1.
Aliran Asy’ariyah.
Kaum
asy’ari adalah aliran sinkretis/aliran yang berusaha mengambil sikap
tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql,antara kaum salaf dan kaum mu’tazilah.
Titik tengah yang sebenarnya, selamanya, tidak jelas dan tak terbataskan. Orang
yang melakukan perpeduan, bisa cenderung ke kanan dan ke kiri. Dengan
sendirinya ia tidak menyetujui kedua belah pihak, sebaliknya tidak terlepas dari
kritik kaum mu’tazilah
belakangan,
di mana pemimpinnya adalah Al-Qadhi Abdul Al-Jabbar maupun kaum salaf belakang
di mana tokoh terdepannya ibnu hazm dan ibnu taimiyyah.
Dari
sisi lain orang yang memadukan itu berusaha menyelaraskan dan menghubungkan antara
pandangan-pandangan dari kedua belah kubu yang berlawanan. Puncak tujuannya
ialah bahwa hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima. Jadi,
jangkauan kreativitasnya terbatas. Pada kenyataannya jika membandingkan kaum
asy’ariyah dengan muktazilah dalam aspek ini, maka kita kan mengetahui bahwa
muktazilah lebih kreatif, di mana mereka mengajukan teori-teori baru yang belum
pernah dikemukakan oleh pihak lain.mereka juga mengkritik dan membuktikan bahwa
pandangan-pandangan salaf itu salah.
Kaum asy’ariyah puas
dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak, mencapai pandangan tengah-tengah
yang akhirnya dijadikan prinsip yang dipegangi secara teguh oleh generasi
kemudian dan menjadi mantap khususnya di abad-abad terakhir. Zaman-zaman
kemunduran pemikiran lebih ditandai oleh kecenderungan untuk bertaklid (membeo)
mengagungkan apa yang dikatakan oleh orang-orang terdahulu, tidak punya
ketahanan untuk mengubah dan memperbaharui. Seringkali pemecahan tengah-tengah
mampu hidup dan berumur panjang.
Puncak tujuannya ialah
bahwa hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima. Jadi
tidaklah aneh, karena imam mereka menghabiskan 40 tahun untuk mempelajari
ajaran-ajaran mu’tazilah
yang lebih meraih kesuksesan di tangan kaum asy’ariyah dibandingkan di tangan
muktazilah sendiri.
2. Sejarah Al-Asy’ariah.
Imam
abu hasan ali bin ismail bin ishaq bin salim bin ismail bin abdillah bin musa
bin bilal bin abi burdah bin abi musa al-asy’ari masih keturunan dari abu musa
al-asyari,seorang utusan tahkim dalam peristiwa besar shiffin dari pihak
sayyidina ali. Beliau lahir di kota basroh tahun 260 H/873 M dan meninggal pada
tahun 330 H/943 M. Dulu beliau berguru kepada abu ali jubbai dari mu’tazilah,yang pada
akhitnya condong kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan hadits ketika usianya 40
tahun.
Beberapa
tahun beliau termenung dan mempertimbangkan atas kedua hal tersebut antara
ajaran muktazilah dan paham ahli-ahli fiqih dan hadits.ketika berusia 40 tahun
dia berkhalwat di rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal-hal tersebut.
Pada hari jum’at beliau naik mimbar di masjid basroh dan secara resmi menyatakan
pendiriannya keluar dari mu’tazilah
:
“wahai masyarakat,
barangsiapa mengenal aku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa tidak
mengenal aku maka aku mengenal diriku sendiri. Aku adalah fulan bin fulan.
Dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, bahwa sesungguhnya allah
tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri
memperbuatnya. Aku bertobat, mencabut dan menolak paham-paham mu’tazilah dan keluar
daripadanya untuk membongkar kesalahan-kesalahannya.”
Sebab
penting mengapa al-asy’ari meninggalkan mu’tazilah
ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa
menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak diakhiri. Sebagai seorang
muslim yang mendambakan atas persatuan umat,beliau sangat khawatir kalau
Al-Qur’an dan al-hadits
menjadi korban dari paham-paham mu’tazilah
yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran,menyesatkan dan meresahkan masyarakat hal ini disebabkan
mereka menonjolkan akal pikiran.
Disamping
itu ada ahli-ahli hadits antropomorphist yang selalu memegang makna lahir dari
hadits-hadits yang nyaris menyeret islam kepada kelemahan,kebekuan yang tidak
dapat dibenarkan. Karena itu al-asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan
nasionalisme (mu’tazilah)
dan golongan tekstualis (ahli hadits antromorphist) dan pada akhirnya
langkahnya tersebut dapat diterima oleh mayoritas umat islam sebagai sikap
moderat dan tawassuth.
Gerakan
Al-Asy’ariyah mulai pada abad ke-4 H. Ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok
lain, khususnya mu’tazilah.
Dalam konflik keras ini, al baqillani memberikan andil besar. Ia dianggap
sebagai pendiri kedua bagi aliran al-asy’ariyah. Permusuhan ini mencapai
puncaknya pada abad ke abad ke-5 H atas prakasa al-kundari (456 H/1074 M), yang
membela mu’tazilah.
Di Khurasan ia mengobarkan fitnah yang berlangsung selama 10 tahun. Tragedi ini
menyebabkan imam al-haramain menyingkir ke hijaz. Sejumlah tokoh besar dari
aliran asy’ariyah dipenjarakan termasuk al-Qusyairi (466 H/1074 M). Sang sufi
yang menulis sebuah risalah yang berjudul syikayah ahl al-sunnah di hikayah ma nalahum min al mihnah. risalah
ini telah dipublishir dan gemanya cukup serius di dunia islam. Kemudian kaum
asy’ariyah berhasil meraih kembali kesuksesan mereka atau prakarsa niam
al-muluk (484 H/1092 M). Bintang mereka pun mulai naik. Pendapat-pendapat
mereka pada abad ke-6 H kira-kira menjadi madhab satu-satunya dan akidah yang
resmi bagi daulah sunni. Hingga hari ini, pendapat al-asy’ariyah tetap menjadi
akidah ahl al-sunnah.
3.
Metode
Asy’ariyah.
Madzhab
asy’ariyah bertumpu pada Al-Qur’an dan al-Sunnah mereka amat teguh memegangi al-ma’sur.
Ittiba’ lebih baik dari pada ibtida’
(membuat bid’ah). Al-asy’ari mengatakan : “pendapat yang kami tengahkan dan
akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh pada kepada kitab Allah,
sunnah nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan
imam-imam hadis.
Al-asy’ari
adalah pemikiran yang menentang mu’tazilah
dan membela paham-paham salaf. Oleh pengikutnya kemudian dinamakan ahlus sunnah
wal jamaah. Pendirian
mu’tazilah bahwa Allah ini
tidak bersifat (nafyu al-shifat). Hal ini berbeda dengan golongan ahlu sunnah
bahwa Al-Qur’an itu qadim bukan hadits. Allah bersama sifatnya adalah
qadim,tidak berpemulaan ada-Nya. Kalam allah itu qadim yang diperdengarkan
kepada malaikat jibril sebagai wahyu. Kemudian nabi muhammad membacakannya
kepada para sahabat. Kalau yang dikatakan mahluk itu adalah huruf dan suara
yang tertulis diatas kertas.
Kalam
allah yang qadim adalah
sifat allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara dan itu disebut kalam nafsi. Karena itu, kalau orang berkeyakinan bahwa kalam
Allah swt itu sifat Allah swt yang qadim yang berdiri di atas Dzat-Nya yang
qadim, tentunya Al-Qur’an sebagai kalam-Nya adalah qadim juga.
Pernyataan Mu’tazilah tentang “Sesungguhnya Al-Qur’an
itu adalah makhluk . Maka barang siapa yang tidak demikian pendirianya tentang
Al-Qur’an, Maka diturunkan dari jabatannnya. Bila dia seorang qadhi, tidak diterima kesaksiannya bila diminta
kesakisian”
Al-Asy’ari menerangkan :
“Seandainya seseorang bertanya tentang alasan yang
menyatakan bahwa Al-Qur’an itu kalamullah dan bukan makhluk, maka jawabanya
berdasarkan firman Allah swt. : “Dan dia
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tegaknya langit dan bumi dengan
perintah-Nya” (Q.S Ar-Rum, 30:25). Dan yang dimaksud dengan perintah-Nya dalam
ayat tersebut adalah kalamullah. Seandainya Allah swt. Memerintahkan kedua (langit
dan bumi)nya itu tegak, maka tegaklah keduanya dan tiada runtuh. Karena itu
jelaslah, bahwa tegaknya langit dan bumi itu dengan perintah-Nya juga. Bahkan
firman Allah swt : Ingatlah, hanya pada Allah hak mencipta dan memerintah”.
(Q.S
Ar-A’raf (7):54)
Imam Al-Asy’ari mengadakan ada seseorang yang
bertanya kepadanya demikian: “Engkau telah menolak pendapat-pendapat dari
golongan-golongan Mu’tazilah, Qadari’yah, Jahamiyah, Harurriyah, Rafidhah dan
Murji’ah. Oleh karena itu, jelaskan kepadaku tentang pandangan-pandangan yang
engkau anggap tetap berada dalam hidayat Allah swt. itu.
Imam Al-Ays’aria menjelaskan :
“Pertama-tamayang dengannya kami berpendapat dan
pendirian yang denganya kami berpendirian ialah berpegang teguh dengan kitab
dari pada sahabat, tabi’in dan para ulama hadis, kami terhadap semuannya itu,
berpegang teguh.”
Tampak sekali, bagaimana Al-Asy’ari berbeda pola pikir
dengan golongan-golongan yang ditentangnya, terutama golongan-golongan
Mu’tazillah dan Qadariyah yang lebih mengunggulkan pemikiran rasio. Karena
mereka menakwilkan Al-Qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri, tanppa
alasan-alasan yang berdasarkan kitabullah ataupun sunnah Rasul-Nya, bahkan
tidak juga bersumberkan pandangan ulama-ulama salaf yang dahulu. Mereka
menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk, persis sebagaimana anggapan kaum
musyrikin yang berkata :
“Ini (Al-Qur’an) tidak lain dari perkataan manusia.”
(Q.S Al-Mudatssir [74]:25)
Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan:
“Mereka menganggap Al-Qur’an itu sama seperti
perkataan manusia, mereka menetapkan dan meyakini bahwa manusia itu yang
membuat perbuatan jahat. Itu sama halnya dengan pendapat orang-orang majusi
yang menetapkan adanya dua pencipta. Yang satu pencipta kebaikan dan pencipta
lainnya, membuat kejahatan. Dan orang Qadariyah mengangap bahwa Allah azza wa
jalla itu menciptakan kebaikan saja, sedangkan setan yang membuat kejahatan.
Mereka beranggapan bahwa sesungguhnya Allah azza wa jalla berkehendak sesuatu
yang tidak ada, dan sesuatu yang ada itu bukanlah sesuatu yang dikehendaki. Hal
itu tentunya bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh kaum
muslimin, bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah tentu terwujud.
Dan sesuatu yang tidak dia kehendaki tentu tidak terwujud dan sebaliknya.
Seandainya Allah menghendaki akan wujudnya, dia adalah maha kuasa mewujudkannya
dan Allah swt. berfirman: “Tidaklah kamu dapat mengkhendaki sesuatu kecuali
Allah menghendaki juga.” (Q.S At-Takwir
[81]:29). Maka beritahukanlah bahwa kita tidak dapat berkehendak terhadap adanya sesuatu, kecuali
adanya suatu teersebut telah dikehendaki oleh Allah juga.”
Orang-orang Qadariyah padangnya menyerupai orang-orang
majusi (Zoroaster/Zaratustra) agama kuno di Persia. Kebaikan atau kejahatan masing-masing
memiliki penciptanya. Mereka beranggapan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang
mudharat atau manfaat terhadap dirinya sendiri.
Selanjutnya, menurut paham Qadariyah, mereka memiliki
kemampuan berbuat di luar kekuasaan Allah swt. dirinya sebagai makhluk memiliki
kemampuan berbuat, yang sama sekali tidak disebutkan Allah swt. hal ini sama
dengan pendapat orang-orang majusi dan merupakan pandangan yang tidak
dibenarkan oleh Allah swt. Mereka
menyebarkan ajaran-ajaran yang bisa menyebabkan orang menjadi bimbang terhadap
rahmat Allah swt. dan berputus asa terhadap nikmat-Nya, karena menurut
pendapatnya, orang yang berbuat maksiat itu tempatnya di neraka, kekal
selama-lamanya.
Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang masuk neraka
itu tidak akan dikeluarkan lagi dari neraka. Anggapan ini jelas bertenatangan
dengan hadis Nabi Saw. Bahwa Allah Swt. niscaya mengeluarkan para penghuni neraka
setelah disiksa dan mereka itu hangus ibarat arang. Mereka juga nengingkari,
bahwa Allah Swt. itu memiliki “Wajah”, Firman-Nya:
“Dan
tetap kekal wajah (Dzat) Tuhanmu yang mempunyai kebesaraan dan kemuliaan.” (QS.
Ar-Rahman [55]:27)
·
Mereka
mengingkari bahwa Allah Swt. itu “Beristiwa” dan ber”yad”, padahal difirmankan:
“Tuhan yang Maha Pemurah itu bersemayam di atas
‘Arasy.”
(QS.Thaha [20]: 5)
·
Meraka
mengingkari Allah Swt. itu memiliki “mata”-bashar
Difrimankan:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata kami.”
(QS. Al-Qamar[54]: 14)
·
Bahkan lebih
dari itu, mereka mengingkari pernyataan bahwa
Allah
Swt. memiliki ilmu. Padahal Allah Swt. telah berfirman:
“Sungguh,
Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah.”
(QS. Hud[11]:14)
·
Mereka juga
mengingkari bahwa Allah Swt. memiliki kekuatan. Firman-Nya:
“Yang memiliki kekuatan yang kokoh kuat.”
(QS.Adz-Dzariyat[51]: 58)
·
Mereka menafikan
hadis-hadis Rasullullah Saw. Seperti hadis berikut:
“Apa
yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
turunkan rahmat-Nya pada setiap malam ke langit bumi.”
(Al-Hadis)
·
Sebagaimana yang
diketahui bahwa kaum Mu’tazilah me-nafi-kan sifat-sifat Allah Swt yang
karenanya mereka dinamakan golongan Mu’atthilah. Sedangkan kaum salaf
berpendapat itsbat al-shifat, menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah Swt.
yang karenanya mereka dinamakan golongan Shifatiyah.
Asy’ariah
menjelaskan :
“Ketahuilah
bahwa sesungguhnya sebagian besar golongan salaf itu menetapkan bagi Allah Swt.
sifat-sifat azali, yaitu al-ilmu,al-Qudrat, al-Hayat, al-Iradat, al-Sama’,
al-Bashar, al-Kalam, al-Jalal, (Kebesaran), al-Ikram, al-Jud, al-In’am (Memberi
kenikmatan), al-Izzah (kekuatan), dan al-‘Udhmah (keagungan). Mereka tidak
membedakan antara shifat al-Dzat dan Shifat al-Fi’il, bahkan mereka menyusun
susunan kalimat (siyaq al-Kalam) satu susunan yang sama. Demikian pula mereka
menetapkan shifat Khabariyah, seperti al-yadani (dua tanngan), dan al-Wajh
(muka), dan mereka tidak mentakwilkannya. Hanya saja mereka berpendapat bahwa
sifat-sifat ini telah diterangkan dalam syari’ah dan kami (salaf) menamakanya
shifat khabariyah.”
Sedangkan kaum Mutaakhkhirin telah
menambah apa yang menjadi pendapat kaum salaf yaitu melakukan ta’wil terhadap
ayat-ayat mutasyabihat.,Kaum salaf tidak melakukan takwil dan tidak menghampiri
tasybih.
·
Pernyataan kubur dan masalah gaib, menurut
golongan mu’tazilah tidak mengakui
adanya azab kubur, padahal masalah ini banyak keterangan ayat-ayat Al-Qur’an
dan hadis-hadis Nabi Saw.
“Dari
sahabat Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Kami berlindung
kepada Allah dari siksaan kubur”.
(Al-Hadis)
Dan aku (Asy’aria) meyakini adanya Dajjal, sebagaimana
yang diriwayatkan oleh Rasullullah Saw. Bahkan meyakini adanya malaikat siksa
kubur serta adanya Munkar dan Nakir yang menanyakan orang mati di dalam
kuburnya.
·
Masalah
Rukyatullah, argumentasi Imam Al-Asy’ari dalam menetpakan Rukyatullah :
1.
Firman Allah
Swt.:
“Pada
hari akhir itu wajah merkea orang-orang mukmin berseri-seri. Kepada Tuhannya
mereka melihat.”
(QS.
Al-Qiyamah[75]: 22-23)
2.
Alasan lain yang membenarkan Allah Ta’ala
dapat dilihat dengan mata, terdapat dalam ayat:
(QS.
Al-A’raf [7]:143)
3.
Dalil lain menerangkan bahwa Allah Swt. bisa
dilihat langsung dengan mata kepala, adalah ketika Allah Swt. membuat gunung
menjadi hancur lebur. Ini merupakan suatu isyarat bahwa seandainya Allah Swt.
berkehendak mengabulkan permohonan Nabi Musa as. Niscaya dia pun dapat
melihat-Nya. Jadi masalah rukyatullah itu jaiz hukumnya.
4.
Firman Allah
Swt. :
“Bagi
oaring-orang yang berbuat baik, memperoleh pahala (surga) yang terbaik dan
memperoleh tambahanya.”
(QS.Yunus[10]:
26)
5.
Hadis Nabi Saw.
Dari berbagai riwayat melalui perawi yang berbeda-beda :
“Kamu
sekalian akan melihat Tuhanmu dengan nyata, bagaikan melihat bulan purnama,
tidak berbahaya bagiimu dalam melihat-Nya.(Al-Hadis)
6.
Allah Swt.
adalah Dzat yang maujud, mengandung kepastian dapat dilihat, sebgaimana barang
yang ma’dum itu tentunya tidak dapat dilihat. Jadi, kalau telah diyakini Allah
Swt. itu maujud, maka bukan mustahil kita dapat melihat-Nya. Orang-orang
mu’tazilah menafikan rukyatullah itu hanyalah bermaksud mebuat kekacuan dan
kesembongan.
7.
Kaum muslimin
sepakat bahawa kenikmatan yang terdapat nanti merupakan kenikmatan yang belum
pernah terlihat oleh mata atupun terlintas dalam hati manusia, bahkan tidak ada
kenikmatan yang lebih besa selain dari Allah.
Pendapat
Al-Asy’ari mengatakan:
“Dan sehubungan dengan rukyatullah pada hari kiamat
nanti, golongan Mu’tazillah berpendapat: “Allah Swt. tidak dapat dilihat. Mereka
metakwilkan nash-nash Al-Qur’an dan tidak menjadikan hadis-hadis Nabawi sebagai
dasar pembenaran rukyatullah, karena hadis-hadisnya itu adalah hadis ahad. Dan
golongan Musyabbihah berpendapat: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu bisa dilihat
(rukyatullah) pada hari kiamat, dengan cara dan pada tempat tertentu”. Dan
Al-Asy’ari menempuh satu jalan tengah antara kedua pendapat tersebut. Dia
berpendapat” Allah Ta’ala itu bisa dilihat tanpa keadaan batasan tertentu.
Memang Rukyatullah di dunia ini mustahil, itu jelas. Akan tetapi di akherat
kelak, rukyatullah itu mungkin bagi orang-orang yang beriman sebagai puncak
nikmat surgawi.
·
Pendapat-pendapat
Al-Asy’aria dalam pandangannya yang moderat, dia mencari kompromi atau jalan
tangah antara pihak-pihak yang berlebih-lebihan yang menafsirkan dan
mengisbatkan, dan pikiran-pikiran yang tarik-menarik ujung-ujung
pertentangannya. Dia telah memilih jalan tengah itu pada pendapat mereka.
·
Bahwa aku
(Al-Asy’ari) tidaklah mengkafirkan siapa pun di antara umat islam yang
melakukan dosa, seperti mencuri, minum khamer atau lainnya. Berbeda dengan kaum
khawarij, dimana mereka justru mengkafirkan orang-orang seperti itu. Tetapi barangkali
melakukan dosa besar seperti berzina, menghalalkan sesuatu yang haram dan
sebaliknya, serta mengingkari bahwa itu haram, maka aku seraya menganggapnya halal
(Al-Asy’ari) pun mengkafirkannya. Hal ini berarti orang itu menghalalkan
sesuatu yang diharamkan.
·
Pendapat
Al-Asy’ari tentang Al-Qur’an, bahwa Kalam Nafsi adalah qadim, sedangkan mushaf
yang ada adalah hadis.
“Imam Asy’ariah menempuh jalan tengah. Menurut
pendapatnya, Al-Qur’an itu kalamullah yang tidak berubah-ubah, tidaklah
makhluk, tidaklah baru (hadis) dan bukan pula sesuatu yang diadakan adapun
huruf-huruf yang terpotong-terpotong, warna-warna, barang-barang, dan suara itu
adalah makhluk yang diadakan.”
·
Dosa Besar,
disini Iman Al-Asy’ari “menempuh jalan tengah, dan berpendapat bahwa orang
mukmin yang meng-Esakan Allah Ta’ala tetapi dia fasiq, hal itu terserah kepada
Allah Ta’ala”
Kaum
asy’ariyah juga tidak menolak akal,
padahal Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional. Pada
prinsipnya kaum asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal
seperti yang dilakukan oleh kaum mu’tazilah,
sehingga mereka tidak
memenangkan dan menempatkan akal di atas naql menempati posisi teratas. Bahkan
mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka
dianggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql
bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat.
Dengan
akal kita akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.al-asy’ari telah
memperkenalkan bagaimana cara memanfaatkan metode rasional, yang dicanangkan
oleh kaum mu’tazilah
itu, untuk membela dan meneguhkan masalah-masalah keagamaan. Keberhasilan
al-asy’ari dalam memaparkan dan mendebatkan metode rasional ini tidak kalah
dibandingkan kesuksesan yang ia raih dalm kecendrungan sinkretisnya.
Memperhatikan corak teologi kaum muslimin yang
mengikuti paham Imam Al-Asy’aria antara lain berkat perjuangan gigih
pengikut-pengikutnya untuk membela teologinya dari kalangan ulama-ulama
terkemuka. Seperti imam : Abu BakarAl-Baqillani, Haramain Al-Juwaini, Asfarayini,
Al-Ghazali, dan Ar-Razi, maka penyebaran secara kongkret pemikirannya itu
dimulai, terutama atas dukungan khalifah-khalifa Al-Mutawakkil dari Bani
Abbasiyah dan nizham al-muluk,, wazir Bani Saljuk, kemudian wazir mendirikan
Madrasah Nizhamiyah dan menjadikannya markas central penyebar luasan kalam
Al-Asy’aria. Sejak waktu itu, maka posisi paham Al-Asy’aria telah menggantikan
posisi paham Mu’tazilah yang selama ini telah mendominasi seluruh wilayah
khilfah Bani Abbasiyah.
Jadi
dapat disimpulkan corak pemikiran al-asy’ari disusun secara dialogis
menyebutkan masalah lebih dahulu, kemudian di jawab dengan
argumentasi-argumentasi rasional,lalu menyebutkan ayat Al-Qur’an atau al-hadits yang berkaitan
dengan argumen. Pola pemikirannya bercorak kompromis dan moderat.
4.
Doktrin-doktrin
Asy’ariyah.
a.
Pembuktian
Adanya Tuhan
Kaum asy’ariyah
menggeluti pembuktian adanya tuhan dan mereka jadikan sebagai dari
kajian-kajian ketuhanan. Langkah
ini kemudian diikuti oleh murid-muridnya. Untuk meneguhkan adanya Allah,
al-asy’ari memaparkan berbagai pola pola pembuktian alami. Sebagai contoh,
perkembangan manusia dari sperma menjadi segumpal darah , kemudian menjadi
daging, merupakan bukti yang pasti akan adanya sang pencipta Yang Maha Kuasa
dan Maha Mengetahui. Mereka
bertumpu pada bukti teologis, untuk
itu mereka mengatakan bahwa alam yang rumit penciptaannya dan kokoh aturannya
itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur dan menata, sedangkan karya-karya
yang kokoh menunjukkan ilmu dan hikmah si pencipta.
b.
Teori
Ketuhanan.
Perbedaan pendapat di
kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat allah tidak dapat dihindarkan
walaupun mereka setuju bahwa mengesakan allah adalah wajib. Al-asy’ari
dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan
kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat
bahwa allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah dan
sifat-sifat itu harus dipahami
menurut arti harfiahnya,
di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mu’tazilah yang berpendapat bahwa
sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga
allah atau arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah,melainkan
secara alegoris.
Kaum asy’ariyah adalah
kaum sifatiyah (yang
mengatakan bahwa Allah punya sifat-sifat ) seperti halnya kaum
salaf. Mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dan membedakan
sifat yang disifati (al-mausuf). Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa
karena sifat kuasa. Sifat-sifat Allah adalah al-ilmu(Maha Mengetahui),al-hayah
(Maha Hidup), al-basar (Maha Melihat), al-sama’(Maha Mendengar).semuanya adalah
sifat azali(eternal) dan abad
menegasikan
sifat berarti menegasikan yang disifati, sebagaimana halnya menegasikan aksi
berarti menegasikan subyek yang beraksi.
Mereka menolak
al-ta’til (pandangan yang mengosongkan Allah dari sifat-sifat atau Allah tidak
punya sifat-sifat) dalam berbagai macam coraknya,baik nihilisasi Sang Pencpta
dari ciptaan-Nya maupun nihilisasi sang pencipta dari sifat-sifat-Nya. Mereka
menolak al-Tasybih dan al-Tajsim dan mereka menyerahkan kepada Allah teks-teks
agama yang memberikan kesan demikian atau mereka takwilkan karena Allah sama
sekali tidak menyamai makhluk-Nya. Bukan substansi,bukan jisim juga bukan
aksidensia, tidak bertempat di dalam ruang dan waktu juga tidak menerima
aksidensia-aksidensia dan hal-hal temporal. Ilmu Allah adalah azali dan
mencakup semua obyek pengetahuan,tanpa melalui indra maupun pembuktian. Melihat
Allah dengan pandangan mata adalah boleh,karena setiap yang ada bisa dilihat.
Meneguhkan bahwa Allah bisa dilihat tidak berarti tasybih dan tajsim, sebab
melihat disini tidak sama dengan kita
melihat benda-benda di dunia.
c. Kebebasan Berkehendak.
Asy’ariyah
merupakan aliran yang hidup hingga sekarang,berumur hampir 10 abad.Aliran ini
tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H,hingga sekarang masih ada,walaupun
harus menghadapi tekanan kira-kira 1 setengah abad.Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis,yang diwakili
khususnya Mu’tazilah,tetapi juga kadang melawan naqliyin (Tekstualis)
yang di wakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa
mendominasi dan menjadi madzhab resmi negara di dunia Sunni,yang dalam rangka itu ia di topang oleh kondisi sosial-politik. Para imam mereka secara umum berlomba menjelaskan
pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan
pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah.
Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan dan tumbuh di
lingkungan Mu’tazilah dan di didik di Bashrah,tetapi ia nyaris tidak pernah
berontak dan pikirannya pun matang,hingga kegelisahan mulai menghinggapinya,kondisi demikian
nampak dalam persoalan dan kritik yang ia ajukan kepada guru dan pendidikannya,Abu
‘Ali al-Jubba’i(235-303 H) salah seorang tokoh besar Mu’tazilah dari generasi
kedua.Nampak bahwa ia tidak terseret oleh Ekstrimitas Mu’tazilah maupun
Ekstrimitas Salaf.Ia hendak berdiri di tengah di antara kedua aliran itu.Akhirnya ia memberontak dari gurunya dan
mengumumkan dakwahnya di masjid jami Bashrah. Pada waktu itu usianya sekitar 40
tahun dan di saat gurunya menjelang wafat.Kemudian ia pergi ke Baghdad dimana
pengaruh kaum Hanabilah amat kuat. Ia melanjutkan dakwahnya dimana opini umum telah mulai tenang
mendukungnya,walaupun itu di tentang oleh kedua belah pihak yang sama-sama
ekstrim. Pemecahan tengah
biasanya membuat jiwa awam tenang di saat-saat di landa mihnah
(bencana),perbedaan dan perpecahan pendapat.
Murid dan pengikut al-Asy’ari berlomba
memegangi sikap tengah ini,walaupun mereka menentangnya sebentar. Karena sebagian dari mereka mendalami kecenderungan
rasional.sebagian lain mendalami kecenderungan salaf. sikap tengah teoritis lebih luas bidangnya di bandingkan
dengan tengah praktis para pengikut itu silih berganti mulai memegangi pendapat
al-Imam Syeikh dan menyebarkan dakwahnya. Diantara mereka ada argumentasinya jelas dan kuat. Setiap abad punya satu atau beberapa ulamanya sendiri,yang di atas pundak
merekalah madzhab al-Asy’ari berdiri tegak.
Suasana
politik membantu menyebarkan dan mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Sehingga aliran pertama-tama dipeluk oleh Bani
Saljuk yakni,orang-orang Turki yang mendahulukan naql (teks agama)atas
akal.Mereka menentang Mu’tazilah,karena Mu’tazilah mendukung musuh mereka,Bani
Buwaihi.Merekapun mendirikan Madrasah Nizamiah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh besar Asy’ariyah,seperti Imam al-Haramain pada Nazamiah Naisabur dan
al-Gazali pada Nizamiah Bagdad,padahal agama masyarakat itu tergantung agama
raja mereka. Aliran ini
juga di kukuhkan oleh orang-orang Ayubi di Syam dan Mesir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk memerangi
ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh orang-orang fatimiyah,yang dominasi pendapatnya di gantikan oleh
pendapat Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah.
Pada
kenyataannya klaim orang-orang Asy’ariyah akan akidah Ahl al-Sunnah wa
al-jama’ah telah memberinya benteng dan perlindungan yang cukup,sehingga
mendorong publik untuk menerimanya dan meringankan serangan orang-orang khusus
terhadapnya,sedangkan keimanan orang awam itu pada umumnya berlandaskan taqlid
dan ikut-ikutan,Kita juga bisa melihat bahwa perguruan-perguruan besar islam
telah ambil bagian serius dalam memantapkan aliran Asy’ariyah. Dimana yang terdepan adalah Universitas
al-Azhar,Universitas al-Zaituniyyah dan Universitas al-Qarawin.
c. Akal, Wahyu, dan
Kriteria Baik, Buruk.
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang
Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu.
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik buruk pun
terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik
dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada
akal.
d.
Qadimnya
Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua
pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah mengatakan
bahwa Al-Qur’an diciptakan sebagai makhluk
dan tidak qadim. Sedangkan pandangan madzhab Hambali dan Zahiriah mengatakan bahwa
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim dan tidak diciptakan, bahkan Zahiriah
berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah
qadim. Untuk mendamaikan kedua pandanganyaang
saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri
atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi
Allah dan tidak qadim.
e.
Melihat
Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks
ekstrem, terutama Zahiriah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat
dan mempercayai bahwa Allah beremayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-‘Asy’ari tidak
sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di
akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah
dapat dilihat di akhirat. tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat
dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia ciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.
Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan
Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang
makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil, sehingga Ia (Allah) harus menyiksa orang yang
salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat
bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia (Allah) adalah penguasa
mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki
dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.
Kedududkan
Orang Berdosa
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi
menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan
kufur, predikat seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka
seseorang tersebut berarti kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa
mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak
mungkin hilang karena dosa selain kufur.
Kesimpulan
:
Iman Al-Asy’ari sebagai orang yang semula mengikuti
paham mu’tazilah dan berguru langsung kepada Imam Abu Ali Al-Jubba’I, tentunya
beliau paham benar tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Bahkan dia bukan hanya
paham ajaran-ajaran mu’tazilah saja yang sesat dan ditolaknya, tetapi juga
ajaran-ajaran golongan-golongan Jahamiyah, Qadariyah, dan sebagainya.
Dalam membahas suatu masalah , Al-Asy’ari mengemukakan
persoalan dengan cara mengandai, dengan demikian corak pemikirannya disusun
secara dialogis. Menyebutkan masalahnya dulu, kemudia dijawab dengan
argumentasi-argumentasi rasional, lalu menyebutkan ayat Al-Qur’an atau al-Hadis
yang berkaitan dengan sebagaian argumen.
Pola pemikirannya bercorak kompromis atau moderat,
sebgaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Abduh :
“Dia berjalan di tempat yang dikenal tengah-tengah
antara keyakinan orang-orang salaf dan kenyakinan orang-orang yang
menentangnya”.
Kajian teologi memang normatif, filosofis, dan rumit.
Kadang-kadang Imam Al-Asy’ari berhasil mengeliminasi suatu masalah, tetapi
kadang-kadang agak larut condong ke
dalam satu pendapat. Misalnya tentang qadar dan ikhtiar manusia, pada akhirnya
dia agak condong ke paham Jabariyah.
Daftar Pustaka :
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat
Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sahilun A, Nasir. 2010. Pemikiran Kalam: Teologi
Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Harun, N. 1986. Teologi Islam” Jakarta: Universitas
Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar