gurunya, Muhammad Abduh. Tafsir Al-Qur’an karya Rasyid Ridha ini berjudul Tafsir al-Qur’an al-Hakim, mencangkup tafsir surat al-Fatihah hingga surat yusuf (12): 110. Namun, karena tafsir tersebut pada mulanya dipublikasikan secara berkala di dalam majalah al-Manar, tafsir Ridha kemudian lebih populer dengan nama tafsir al-Manar ketimbang nama aslinya, Tafsir Al-Qur’an al-Hakim. Meskipun tafsir al-Manar ini adalah hasil karya tulis Rasyid Ridha, bagian pertamanya, yaitu dari surat al-Fatihah sampai dengan surat al-Nisa (4): 125 merupakan kerjasama antara dia dengan gurunya, Muhammad Abduh, sedangkan bagian keduanya, yaitu dari surat an-Nisa (4): 126 sampai dengan surat Yusuf (12): 110 adalah hasil karyanya secara mandiri.[24]
Oleh karena itu, tafsir al-Manar yang terdiri dari 12 jilid lebih pantas untuk dinisbatkan kepada Rasyid Ridha. Sebab disamping lebih banyak yang ditulisnya baik dari segi jumlah ayat maupun halamannya, juga karena dalam penafsiran surat al-Fatihah dan al-Baqarah serta an-Nisa ditemui pula pendapat-pendapatnya yang ditandai dengan kata Aqulu sebelum menguraikan pendapatnya.[25]

3.     Visi dan Misi Ridha dalam memperbaiki Kondisi Umat
Menurut Ridha, seperti yang dikutip oleh Muhammad ibn ‘Abdillah al-Salaman bahwa ayahnya, al-Sayyid ‘Ali Ridha, adalah seorang Sunni yang bermazhab Syafi’i. Guru-gurunya juga adalah ulama-ulama Sunni yang bermaazhab Syafi’i. Disamping mereka juga adalah orang-orang yang menggandurngi tasawuf. gurunya, Syekh Husayn al-Jisr meski seorang ulama yang berpikir modern adalah juga seseorang pemimpin tarekat Khalwatiyyah dan gurunya al-Qawaqiji adalah seorang pengikut tarekat Syadziliyyah.[26]
Yang dimaksud Sunni di sini, di samping sebagai lawan Syi’ah dan Mu’tazilli, juga berarti meganut paham Asy’ariyyah. Dengan demikian, ayah dan guru-guru Ridha’ adalah orang-orang yang menganut paham Maturidiyyah atau paham salafiyyah.
Dikatakan demikian, karena orang-orang Sunni yang bermazhab Syafi’i pada umumnya menganut Asy’ariyyah, orang-orang Sunni yang bermazhab Hanafi pada umumnya menganut paham Maturidiyah, dan orang-orang Sunni yang bermazhab Hanbali menganut paham tersendiri yang khas Hanbali. Yaitu paham Salafiyyah, dan orang-orang yang bermazhab maliki di samping ada yang menganut paham Asy’ariyyah, ada pula yang menganut paham Salafiyyah. Dari ketiga aliran teologi tersebut, aliran Asy’ariyyah merupakan aliran yang paling akrab dengan tarekat-tarekat sufi. Hal itu karena keduanya sama-sama berpegangan pada prinsip kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpaham fatalis, dan berkeyakinan adanya berkah pada wali-wali dan orang-orang saleh meskipun mereka sudah wafat. Selain itu, keempat guru Ridha di atas adalah lulusan al-Azhar, sedangkan teologi yang diajarkan di lembaga pendidikan Islam yang tertua itu sejak beberapa abad yang lalu sampai sekarang ini adalah teologi Asy’ariyyah atau setidak-tidaknya banyak dipengaruhi oleh teologi tersebut. Syekh Husayn al-Jisr sendiri telah menyusun sebuah kitab teologi yang bejudul al-Hushun al-Hamidiyyah li Muhafazhah al-Aqidah al-Islamiyyah. Meskipun kitab kitab yang disusun unutk dipersembahka n kepad Sultan ‘Abdullah tersebut sudah disusun dengan metode yang jauh lebih baik dari pada metode yang dipakai pada masa-masa sebelumnya, isinya tidak lepas dari pengaruh teoligi Asy’ariyyah.[27]
Oleh karena ayah dan guru-guru Ridha adalah orang-orang Asy’ariyyah yang bermazhab Syafi’i dan menyenangi tasawuf, tidaklah mengherankan jika ia dididik oleh mereka untuk menjadi seorang Sunni-Asy’ariyyah yang bermazhab Syafi’i, dan menyenangi tasawuf seperti mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ridha tidak pernah menegaskan bahwa ia menganut teologi Asy’ariyyah atau setidak-tidaknya pernah dipengaruhi oleh teologi tersebut. Disamping itu, Ridha juga pernah menjelaskan bahwa pada mulanya ia tidak hanya menyenangi tasawuf tetapi sudah mempraktekkan kehidupan sufi, seperti tekun melaksankan ibadah, membaca Dala’il al-Khayrat dan wirid-wirid, terutama yang berasal dari tarekat Naqsyabandiyyah, serta aktif melaksanakan riyadhah (latihan). Yang biasa dilakukan pala salik, seperti hidup sederhana, menghindari makanan dan minuman yang lezat, serta tidur dengan tidak beralaskan kasur.[28]
Menurut Rasyid Ridha, kecenderungannya kepada kehidupan sufi semkain kental setelah ia membaca iIhya’ ‘Ulum al-Din  yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali. Kitab tersebut katanya tidak hanya telah menarik minatnya untuk berulangkali membacanya, tetapi juga telah menjadi gurunya yang pertama dalam membentuk kepribadiannya. Sewaktu dalam pengaruh al-Ghazali itulah, kata Ridha, ia mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, mengamalkan ajaran-ajarannya, dan melaksanakan latihan-latihan ‘uzlah yang sangat berat.[29]
Beberpa tahun kemudian setelah tekun menjalani kehidupan sufi dan mengamalkan ajaran-ajaran tarekat, Ridha menyadari banyaknya bidah dan Khurafat yang terdapat dalam ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat tersebut. Karena itu, ajaran-ajaran tersebut ditinggalkannya. Bahkan, sikapnya terhadap ajaran-ajaran tasawuf dan tarekat, tidak hanya sampai di situ, tetapi ia juga berupaya membimbing masyarakatnya agar meninggalkan ajaran-ajaran yang telah bercampur baur dengan bidah dan khurafat tersebut. Upaya-upaya yang telah dilakukannya, antara lain membuka pengajian untuk kaum pria dan pengajian unutk kaum wanita, menebang pohon-pohon yang dianggap keramat dan membawa berkah, dan melarang masyarakat mencari berkah dari kuburan-kuburan para wali atau bertawasul dengan para wali yang telah wafat.[30]
Perubahan sikap Ridha terhadap ajaran tasawuf dan tarekat baru muncul setelah ia mempelajari kitab-kitab hadis dengan tekun. Perubahan sikapnya terhadap ajaran-ajaran tersebut semakin terlihat dengan jelas setelah ia terpengaruh oleh ide-ide pembaharuan al-Afghani dan Abduh yang dimuat dalam majalah al-Urwah al-Wustqa yang mereka terbitkan di Paris, Perancis.[31]
Ridha mulai membaca majalah tersebut ketika ia masih belajar di Tripoli dan ketika majalah tersebut sudah berhenti terbit. Dalam al-Urwah al-Wutsqa, dijelaskan bahwa kepercayaan kepada qadha dan qadar telah diselewengkan menjadi kepercayaan Jabbariyyah, padahal kepercayaan kepada qadha dan qadar itu mengandung unsur dinamis yang membuat umat Islam pada zaman klasik dapat membawa Islam sampai ke Spanyol dan dapat melahirkan peradaban yang tinggi. Karena itu, kepercayaan Jabbariyyah harus diubah menjadi kepercayaan kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat. Kepercayaan itulah yang akan melahirkan kembali dinamika umat Islam.[32]
Menurut Rasyid Ridha, kalau kitab Ihya ‘Ulum al-Din telah membuatnya cenderung kepada kehidupan sufi dan mendorongnya untuk membimbing umat kepada kehidupan yang saleh, majalah al-‘Urwah al-Wustqa telah membuatnya bersikap kritis terhadap keadaan umat Islam dan mendorongnya unutk ikut aktif dalam memajukan dan melepaskan mereka dari belenggu penjajahan.[33]
Dari pernyatan Ridha tersebut dapat diketahui bahawa visinya pada mulainya adalah umat Islam harus menjadi umat yang saleh. Namun, kemudian umat Islam harus menjadi umat yang merdeka dari belenggu penjajahan dan menjadi umat yang maju sehingga dapt bersaing dengan umat-umat lain dan bangsa-bangsa Barat di berbagai bidang kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Terlebih lagi pertemuanya yang kedua dengan Muhammad Abduh pada 1885, pengaruh ide pembaharuan yang telah digulirkan oleh al-Afghani dan Abduh itu semakin mendalam pada diri Ridha. Ide-ide pembaharuan yang selaras dengan visinya itu kemudian diterapkannya di tempat kelahirannya. Namun, karena mendapat tantangan dari penguasa setempat, Ridha berhijrah ke Mesir dan bergabung dengan Muhammad Abduh dalam meperjuangkan pembaharuan pada 1313 H/ 1898 M, tidak lama setelah menyelesaikan studinya di Tripoli. Di Mesir, Ridha tidak hanya menjadi murid terdekat Abduh, tetapi juga menjadi mitra, penerjemah, dan pengulas pemikiran-pemikirannya. Beberapa bulan setelah menetap di Mesir, Ridha mulai menerbitkan majalah al-Manar (Mercusuar) dengan persetujuan Abduh. Majalah itu dipersiapkan untuk menjadi media dan corong bagi gerakan pembaharuan Islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka dari belnggu penjajahan.[34]
Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 Syawwal 1315 H/ 15 Maret 1898 M. Pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam seminggu, kemudian setengah bulan sekali, kemudian sebulan sekali, dan kadang-kadang sembilan nomor dalam setahunnya. Majalah itu dapat diterbitkan Ridha seorang diri hingga akhir hayatnya. Apa yang telah dilakukan oleh Ridha merupakan prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar terbit, sebanyak 34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya. Setelah Ridha wafat, masih ada upaya dari kalangan keluarga dan sahabatnya untuk meneruskan penerbitan majalah tersebut. Namun, mereka hanya mampu menerbitkannya sebanyak dua nomor, kemudian dihimpun menjadi jilid ke-35.[35]
Sesuai dengan visinya diatas, maka misi yang dilaksanakan Ridha untuk mencapai visi tersebut terlihat dengan jelas pada tujuan diterbitkannya majalah al-Manar. Pada nomor perdananya dijelaskan bahwa tujuan majalah tersebut antara laian melaksanakan pembaharuan di bidang agama, sosial, dan ekonomi; menjelaskan bukti-bukti kebenaran Islam dan keserasiannya dengan kemajuan zaman; meneruskan cita-cita al-Urwah al-Wutsqa,  memberantas bidah, khurafat, takhayul, kepercayaan jabar dan fatalis, paham-paham yang keliru tentang qadha dan qadar; praktik-pratik bidah atau sesat yang terdapat dalam tarekat-tarekat sufi; meningkatkan mutu pendidikan Islam; dan memacu umat Islam agar dapat mengejar umat-umat lain dalam berbagai bidang yang diperlukan unutk mencapai kemajuan dan kesejahteraan umat.[36]
Sesuai dengan tujuan tersebut, maka majalah al-Manar memuat dan mempublikasikan banyak ide pembaharuan al-Afghani, Abduh, dan juga Ridha. Ide pembaharuan Ridha pada prinsipnya tidak berbeda dengan ide pembaharuan dari para gurunya., Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-Afghani.[37]
Bidah lain yang ditentang keras oleh Ridha adalah ajaran para syekh tarekat tentang tawakal, tawasul, dan kepatuhannya yang berlebihan kepada para syekh dan wali.[38] Selain itu, Ridha juga mengatakan bahwa salah satu sebab kemunduran umat Islam adalah sudah membudaya paham Jabbariyyah (fatalis). Sebaliknya salah satu sebab kemajuan banngsa-bangsa Eropa adalah sudah membudaya paham ikhtiar (dinamis). Padahal, Islam sendiri sebenarnya berisi ajaran yang mendorong umatnya agar bersifat dinamis. Ajaran tersebut terkandung dalam kata jihad, yang berarti berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam mencurahkan segenap pikiran, kekuatan, dan kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang mulia, dan berani berkorban, baik dengan harta benda maupun dengan jiwa raga.[39]
Untuk menyebarkan ide-idenya itu, Ridha tidak hanya berjuang melalui tulisan-tulisannya di majalah al­-Manar, dan lainya, tetapi juga melalui pendidikan, dakwah, dan politik praktis. Untuk aktifitasnya di tiga bidang ini, ia sempat delapan kali ke luar negeri dan sempat mendirikan sebuah Madrasah al-Irsyad wa al-Da’wah, sebuah lembaga pendidikan Islam yang bertujuan melahirkan kader-kader juru dakwah yang tangguh. Para alumninya dikirim keberbagai negeri Islam yang membutuhkan tenaga mereka dalam menghadapi aktifitas kaum misionaris Kristen. Untuk mewujudkan visi dan misinya itu, bukanlah perkerjaan yyang mudah bagi Ridha. Menurut Edward Mortimer, untuk itu ia harus berjuang di dua front pertempuran. Di front pertama, ia harus berjuang melawan paham tradisonal dan skolastik dan kelemahan kaum Muslim dan kemenangan-kemenangan musuh-musuh mereka. Di front kedua, ia harus berjuang melawan musuh-musuh mereka sendiri.[40]
Setelah berjuang dengan segala kecerdasan dan kemampuan yang ada padanya untuk kemajuan dan kejayaan Islam dan umatnya, Ridha berpulang ke rahmatullah dalam usia 70 taun pada kamis, 23 Jumadil al-Ula 1345 H/ 22 Agustus 1935 M dengan meninggalkan beberapa karya tulils yang sangat berharga. Karya-karyanya itu, antara lain, majalah al-Manar sebanyak 34 jilid, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar) sebanyak 12 jilid, al-Fatawa sebanyak enam jilid, Tarikkh al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad Abduh sebanyal tiga jilid. Disamping itu, kata Mortimer, Ridha juga adalah seorang pemikir yang telah meninggalkan pengaruh pada masanya dan pada abad ke-20 ini dengan para pengikut yang tersebar dari Maroko di Afrika Utara sampai ke Indonesia di Asian Tenggara. Terlebih lagi dibidang tafsir, pengaruh Ridha terhadap para penulis tafsir sesudahnya sangat signifikan. Pengaruh tersebut tercermin dengan jelas pada kitab-kitab tafsir yang mereka tulis. Misalnya saja, tafsir al-Maraghi karya Ahmad Mushthafa al-Maraghi, tafsir al-Farid karya Muhammad Abdulmu’in al-Jamal, Tafsir al-Wadhih karya Mahmud al-Hijazi, tafsir al-Muniri dan al-Tafsir al-Wajiz ‘ala Hamisy al-Qur’an al-Kharim (keduanya) karya Dr. Wahbah al-Zuhayli, Tafsir al-Azhar  karya Hamka, Tafsir al-Nur karya al-Shiddieqy, Tafsir Al-Qur’an-Karim karya A. Halim dkk, dan Al-Qur’an dan Tafsirnya  karya Dewan Penyelenggara Penfasir Al-Qur’an dari Departemen Agama RI.[41]

4.     Karakteristik Tafsir al-Manar
Ciri-ciri penafsiran dalam tafsir al-Manar bisa di identifikasi dengan mengatahui metode penafsiran dan corak penafsiran kitab tafsir. Al-Farmawi mengatakan bahwa studi atas hasil karya penfasiran para ulama sekarang ini, secara umum, menunjukan bahwa mereka menggunakan metode-metode penafsiran tahlili, ijmali, muqaran  dan maudu’i.[42]
Dari keempat metode ini, tafsir al-Mannar mengambil metode tahlili. Metode ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara meneliti semua aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya, dimulai dari uraian makan kosakata, makna kalimat, maksud setiap uangkapan, kaitan antara pemisah (munasabat) sampai sisi-sisi keterkaitan antarpemisah itu (wajh al-Munasabat) dengan bantuan Asbab al-Nuzul, riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Muhammad, sahabat dan tabi’in. Metode ini terkadang menyertakan pula perkembangan kebudayaan generasi Nabi sampai dengan tabi’in; terkadang pula diisi dengan uraian kebahasaan dan materi-materi khusus lainnya yang kesemuanya ditujukan unutk memahami al-Qur’an.[43]
Dari segi corak penafsiran al-Farmawi menjelaskan, tafsir al-Manar termasuk tafsir yang menggunakan corak al-Adab al-ijtima’i  berupa menyingkap keindahan bahasa al-Qur’an dan mukjizat-mukzijatnya; menjelsakan makna-makna dan maksud-maksudnya; meperlihatkan aturan-aturan al-Qur’an tentang kemasyarakatan; dan berusaha mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan umat manusia pada umumnya.[44]
Corak penafsiran ini pun berupaya menunjukan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yang Shlih li kullli Zaman wa Makan. Disamping itu, corak tafsir ini berupaya menjawab keraguan-keraguan yang dilontarkan musuh-musuh Islam tentang al-Qur’an dengan menampilkan argumen-argumen yang kuat.[45] Quraish Shihab menambahkan, paling tidak ada empat unsur tasfir yag memakai corak Adab al-Ijtima’i  ini. Corak sastra terlihat dengan jelas dalam upaya pengungkapan keindahan gaya bahasa yang dipakai al-Qur’an dan upaya untuk mengungkap aspek-aspek kemukjizatan dan kedalaman makna yang dikandungnya. Sedangkan dari segi corak sosial nampak pada upaya pengangkatan hukum-hukum sosial dari al-Qur’an untuk dijadikan terapi dalam penyembuhan umat dari penyakit-penyakit yang dideritanya serta dalamupaya pemecahan problematika hidup yang sedang dihadapi.[46]
Dari paparan di atas secara umum tafsir al-Manar mencangkup semua karakteristik di atas dengan masing-masing pengarang tafsir ini yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha mempunyai karakteristik penafsiran yang hampir sama pula. Meskipun secara detail ternyata ada beberapa perbedaan yang tidak esensial bagi warna tafsir al-Manar. Kedua pengarang inilah yang membentuk karakteristik dalam tafsir al-Manar dengan segala kelebihan dan kekeranganya.
·         Persamaan-persaman dari ciri-ciri penfasiran kedua tokoh tersebut diantaranya:
1.      Menganggap satu surat sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
2.       Ayat-ayat al-Qur’an bersifat umum.
3.      Al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum.
4.      Pengunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an
5.      Menentang dan memberantas taqlid.
6.      Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubbham (tidak jelas), atau sepintas lalu, oleh al-Qur’an.
7.      Sangat kritis dalam menerima hadis-hadis Nabi Saw.
8.      Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak Israiliyat.
9.      Mengaitkan penfasiran al-Qur’an dengan kehidupan sosial.

·         Perbedaan-perbedaan dari ciri-ciri penafsirkan keduanya adalah:
1.      Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis Nabi S.a.w.
2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat pada masanya. Hal ini bertujuan mengantarkan kepada penjelasan tentang petunjuk agama, baik yang menyangkut argumentasi keyakinan mauoun pemecahan problema-problema yang berkembang.
3.      Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat. (Menafsirkan kandungan suatu ayat dengan kandungan ayat-ayat yang lain dan Menafsirkan arti satu kata dalam rangkaian satu ayat dengan kata yang sama pada ayat-ayat yang lain.
4.      Keluasan pembahasan kosakata dan ketelitian susunan redaksi, serta pengungkapan pendapat-pendapat ulama dalam bidang tersebut.


5.     Eksplorasi Akal yang cukup Liberal
Rasyid Ridha menjelaskan sikapnya dalam menghadapi adanya pertentangan antara naqal dengan akal, sebagai berikut (Tafsir tarkh al ustadz h. 5)
إِنَّنِي وَلِلَّهِ الْحَمْدُ عَلَى طَرِيقَةِ السَّلَفِ وَهَدْيِهِمْ .
عَلَيْهَا أَحْيَا وَعَلَيْهَا أَمُوتُ إِنْ شَاءَ اللهُ - تَعَالَى ، وَإِنَّمَا أَذْكُرُ مِنْ كَلَامِ شَيْخِنَا ، وَمِنْ كَلَامِ غَيْرِهِ ، وَمِنْ تِلْقَاءِ نَفْسِي بَعْضَ التَّأْوِيلَاتِ لِمَا ثَبَتَ عِنْدِي بِاخْتِبَارِي النَّاسَ أَنَّ مَا انْتَشَرَ فِي الْأُمَّةِ مِنْ نَظَرِيَّاتِ الْفَلَاسِفَةِ وَمَذَاهِبِ الْمُبْتَدِعَةِ الْمُتَقَدِّمِينَ وَالْمُتَأَخِّرِينَ ، جَعَلَ قَبُولَ مَذْهَبِ السَّلَفِ وَاعْتِقَادَهُ يَتَوَقَّفُ فِي الْغَالِبِ عَلَى تَلَقِّيهِ مِنَ الصِّغَرِ بِالْبَيَانِ الصَّحِيحِ وَتَخْطِئَةِ مَا يُخَالِفُهُ ، أَوْ طُولِ مُمَارِسَةِ الرَّدِّ عَلَيْهِمْ ، وَلَا نَعْرِفُ فِي كُتُبِ عُلَمَاءِ السُّنَّةِ أَنْفَعَ فِي الْجَمْعِ بَيْنَ النَّقْلِ وَالْعَقْلِ مِنْ كُتُبِ شَيْخَيِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَةَ وَابْنِ الْقَيِّمِ - رَحِمَهُمَا اللهُ - تَعَالَى - ، وَإِنَّنِي أَقُولُ عَنْ نَفْسِي : إِنَّنِي لَمْ يَطْمَئِنُّ قَلْبِي بِمَذْهَبِ السَّلَفِ تَفْصِيلًا إِلَّا بِمُمَارَسَةِ هَذِهِ الْكُتُبِ .

Sesungguhnya segala puji untuk Allah, aku berada di jalan salaf dan petunjuk mereka, dan hidup mati di atas jalan itu. Kalau pun aku meyebut-nyebut sementara penakwilaan dari guru, dari orang lain atau dari aku pribadi adalah karena dari hasil penelitianku di masyarakat terbukti bahwa teori-teori dari ppara filosof dan aliran-aliran bidah, baik klasik maupun yang mutakahir telah tersair dikalangan umat. Hal itu, tentu saja membuat ajaran dan kepercayaan Salaf hanya dapat diterima oleh orang-orang yang memang sejak kecil sudah menerimanya melalui informasi yang benar dan penjelasan tentang kekeliruan ajaran-ajaran yang bertentangan dengan ajaran dan  kepercayaan tersebut, atau hanya dapat diterima oleh orang-orang yang memang sudah lama berpolemik dengan mereka. Kita tidak mengetahui kitab-kitab  yang ditulis oleh para Ulama Ahli Sunnah yang sangat signifikan dalam memadukan antara naqal dengan akal. Keculai kitab-kitab yang telah ditulis oleh dua orang syekh, yaitu Ibnu Taimiyyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyyah. Aku berkata kepada diriku sendiri bahwa aku tidak pernah dapat menenteramkan hatiku dengan mazhab Salaf tersebut, kecuali setelah aku meguasai isi dari kitab-kitab mereka itu.”
Dari penjelasan Ridha, tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya tokoh pembaharuan itu mengikuti paham Salaf. Namun, dalam hal-hal tertentu, ia melakukan penakwilan-penakwilan dengan tujuan untuk menghilangkan keraguan sementara orang terhadap kebenaran firman Allah dan sabda Rasul-Nya, terutama terhadap orang-orang yang memusuhi Islam dan orang-orang yang bergelut di bidang filsafat, sains, dan lain-lain. Akan tetapi jika dilihat dari aspek operasionalnya, sikap Ridha jauh lebih liberal dari pada sikap para pakar kalam dan pakar-pakar tafsir. Ia kadang-kadang sangat berhati-hati dalam menerima hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang menginformasikan hal-hal yang gaib, yang menurut harfiahnya berlawanan dengan akal. Sebaliknya, ia tidak segan-segan mengkritik hadis-hadis atau riwayat-riwayat tersebut dan menilainya syubhat, mursal, dhaif, atau maudhu’, atau menakwilaknnya agar sesuai dengan pemahaman akal. Cari iniilah yang selalu dipakainya dalam semua karya tulisnya, seperti majalah al-Manar, tafsir al-Manar, dan al-Wahy al-Muhammadi.[47]
Tabel  I
Persamaan dan Perbedaan Pendirian Ridha dengan Aliran-Aliran
Teologi dalam Islam
No.
Pendirian Rayid Ridha
Pendirian
Mu’
Asy
Mat
Sal
  1.  
Al lah memiliki sifat-sifat yang teramat sempurna.
X
+
+
+
  1.  
Sifat-sifat Mutasyabihat (Antropomorfisme):
Wajah Allah ditakwilkan, antara lain dengan keridaan Allah
+


+
+
X
Mata kami ditakwilkan dengan pengawasan Allah
V
V
V
X
Tangan Allah ditakwilkan dengan Allah maha pemurah
V
V
V
X
Allah berada di langit dan di bumi ditafsirkan dengan sifat-sifat Allah diketahui di langit dan di bumi
V
V
V
X
Allah di atas hamba-hamba-Nya ditakwilkan dengan kekuasaan dan keunggulan Allah atas hamba-hambaNya
X
X
X
+
Allah datang kepada makhluk- makhluknya ditakwilkan dengan perintah atau dengan azabNya yang datang kepada mereka
X
+
+
+
Allah bersemayam di atas Arsy diartikan menurut harfiahnya
X
V
V
+
  1.  
Allah dapat dilihat di akhirat dengan cara yang hanya dapat diketahui Allah




  1.  
Kalam Allah atau Al-Qur’an bukan mahkluk, mempunyai huruf dan suara yang dapat didengar, namun yang sesuai dengan kemahasucian Allah dari adnya persamaan dan kerupaanya dengan mahluk-Nya





Keterangan:
1.      + adalah sa-ma/iden-tik
2.      V adalah sejalan
3.      X adalah berlawan-an[48]

Dari paparan dan bahasan tentang pendirian Ridha tentang masalah sifat-sifat Allah dan perbandingannya dengan pendiran dari berbagai aliran teologi dalam Islam tentang masalah yang sama dapat disimpulkan bahwa pendirian tokoh pembaharuan itu tidak mencerminkan pendiran dari aliran teologi tertentu dalam Islam, khusunya aliran Salafiyyah. Karena di antara pendirian itu (a) ada yang sejalan dengan Salafiyyah, (b) ada yang sejalan dengan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Salafiyyah, dan (c) dan adapula yang sejalan dengan dengan Mu’tazillah, Asy’ariyyah, dan Maturidiyyah, dan (d) ada pula yang hanya mencerminkan pendapatnya sendiri.
Munculnya pendirian Ridha yang tidak mencerminkan aliran teologi tertentu itu tidaklah mengherankan sebab ia sendiri sudah menjelaskan sebelumnya bahwa metode yang digunakannya dalam memahami nash-nash Al-Qur’an dan sunah, terutama yang mengesankan antropomorfisme, pada dasarnya mengikuti cara salaf. Namun, dalam hal-hal tertentu ia mengikuti cara khalaf, yaitu dengan cara menakwilkan nash-nash, terutama apabila terdapat pertentangan antara akal dengan nash-nash yang bersumber dari wahyu tersebut, apalagi jika hal-hal itu dapat menimbulkan kesangsian orang terhadap kebenaran yang telah disampaikan Allah dan Rasul-Nya.

6.     Penafsiran Rasyid Ridha mengenai ”Keberadan sfiat-sifat Allah”
Sebagaiman Asy’ariyyah, Maturidiyyah, dan Salafiyyah, Ridha juga mengakui Allah mempunyai beberpa sifat. Pengakuannya itu dapat ditemukan secara jelas ketika ia menafsirkan surat al-A’raf (7): 180
¬!ur âä!$oÿôœF{$# 4Óo_ó¡çtø:$# çnqãã÷Š$$sù $pkÍ5 ( (#râsŒur tûïÏ%©!$# šcrßÅsù=ムþÎû ¾ÏmÍ´¯»yJór& 4 tb÷rtôfãy $tB (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÑÉÈ  
“Hanya Allah yang memiliki al-asma al-husna. Karena itu, berdoa lah kepadaNya dengan menyebut al-asma al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpng dari kebernaran dalam (menyebut) nama-naman-Nya. Nanti, mereka akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka lakukan.”
تفسير المنار [9 /361]
وأقرب الوسائل للمخرج منها إلى ضدها فقال :
ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها الأسماء جمع اسم ، وهو اللفظ الدال على الذات فقط ، أو على الذات مع صفة من صفاتها ، سواء كان مشتقا ، كالرحمن الرحيم الخالق الرازق ، أو مصدرا ، كالرب والسلام والعدل . والحسنى جمع أحسن ، والمعنى :
ولله دون غيره جميع الأسماء الدالة على أحسن المعاني وأكمل الصفات ، فادعوه أي سموه واذكروه ونادوه بها ، لمجرد الثناء ، وعند السؤال وطلب الحاجات ،

Ketika menafsirkan firman Allah tersebut, Ridha antara lain menjelaskan bahwa al-asma adalah jamak dari ism yang berarti nama. Ism adalah lafal yang hanya menunjukan zat atau menunjukan zat bersama dalam satu dari sifat-sifat yang dimilikinya, baik ism tersebut merupakan ism yang mustaq maupun ism masdar. Ism mustaq adalah seperti al-Rahman (Yang Maha Pengasih), al-Rahim (Yang Maha Penyayang), al-Khaliq (Yang Maha Pencipta), al-Razzaq (Yang Maha Pemberi Rezeki). Ism mashdar adalah seperti al-Rabb (Yang Maha Pemelihara), al-Salam (Yang Maha Sejahtera), dan al’Adl (Yang Maha Adil). Al-Husna adalah jamak dari al-Asan, yang berarti yang terbaik. Dengan demikian, maksud dari firman Allah yang menyatakan, “Hanya Allah yang memiliki al-Asma al-Husna dan berdoalah kepada-Nya dengan menyebut al-Asma itu” adalah hanya Dia yang memiliki semua nama yang menunjukan kepada semua sifat yang paling baik dan paling sempurna. Karena itu, kalau Anda memuji-Nya atau berdoa dan memohon sesuatu kepada-Nya, sebutlah nama-nama-Nya yang teramat baik itu.
Selanjutnya, maksud dari firman Allah berikutnya, “dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (meyebut) nama-nama-Nya” adalah orang-orang beriman harus meninggalkan semua orang-orang yang menyimpng dari kebenaran dalam menyebut nama-namaNya, bsiik dari segi lafal-lafal-Nya maupun makna-makana yang terkandung di dalamnya atau melanggar kesucian nama-namaNya. Misalnya, dengan cara mengubah nama-nama tersebut, menakwilkannya, menyerupakannya dengan makhluk-Nya, menyekutikan-Nya dengan yang lain, mendustakannya, menambah nama-nama lain yang tidak pernah disebutkan oleh Allah dan Rasul-Nya, atau mengurangi nama-nama yang telah ada, atau menyebut Allah dengan sifat-sifat yang berlawanan dengan nama-nama-Nya yang teramat baik itu (golongan Musyabbihah dan Jahmiyyah). Meskpun pendirian Ridha sejalan dengan pendiran ketiga aliran yang semunya adalah Ahli Sunah itu, tidak berarti bahwa pendapat Ridha identik dengan pendapat salah satu dari tiga aliran teologi tersebut.[49]
Tabel II
Persamaan dan Perbedaan Ridha dan Pendirian dari Aliran-Aliran Teologi dalam Islam
No.
Pendirian Rayid Ridha
Pendirian
Mu’
Asy
Mat
Sal
  1.  
Semua perbuatan Allah membawa hikmah kepada manusia
V
X
+
+
  1.  
Akal akan dapat mengetahui baik dan buruk suatu perbuatan meskipun wahyu belum datang menjelaskannya
+
X
+
+
  1.  
Selama belum datang wahyu menjelaskan baik dan buruk suatu perbuatan belum ada taklif meskipun akal sudah mengetahuinya
X
+
+
+
  1.  
Allah yang menciptakan perbuatan manusia
X
+
+
+
  1.  
Arti menciptakan perbuatan manusia adalah menciptakan daya yang menyebabkan manusia dapat melakukan perbuatanya secara hakiki
V
X
V
+
  1.  
Daya manusia efektif (memiliki ta’tsir) unutk melakukan perbuatanya
+
X
+
+
  1.  
Hukum kausitas atau sunatullah adalah suatu hal yang niscaya dan tidak pernah berubah
+
X
+
+
  1.  
Takdir Allah pasti terjadi, namun takdir itu tidak menghalngi kebebasan manusia dalam memilih dan melakukan perbuatanya, asalkan tidak melebihi batas kemanusiannya dan sunatullah
+
X
+
+
  1.  
Allah meberikan petunjuk dan menyesatkan manusai sesuai dengan Sunah-Nya
+
X
+
+
  1.  
Allah tidak membebankan taklif kepada manusia kecuali yang sesuai dengan batas kemampuannya.
+
X
+
+
  1.  
Allah akan membalas kebaikan manusia, sesuai dengan janji dan sunah-Nya
+
X
+
+
  1.  
Allah akan menghukum kejahatan manusia sesuai dengan ancaman dan sunah-Nya
+
X
X
X
  1.  
Allah tidak akan meberka syafaat, kecuali kepada orang-orang beriman yang berhak unutk menerimanya
+
X
X
X
  1.  
Mukmin yang selalu melakukan dosa besar dan tidak betobat akan kekal di dalam neraka.[50]
+
X
X
X


7.     Penafsiran Rasyid Ridha tentang “Kemampuan Akal dan Wahyu”
Ketika menafsirkan surat al-A’raf (7): 33 khususnya berkenan dengan ayat yang menyatakan:
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.ÎŽô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ム¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB Ÿw tbqçHs>÷ès? ÇÌÌÈ
Katakanlah, “Tuhan ku hanya mengharamkan perbuatan-perbuatan  fahisyah (buruk), baik yang tampak maupun yang tersembunyi, perbuatan-perbuatan dosa, pelanggaran tanpa alasan yang benar, dan (Dia juga mengharamkan) kamu menyekutukan Allah dengan sesuatu yang Dia tidak menurunkan hujah untuk itu dan mengatakan hal-hal yang tidak kuketahui tentang Allah.”
Ridha menjelaskan bahwa Fahisyah dalam  tafsir al manar jilid VIII h. 351 adalah:
تفسير المنار [8 /351]
 (إنما) وهي :
1 ، 2 : الفواحش الظاهرة والباطنة - فالفواحش جمع فاحشة ، وهي الفعلة أو الخصلة التي فحش قبحها في الفطر السليمة والعقول الراجحة التي تميز بين الحسن والقبيح والضار والنافع ، وكانوا يطلقونها على الزنا واللواط والبخل الشديد وعلى القذف بالفحشاء والبذاء المتناهي في القبح ،
“Perbuatan atau perilaku yang keburukannya dalam (pandangan) fitrah sehat dan akal yang dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk dan antara yang bermanfaat dan yang berbahaya sudah melebihi batas. Mereka (orang-orang Arab) menyebut zina, homoseksual, kikir yang jelewatan batas, dan qadzaf (menuduh orang lain telah berzina, tanpa bukti) dengan fahisyah dan ucapan yang sangat keji.”
Dari penjelasan Ridha tentang pengertian Fahisyah (perbuatan dari perilaku yang sangat buruk dan keji) tersbut dapat diketahui bahwa tokoh pembaharuan itu juga mengikuti bahwa akal dapat mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatan. Pengakuannya yang lebih tegas lagi dapat diketahui pada penafsirannya terhadap surat al-An’am (6): 151 “Demikian itulah yang telah dipesankan Allah kepadamu. Semoga kamu memahaminya,” Ridha menjelaskan bahwa Allah telah berpesan demikian kepadamu karena padanya terdapat kesiapanmu dan pembangkit harapan dalam dirimu sehingga kamu dapat memikirkan mana yang membawa kebaikan dan kemnafaatan kepadamu pada perbuatan-perbuatan itu apabila kamu meninggalkan apa yang telah menjadi larangan-Nya dan melakukan apa yang sudah menjadi perintahnya. Semuanya itu termasukhal-hal yang dapat diketahui oleh akal meski hanya melalui renungan yang sangat sederhana. Pada ayat tersebut juga terdapat bukti tentang kebaikan itu bersifat esensial dan akal mampu mengetahuinya apabila mau memperhatiknya.[51]
Dapat dilihat bahwa pendirian Ridha tentang kemampuan akal dalam mengetahui baik-buruknya suatu perbuatan, adanya Allah, kewajiban bersyukur kepada-Nya yang belum ada penjelasnnya dari wahyu, bukan merupakan pendirian yang independen, melainkan pendirian yang identik dengan pendirian Maturidiyyah dan Slafiyyah. Dari sini juga terlihat sekali bahwa konsep teologi Ridha menghargai akal sebagaimana Maturidiyyah dan Salafiyyah meskipun tidak setinggi penghargaan yang diberikan Mu’tazilah.





Analisis Fakta-Fakta:
Pemikiran Ridha tidak lepas dari pengaruh zamannya, pada awal abad ke-19 dan sepertiga awal abad ke-20:
-Masa kelabu dalam sejarah Arab modern.
- Kemunduran Islam dari aspek politik, agam, sosial-budaya, dan politik
- Agama kehilangan ruhnya dan Islam hanya menjadi simbol-simbol lahir, sebaliknya Khurafat dan takhayul berkembangan serta tarekat sufi mendominasi Islam.
- Ilmu-ilmu agama hanya dihafalkan tanpa memahami, terdapat juga kesulitan dalam penulisan ilmu-ilmu dalam bentuk hasyiah dan syarah.
- Pengaruh Barat dari negara-negara imperalis: kalangan pendidik menjauhi kajian agama, masuknya paham seperti Nasionalisme, Sekularisme, Sosialisme, dan Komunisme. Kemudian ditambah lagi dengan pendirian lembaga-lembaga misonaris dan lembaga pendidik Islam (berfokus dalam dalam mempelajari Bahasa Arab), umat Islam terbelakang dalam ilmu pengetahuan dari Kristen (Timur dan Barat).
- Mesir dalam keterpurukan pada saat Khilafah Usmaniyah mengalami kemmunduran karena ditaklukan Eropa, kekuatan militer dan politik menurun, Islam mundur, statis, jumud, akal diwarnai aninisme dan enggan menggunakan akal, penguasa membiarkan rakyat menjadi bodoh.
- Napoleon menduduki Mesir 1789 M sebagai faktor eksternal keemunduran Mesir, dan faktor internal, tidak menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan terjadi bidah.
-Ridha adalah seorang Sunni (Asy’ariah)- Syafi’i.
-Pendidikan Ridha berawal di madrasah al-Wataniyyah al-Islamiyyah sampai madrasah itu ditutup belaiu tetap belajar kepada pendirinya yaitu Syekh Husain al-Jisr (Ulama yang dioegaruhi oleh ilmu-ilmu Modern).
-Ayah dan guru-guru Ridha adalah Ulama Sunni-Syafi’i (sebagian lulusan al-Azhar).
-Sunni Asy’ariyyah paling dekat dengan tarekat sufi, karena berpegang pada prinsip kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan, berpaham fatalis, dan berkeyakinan adanaya berkah pada wali-wali dan orang-orang Shalih meskipun sudah wafat.
-Pada awalnya Ridha sudah mempraktekan tasawuf dan kehidupan Sufi, akibat ia telah membaa kitab “Ihya Ulum al-Din” Imam al-Ghazali.
Dengan semua fenomena yang terjadi pada saat itu, sehingga menimbulkan respon dalam menentang keadaan dengan munculnya ide-ide pembaharuan oleh cendikiawan terpelajar Islam hasil didikan dari Eropa yang menginginkan perubahan dilakukan secara evolutif dan perlahan-perlahan, ini lah yang dilakukan dalam kitab Tafsir al-Manar (Majalah al-Manar dan kemudian menjadi bentuk Tafsiran )  
-Kesadaran Ridha dimulai setelah membaa ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dan Al-Afghani di majalah “al-Urwah al-Ustwa”.
-Tersadar banyaknya bidah dan khurafat dalam tasawuf dan tarekat, kemudian ia meninggalkan ajarn-ajaran itu dan membimbing mastarakat pada jalan yang sebenarnya.
-Perubahannya itu terjadi setelah mempelajari kitab-kitab hadis secara tekun,
-kemudain ia melihat Qadha dan Qadar diselewengkan dalam kepercayaan Jabariyyah, beliau ingin merubah kepercayaan Jabariyyah yang sedang berkembang, diubah dalam keprcayaan kebebasan manusia karena Islam adalah agama yang dinamis.
-Ide pembaharuan membuat dia kritis pada umat Islam dan ikut aktif dalam memajukan ide-ide tersebut dan membebaskan masyarakat dari semua masalah itu.
-Misi yang dilaksanakan Ridha unutk mencapai visi pembahruan tersebut terlihat jelas dengan diterbitkannya majalah al-Manar. Tujuan majalah ini ingin melaksankan pembaharuan di bidang agama- sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Karena melihat Islam adalah agama yang dinamis, ajaran yang terkandung dalam kata Jihad (bersaha sesunguhnya dalam mecurahkan segenap pikiran, kekuatan dan kemampuan unutk mencapai tujuan pembahruan dalam masyarakat).
Al-Manar merupakan tafsiraan yang memiliki prinsip kemasyarakatn sebagai bentuk respon terhadap permaslahan yang terjadi di tengah masyarakat (al-Adab al-Ijtima’i) dengan menggunakan metode Tahlili berupa mengungkap keindahan dan maksudnya, memperhatikan aturan-aturan al-Qur’an dan mukjizat-Nya, menjelsakan makna-makana dan maksudnya, meperhatikan aturan-aturan tentang kemasyarakatan, dan berusaha mengataasi persoalan yang dihadapi umat Islam secara khusus dan umat manusia pada umunya, kemudian corak ini berupaya menjawab keraguan-keraguan (dengan mentakwilkan) yang dilontarkan musuh-musuh Islam tentang al-Qur’an dengan menampilkan argumen yang kuat. Adab al-Ijtima’i dalam corak sastra adalah pengungkpaan keindahan gaya bahasa sedangkan dalam corak sosial dalam upaya pengangkatan hukum-hukum sosial unutk menjawab problematikan hidup yang sedang dihadapi.





Kesimpulan
Pemikiran dari tokoh pembaharuan Rasyid Ridha tentang masalah-masalah teologi terdapat banyak persamaann dan keselarasan dengan pendirian aliran Salafiyyah, tidak berarti pemikirannya itu secara keseluruhan identik dengan pendirian Slafiyyah. Sebab, diantara pemikiran tokoh tersebut di samping ada yang identik atau sejalan dengan pendirian Salafiyyah, juga ada yang sama dan sejalan dengan pendirian Mu’tazilah atau dengan pendirian Maturidiyah. Namun, sedikit sekali di antara pendirianya itu yang sama atau sejalan dengan pendirian Asy’ariyyah. Mengingat realitas tersebut, maka dapat dikatakan bahwa teologi Rasyid Ridha tidak menganut teologi tertentu. Hal itu, disamping ia seorang yang anti taklid, ia juga konsisten dengan metode berpikir yang digunakannya dalam masalah-masalah teologi. Metode Ridha tersebut sebagaimana yang telah diakuinya sendiri, pada dasarnya mengikuti metode salaf, namun dalam hal-hal tertentu ia mengikuti metode khalaf dengan tujuan untuk menghilangkan kesan pertentangan antara nash dan akal atau meghilangkan kesangsian sementara orang terhadap kebenaran nash yang telah disampaikan Allah dan Rasul-Nya atau untuk memudahkan mereka dalam memahami nash-nash tersebut.
Pemikiran atau konsep teologi Ridha termasuk teologi rasional atau yanng bercorak rasional, konsep teologi tersebut dapat menumbuhkan dan meningkatkan etos kerja umat Islam, membawa pencerahan dan pembaharuan yang sesuai dengan visi dan misi pembaharuan yang di upayakan dalam memperbaiki keadaan umat dari ketertinggalan dan keterpurukan mereka dibidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemudian menjadi umat yang merdeka dan maju sehingga dapat seiring dan sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Maka tidak heran apabila dikaitkan dengan corak dan cara Ridha menyikapi dan menafsirkan al-Qur’an, isi dan kandungan tafsir yang Ridha susun berkait dan bahkan diarahkan sesuai dengan kondisi yang melatar belakanginya dalam upaya mendayagunakan al-Qur’an sebagai rujukan dan pedoman dalam menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Di antara konsep teologinya yang dapat mebawa ke arah peningktan etos kerja dan kemajuan itu adalah penekanannya terhadap keniscayaan hukum kausalitas dan sunatullah, kebebasan manusia dalam berbuat an berkehendak yang sesuai denga batas-batas kemampuannya, dan keadilan Allah dalam membalas perbuatan-perbuatan hamba-hambanya. Karena itu, teologi dari Rasyid Ridha ini tidak hanya relevan unutk umat Islam yang hidup pada masanya, tetapi juga masih relevan untuk umat Islam yang hidup pada masa sekarang ini.
Pada akhirnya secara tidak langsung Rasyid Ridha ingin mengatakan kepada kita, bahwasannya kita tidak boleh terjebak dalam kungkungan pemahaman teologi yang kita imani. Ia mengajak kita untuk bisa menerobos batasan pemahaman, untuk bisa memahami pertanyaan dan mendapatkan jawaban atas segala permasalahan yang terjadi ditengah masyarakat pada masa sekarang. Bersikap objektif (jujur) dan kritis merupakan prinsip yang harus dipegang dalam pemahaman teologi, dan hal ini tidak akan menghilangkan nilai atas pemahaman teologi yang kita imani tetapi justru dengan melakukan hal tersebut kita bisa fleksible dalam menjawab segala problemtika yang terjadi.



















Daftar Pustaka
 Athaillah, A. 2006. Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar.  Jakarta:  Erlangga.
Ridha, R. 1928. al-Manar. Jilid  ke-29. Kairo.
Shihab, Q. 1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung: Pustaka Hidayah.
Faiz, F. 2003. Hermeuneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi . Yogyakarta: al-Qalam.
Nasution, H. 1975. Pembaharuan dalam Islam.  Jakarta: Bulan Bintang.
Muntaqien, I. 2008. Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha Skripsi , Yogyakarata: UIN SUKA.
Hikmah, U. Nilai-Nilai Kesalehan Ritual dan Sosial dalam Tafsir Al-Manar Studi Penafsiran Surat al-Baqarah (2): 177 dan Surat At-Taubah (9): 71. Skripsi, Yogyakarata: UIN SUKA.
Saifullah. 2012. Nuansa Inkllusif dalam Tafsir al-Manar. Cet. I. Jakarta: Lemabaga Litbang dan Diklat kementerian Agama RI.













[1] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, (Jakarta: Erlangga, 2006) h. 21.
[2] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 23.
[3] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 24.
[4] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 24.
[5] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25.
[6] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 25.
[7] Rasyid Ridha al-Manar, jilid ke-29, (Kairo: 1928 M), h. 67.
[8] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar  (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994) h. 67-68.
[9] Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi (Yogyakarta: al-Qalam, 2003) h. 74.
[10] Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi, h. 74.
[11] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 14.
[12] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 72-73.
[13] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 62-63.
[14] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha (Yogyakarata: Skripsi UIN SUKA) h. 15.
[15] Fakhruddin Faiz, Hermeuneutika Qur’ani: antara Teks, Konteks dan Kontektualisasi, h.75-76.
[16] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha (Yogyakarata: Skripsi UIN SUKA) h. 16.
[17] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 19.
[18]  Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 19.
[19] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 59.
[20] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 61.
[21] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 28.
[22] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 61.
[23] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 66.

[24] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 3.
[25] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, h. 68.
[26] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 29.
[27] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 30.
[28] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 30-31.
[29] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 31.
[30] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 31.
[31] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.  32.
[32] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 66.
[33] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.  32.
[34] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 32.
[35] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 33.
[36] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.  34.
[37] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h.  34.
[38] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 73.
[39] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, h. 74.
[40] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 37.
[41] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 38.
[42] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[43] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[44] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[45] Iman Muntaqien, Konsep Mu’alaf dalam a-Qur’an Studi terhadap Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, h. 28.
[46] Lihat Muhammad Husain Az-Zahab, Al-Tafsir wa al-Mufasirun (Beirut: Dar al-Qalam) Jilid II, hlm. 549.
[47] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 68.
[48] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 156.
[49] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 90.
[50] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 347.
[51] A. Athaillah, Konsep Teologi Tafsir Rasional dalam Tafsir al-Manar, h. 188.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar