Kamis, 19 November 2015

Aliran Asy'ariah, Sejarah Asy'ariah, Metode Asy'ariah, Doktrin-doktrin



1.     Aliran  Asy’ariyah.

Kaum asy’ari adalah aliran sinkretis/aliran yang berusaha mengambil sikap tengah-tengah antara dua kutub akal dan naql,antara kaum salaf dan kaum mu’tazilah. Titik tengah yang sebenarnya, selamanya, tidak jelas dan tak terbataskan. Orang yang melakukan perpeduan, bisa cenderung ke kanan dan ke kiri. Dengan sendirinya ia tidak menyetujui kedua belah pihak, sebaliknya tidak terlepas dari kritik kaum mutazilah belakangan, di mana pemimpinnya adalah Al-Qadhi Abdul Al-Jabbar maupun kaum salaf belakang di mana tokoh terdepannya ibnu hazm dan ibnu taimiyyah.
Dari sisi lain orang yang memadukan itu berusaha menyelaraskan dan menghubungkan antara pandangan-pandangan dari kedua belah kubu yang berlawanan. Puncak tujuannya ialah bahwa hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima. Jadi, jangkauan kreativitasnya terbatas. Pada kenyataannya jika membandingkan kaum asy’ariyah dengan muktazilah dalam aspek ini, maka kita kan mengetahui bahwa muktazilah lebih kreatif, di mana mereka mengajukan teori-teori baru yang belum pernah dikemukakan oleh pihak lain.mereka juga mengkritik dan membuktikan bahwa pandangan-pandangan salaf itu salah.
Kaum asy’ariyah puas dengan menyelaraskan antara kedua belah pihak, mencapai pandangan tengah-tengah yang akhirnya dijadikan prinsip yang dipegangi secara teguh oleh generasi kemudian dan menjadi mantap khususnya di abad-abad terakhir. Zaman-zaman kemunduran pemikiran lebih ditandai oleh kecenderungan untuk bertaklid (membeo) mengagungkan apa yang dikatakan oleh orang-orang terdahulu, tidak punya ketahanan untuk mengubah dan memperbaharui. Seringkali pemecahan tengah-tengah mampu hidup dan berumur panjang.

Puncak tujuannya ialah bahwa hubungan ini harus sempurna dalam bentuk yang bisa diterima. Jadi tidaklah aneh, karena imam mereka menghabiskan 40 tahun untuk mempelajari ajaran-ajaran mutazilah yang lebih meraih kesuksesan di tangan kaum asy’ariyah dibandingkan di tangan muktazilah sendiri.

2.     Sejarah Al-Asy’ariah.

Imam abu hasan ali bin ismail bin ishaq bin salim bin ismail bin abdillah bin musa bin bilal bin abi burdah bin abi musa al-asy’ari masih keturunan dari abu musa al-asyari,seorang utusan tahkim dalam peristiwa besar shiffin dari pihak sayyidina ali. Beliau lahir di kota basroh tahun 260 H/873 M dan meninggal pada tahun 330 H/943 M. Dulu beliau berguru kepada abu ali jubbai dari mutazilah,yang pada akhitnya condong kepada pendapat ahli-ahli fiqih dan hadits ketika usianya 40 tahun.

Beberapa tahun beliau termenung dan mempertimbangkan atas kedua hal tersebut antara ajaran muktazilah dan paham ahli-ahli fiqih dan hadits.ketika berusia 40 tahun dia berkhalwat di rumahnya selama 15 hari untuk memikirkan hal-hal tersebut. Pada hari jum’at beliau naik mimbar di masjid basroh dan secara resmi menyatakan pendiriannya keluar dari mutazilah :
“wahai masyarakat, barangsiapa mengenal aku sungguh dia telah mengenalku. Barangsiapa tidak mengenal aku maka aku mengenal diriku sendiri. Aku adalah fulan bin fulan. Dahulu aku berpendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahluk, bahwa sesungguhnya allah tidak dapat dilihat dengan mata, bahwa perbuatan-perbuatan jelek aku sendiri memperbuatnya. Aku bertobat, mencabut dan menolak paham-paham mutazilah dan keluar daripadanya untuk membongkar kesalahan-kesalahannya.”

Sebab penting mengapa al-asy’ari meninggalkan mutazilah ialah karena adanya perpecahan yang dialami kaum muslimin yang bisa menghancurkan mereka sendiri, kalau seandainya tidak diakhiri. Sebagai seorang muslim yang mendambakan atas persatuan umat,beliau sangat khawatir kalau Al-Qur’an dan al-hadits menjadi korban dari paham-paham mutazilah yang dianggapnya semakin jauh dari kebenaran,menyesatkan dan meresahkan masyarakat hal ini disebabkan mereka menonjolkan akal pikiran.

Disamping itu ada ahli-ahli hadits antropomorphist yang selalu memegang makna lahir dari hadits-hadits yang nyaris menyeret islam kepada kelemahan,kebekuan yang tidak dapat dibenarkan. Karena itu al-asy’ari mengambil jalan tengah antara golongan nasionalisme (mutazilah) dan golongan tekstualis (ahli hadits antromorphist) dan pada akhirnya langkahnya tersebut dapat diterima oleh mayoritas umat islam sebagai sikap moderat dan tawassuth.

Gerakan Al-Asy’ariyah mulai pada abad ke-4 H. Ia terlibat dalam konflik dengan kelompok-kelompok lain, khususnya mutazilah. Dalam konflik keras ini, al baqillani memberikan andil besar. Ia dianggap sebagai pendiri kedua bagi aliran al-asy’ariyah. Permusuhan ini mencapai puncaknya pada abad ke abad ke-5 H atas prakasa al-kundari (456 H/1074 M), yang membela mutazilah. Di Khurasan ia mengobarkan fitnah yang berlangsung selama 10 tahun. Tragedi ini menyebabkan imam al-haramain menyingkir ke hijaz. Sejumlah tokoh besar dari aliran asy’ariyah dipenjarakan termasuk al-Qusyairi (466 H/1074 M). Sang sufi yang menulis sebuah risalah yang berjudul syikayah ahl al-sunnah di  hikayah ma nalahum min al mihnah. risalah ini telah dipublishir dan gemanya cukup serius di dunia islam. Kemudian kaum asy’ariyah berhasil meraih kembali kesuksesan mereka atau prakarsa niam al-muluk (484 H/1092 M). Bintang mereka pun mulai naik. Pendapat-pendapat mereka pada abad ke-6 H kira-kira menjadi madhab satu-satunya dan akidah yang resmi bagi daulah sunni. Hingga hari ini, pendapat al-asy’ariyah tetap menjadi akidah ahl al-sunnah.




3.     Metode Asy’ariyah.

Madzhab asy’ariyah bertumpu pada Al-Qur’an dan al-Sunnah mereka amat teguh memegangi al-ma’sur. Ittiba’  lebih baik dari pada ibtida’ (membuat bid’ah). Al-asy’ari mengatakan : “pendapat yang kami tengahkan dan akidah yang kami pegangi adalah sikap berpegang teguh pada kepada kitab Allah, sunnah nabi-Nya SAW dan apa yang diriwayatkan dari sahabat, tabi’in dan imam-imam hadis.
Al-asy’ari adalah pemikiran yang menentang mutazilah dan membela paham-paham salaf. Oleh pengikutnya kemudian dinamakan ahlus sunnah wal jamaah. Pendirian mutazilah bahwa Allah ini tidak bersifat (nafyu al-shifat). Hal ini berbeda dengan golongan ahlu sunnah bahwa Al-Qur’an itu qadim bukan hadits. Allah bersama sifatnya adalah qadim,tidak berpemulaan ada-Nya. Kalam allah itu qadim yang diperdengarkan kepada malaikat jibril sebagai wahyu. Kemudian nabi muhammad membacakannya kepada para sahabat. Kalau yang dikatakan mahluk itu adalah huruf dan suara yang tertulis diatas kertas.
Kalam allah yang qadim adalah sifat allah yang tidak berhuruf dan tidak bersuara dan itu disebut kalam nafsi. Karena itu, kalau orang berkeyakinan bahwa kalam Allah swt itu sifat Allah swt yang qadim yang berdiri di atas Dzat-Nya yang qadim, tentunya Al-Qur’an sebagai kalam-Nya adalah qadim juga.
Pernyataan Mu’tazilah tentang “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah makhluk . Maka barang siapa yang tidak demikian pendirianya tentang Al-Qur’an, Maka diturunkan dari jabatannnya. Bila dia seorang qadhi, tidak  diterima kesaksiannya bila diminta kesakisian”
Al-Asy’ari menerangkan :
“Seandainya seseorang bertanya tentang alasan yang menyatakan bahwa Al-Qur’an itu kalamullah dan bukan makhluk, maka jawabanya berdasarkan firman Allah swt. : “Dan  dia antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah tegaknya langit dan bumi dengan perintah-Nya” (Q.S Ar-Rum, 30:25). Dan yang dimaksud dengan perintah-Nya dalam ayat tersebut adalah kalamullah. Seandainya Allah swt. Memerintahkan kedua (langit dan bumi)nya itu tegak, maka tegaklah keduanya dan tiada runtuh. Karena itu jelaslah, bahwa tegaknya langit dan bumi itu dengan perintah-Nya juga. Bahkan firman Allah swt : Ingatlah, hanya pada Allah hak mencipta dan memerintah”.
(Q.S Ar-A’raf (7):54)
Imam Al-Asy’ari mengadakan ada seseorang yang bertanya kepadanya demikian: “Engkau telah menolak pendapat-pendapat dari golongan-golongan Mu’tazilah, Qadari’yah, Jahamiyah, Harurriyah, Rafidhah dan Murji’ah. Oleh karena itu, jelaskan kepadaku tentang pandangan-pandangan yang engkau anggap tetap berada dalam hidayat Allah swt. itu.
Imam Al-Ays’aria menjelaskan :
“Pertama-tamayang dengannya kami berpendapat dan pendirian yang denganya kami berpendirian ialah berpegang teguh dengan kitab dari pada sahabat, tabi’in dan para ulama hadis, kami terhadap semuannya itu, berpegang teguh.”
Tampak sekali, bagaimana Al-Asy’ari berbeda pola pikir dengan golongan-golongan yang ditentangnya, terutama golongan-golongan Mu’tazillah dan Qadariyah yang lebih mengunggulkan pemikiran rasio. Karena mereka menakwilkan Al-Qur’an berdasarkan kehendaknya sendiri, tanppa alasan-alasan yang berdasarkan kitabullah ataupun sunnah Rasul-Nya, bahkan tidak juga bersumberkan pandangan ulama-ulama salaf yang dahulu. Mereka menganggap Al-Qur’an sebagai makhluk, persis sebagaimana anggapan kaum musyrikin yang berkata :

“Ini (Al-Qur’an) tidak lain dari perkataan manusia.”
(Q.S Al-Mudatssir [74]:25)

Al-Asy’ari selanjutnya mengatakan:
“Mereka menganggap Al-Qur’an itu sama seperti perkataan manusia, mereka menetapkan dan meyakini bahwa manusia itu yang membuat perbuatan jahat. Itu sama halnya dengan pendapat orang-orang majusi yang menetapkan adanya dua pencipta. Yang satu pencipta kebaikan dan pencipta lainnya, membuat kejahatan. Dan orang Qadariyah mengangap bahwa Allah azza wa jalla itu menciptakan kebaikan saja, sedangkan setan yang membuat kejahatan. Mereka beranggapan bahwa sesungguhnya Allah azza wa jalla berkehendak sesuatu yang tidak ada, dan sesuatu yang ada itu bukanlah sesuatu yang dikehendaki. Hal itu tentunya bertentangan dengan pendapat yang telah disepakati oleh kaum muslimin, bahwa apa yang dikehendaki oleh Allah tentu terwujud.
Dan sesuatu yang tidak dia kehendaki  tentu tidak terwujud dan sebaliknya. Seandainya Allah menghendaki akan wujudnya, dia adalah maha kuasa mewujudkannya dan Allah swt. berfirman: “Tidaklah kamu dapat mengkhendaki sesuatu kecuali Allah menghendaki juga.” (Q.S At-Takwir  [81]:29). Maka beritahukanlah bahwa kita tidak dapat  berkehendak terhadap adanya sesuatu, kecuali adanya suatu teersebut telah dikehendaki oleh Allah juga.” 
Orang-orang Qadariyah padangnya menyerupai orang-orang majusi (Zoroaster/Zaratustra) agama kuno di Persia. Kebaikan atau kejahatan masing-masing memiliki penciptanya. Mereka beranggapan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang mudharat atau manfaat terhadap dirinya sendiri.
Selanjutnya, menurut paham Qadariyah, mereka memiliki kemampuan berbuat di luar kekuasaan Allah swt. dirinya sebagai makhluk memiliki kemampuan berbuat, yang sama sekali tidak disebutkan Allah swt. hal ini sama dengan pendapat orang-orang majusi dan merupakan pandangan yang tidak dibenarkan oleh Allah swt.  Mereka menyebarkan ajaran-ajaran yang bisa menyebabkan orang menjadi bimbang terhadap rahmat Allah swt. dan berputus asa terhadap nikmat-Nya, karena menurut pendapatnya, orang yang berbuat maksiat itu tempatnya di neraka, kekal selama-lamanya.
Mereka menyatakan bahwa orang-orang yang masuk neraka itu tidak akan dikeluarkan lagi dari neraka. Anggapan ini jelas bertenatangan dengan hadis Nabi Saw. Bahwa Allah Swt. niscaya mengeluarkan para penghuni neraka setelah disiksa dan mereka itu hangus ibarat arang. Mereka juga nengingkari, bahwa Allah Swt. itu memiliki “Wajah”, Firman-Nya:
“Dan tetap kekal wajah (Dzat) Tuhanmu yang mempunyai kebesaraan dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]:27)

·         Mereka mengingkari bahwa Allah Swt. itu “Beristiwa” dan ber”yad”, padahal difirmankan:
“Tuhan yang Maha Pemurah itu bersemayam di atas ‘Arasy.”
(QS.Thaha [20]: 5)

·         Meraka mengingkari Allah Swt. itu memiliki “mata”-bashar
Difrimankan:
“Yang berlayar dengan pengawasan mata kami.”
 (QS. Al-Qamar[54]: 14)

·         Bahkan lebih dari itu, mereka mengingkari pernyataan bahwa
Allah Swt. memiliki ilmu. Padahal Allah Swt. telah berfirman:
“Sungguh, Al-Qur’an itu diturunkan dengan ilmu Allah.”
(QS. Hud[11]:14)

·         Mereka juga mengingkari bahwa Allah Swt. memiliki kekuatan. Firman-Nya:
“Yang memiliki kekuatan yang kokoh kuat.”
(QS.Adz-Dzariyat[51]: 58)

·         Mereka menafikan hadis-hadis Rasullullah Saw. Seperti hadis berikut:
“Apa yang diriwayatkan dari Nabi Saw. Bahwa sesungguhnya Allah Azza wa Jalla turunkan rahmat-Nya pada setiap malam ke langit bumi.”
(Al-Hadis)
·         Sebagaimana yang diketahui bahwa kaum Mu’tazilah me-nafi-kan sifat-sifat Allah Swt yang karenanya mereka dinamakan golongan Mu’atthilah. Sedangkan kaum salaf berpendapat itsbat al-shifat, menetapkan adanya sifat-sifat bagi Allah Swt. yang karenanya mereka dinamakan golongan Shifatiyah.
Asy’ariah menjelaskan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya sebagian besar golongan salaf itu menetapkan bagi Allah Swt. sifat-sifat azali, yaitu al-ilmu,al-Qudrat, al-Hayat, al-Iradat, al-Sama’, al-Bashar, al-Kalam, al-Jalal, (Kebesaran), al-Ikram, al-Jud, al-In’am (Memberi kenikmatan), al-Izzah (kekuatan), dan al-‘Udhmah (keagungan). Mereka tidak membedakan antara shifat al-Dzat dan Shifat al-Fi’il, bahkan mereka menyusun susunan kalimat (siyaq al-Kalam) satu susunan yang sama. Demikian pula mereka menetapkan shifat Khabariyah, seperti al-yadani (dua tanngan), dan al-Wajh (muka), dan mereka tidak mentakwilkannya. Hanya saja mereka berpendapat bahwa sifat-sifat ini telah diterangkan dalam syari’ah dan kami (salaf) menamakanya shifat khabariyah.”
       Sedangkan kaum Mutaakhkhirin telah menambah apa yang menjadi pendapat kaum salaf yaitu melakukan ta’wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat.,Kaum salaf tidak melakukan takwil dan tidak menghampiri tasybih.
·           Pernyataan kubur dan masalah gaib, menurut golongan mu’tazilah tidak  mengakui adanya azab kubur, padahal masalah ini banyak keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi Saw.
“Dari sahabat Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: Kami berlindung kepada Allah dari siksaan kubur”.
(Al-Hadis)
Dan aku (Asy’aria) meyakini adanya Dajjal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Rasullullah Saw. Bahkan meyakini adanya malaikat siksa kubur serta adanya Munkar dan Nakir yang menanyakan orang mati di dalam kuburnya.
·         Masalah Rukyatullah, argumentasi Imam Al-Asy’ari dalam menetpakan Rukyatullah :
1.      Firman Allah Swt.:
“Pada hari akhir itu wajah merkea orang-orang mukmin berseri-seri. Kepada Tuhannya mereka melihat.”
(QS. Al-Qiyamah[75]: 22-23)
2.        Alasan lain yang membenarkan Allah Ta’ala dapat dilihat dengan mata, terdapat dalam ayat:
(QS. Al-A’raf [7]:143)
3.        Dalil lain menerangkan bahwa Allah Swt. bisa dilihat langsung dengan mata kepala, adalah ketika Allah Swt. membuat gunung menjadi hancur lebur. Ini merupakan suatu isyarat bahwa seandainya Allah Swt. berkehendak mengabulkan permohonan Nabi Musa as. Niscaya dia pun dapat melihat-Nya. Jadi masalah rukyatullah itu jaiz hukumnya.
4.      Firman Allah Swt. :
“Bagi oaring-orang yang berbuat baik, memperoleh pahala (surga) yang terbaik dan memperoleh tambahanya.”
(QS.Yunus[10]: 26)
5.      Hadis Nabi Saw. Dari berbagai riwayat melalui perawi yang berbeda-beda :
“Kamu sekalian akan melihat Tuhanmu dengan nyata, bagaikan melihat bulan purnama, tidak berbahaya bagiimu dalam melihat-Nya.(Al-Hadis)
6.      Allah Swt. adalah Dzat yang maujud, mengandung kepastian dapat dilihat, sebgaimana barang yang ma’dum itu tentunya tidak dapat dilihat. Jadi, kalau telah diyakini Allah Swt. itu maujud, maka bukan mustahil kita dapat melihat-Nya. Orang-orang mu’tazilah menafikan rukyatullah itu hanyalah bermaksud mebuat kekacuan dan kesembongan.
7.      Kaum muslimin sepakat bahawa kenikmatan yang terdapat nanti merupakan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata atupun terlintas dalam hati manusia, bahkan tidak ada kenikmatan yang lebih besa selain dari Allah.
Pendapat Al-Asy’ari mengatakan:
“Dan sehubungan dengan rukyatullah pada hari kiamat nanti, golongan Mu’tazillah berpendapat: “Allah Swt. tidak dapat dilihat. Mereka metakwilkan nash-nash Al-Qur’an dan tidak menjadikan hadis-hadis Nabawi sebagai dasar pembenaran rukyatullah, karena hadis-hadisnya itu adalah hadis ahad. Dan golongan Musyabbihah berpendapat: “Sesungguhnya Allah Ta’ala itu bisa dilihat (rukyatullah) pada hari kiamat, dengan cara dan pada tempat tertentu”. Dan Al-Asy’ari menempuh satu jalan tengah antara kedua pendapat tersebut. Dia berpendapat” Allah Ta’ala itu bisa dilihat tanpa keadaan batasan tertentu. Memang Rukyatullah di dunia ini mustahil, itu jelas. Akan tetapi di akherat kelak, rukyatullah itu mungkin bagi orang-orang yang beriman sebagai puncak nikmat surgawi.
·         Pendapat-pendapat Al-Asy’aria dalam pandangannya yang moderat, dia mencari kompromi atau jalan tangah antara pihak-pihak yang berlebih-lebihan yang menafsirkan dan mengisbatkan, dan pikiran-pikiran yang tarik-menarik ujung-ujung pertentangannya. Dia telah memilih jalan tengah itu pada pendapat mereka.
·         Bahwa aku (Al-Asy’ari) tidaklah mengkafirkan siapa pun di antara umat islam yang melakukan dosa, seperti mencuri, minum khamer atau lainnya. Berbeda dengan kaum khawarij, dimana mereka justru mengkafirkan orang-orang seperti itu. Tetapi barangkali melakukan dosa besar seperti berzina, menghalalkan sesuatu yang haram dan sebaliknya, serta mengingkari bahwa itu haram, maka aku seraya menganggapnya halal (Al-Asy’ari) pun mengkafirkannya. Hal ini berarti orang itu menghalalkan sesuatu yang diharamkan.
·         Pendapat Al-Asy’ari tentang Al-Qur’an, bahwa Kalam Nafsi adalah qadim, sedangkan mushaf yang ada adalah hadis.
“Imam Asy’ariah menempuh jalan tengah. Menurut pendapatnya, Al-Qur’an itu kalamullah yang tidak berubah-ubah, tidaklah makhluk, tidaklah baru (hadis) dan bukan pula sesuatu yang diadakan adapun huruf-huruf yang terpotong-terpotong, warna-warna, barang-barang, dan suara itu adalah makhluk yang diadakan.”
·         Dosa Besar, disini Iman Al-Asy’ari “menempuh jalan tengah, dan berpendapat bahwa orang mukmin yang meng-Esakan Allah Ta’ala tetapi dia fasiq, hal itu terserah kepada Allah Ta’ala”

Kaum asy’ariyah juga tidak menolak akal, padahal Allah menganjurkan agar umat islam melakukan kajian rasional. Pada prinsipnya kaum asy’ariyah tidak memberikan kebebasan sepenuhnya kepada akal seperti yang dilakukan oleh kaum mutazilah, sehingga mereka tidak memenangkan dan menempatkan akal di atas naql menempati posisi teratas. Bahkan mereka secara umum berprinsip bahwa naql menempati posisi teratas. Akal mereka dianggap sebagai pelayan bagi naql. Akal dan naql saling membutuhkan. Naql bagaikan matahari yang bersinar sedangkan akal laksana mata yang sehat.

Dengan akal kita akan bisa meneguhkan naql dan membela agama.al-asy’ari telah memperkenalkan bagaimana cara memanfaatkan metode rasional, yang dicanangkan oleh kaum mutazilah itu, untuk membela dan meneguhkan masalah-masalah keagamaan. Keberhasilan al-asy’ari dalam memaparkan dan mendebatkan metode rasional ini tidak kalah dibandingkan kesuksesan yang ia raih dalm kecendrungan sinkretisnya.
Memperhatikan corak teologi kaum muslimin yang mengikuti paham Imam Al-Asy’aria antara lain berkat perjuangan gigih pengikut-pengikutnya untuk membela teologinya dari kalangan ulama-ulama terkemuka. Seperti imam : Abu BakarAl-Baqillani, Haramain Al-Juwaini, Asfarayini, Al-Ghazali, dan Ar-Razi, maka penyebaran secara kongkret pemikirannya itu dimulai, terutama atas dukungan khalifah-khalifa Al-Mutawakkil dari Bani Abbasiyah dan nizham al-muluk,, wazir Bani Saljuk, kemudian wazir mendirikan Madrasah Nizhamiyah dan menjadikannya markas central penyebar luasan kalam Al-Asy’aria. Sejak waktu itu, maka posisi paham Al-Asy’aria telah menggantikan posisi paham Mu’tazilah yang selama ini telah mendominasi seluruh wilayah khilfah Bani Abbasiyah.
       Jadi dapat disimpulkan corak pemikiran al-asy’ari disusun secara dialogis menyebutkan masalah lebih dahulu, kemudian di jawab dengan argumentasi-argumentasi rasional,lalu menyebutkan ayat Al-Qur’an atau al-hadits yang berkaitan dengan argumen. Pola pemikirannya bercorak kompromis dan moderat.

4.                 Doktrin-doktrin Asy’ariyah.

a.      Pembuktian Adanya Tuhan
Kaum asy’ariyah menggeluti pembuktian adanya tuhan dan mereka jadikan sebagai dari kajian-kajian ketuhanan. Langkah ini kemudian diikuti oleh murid-muridnya. Untuk meneguhkan adanya Allah, al-asy’ari memaparkan berbagai pola pola pembuktian alami. Sebagai contoh, perkembangan manusia dari sperma menjadi segumpal darah , kemudian menjadi daging, merupakan bukti yang pasti akan adanya sang pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Mereka bertumpu pada bukti teologis, untuk itu mereka mengatakan bahwa alam yang rumit penciptaannya dan kokoh aturannya itu pasti bersumber pada sebab yang mengatur dan menata, sedangkan karya-karya yang kokoh menunjukkan ilmu dan hikmah si pencipta.
b.      Teori Ketuhanan.
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat allah tidak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan allah adalah wajib. Al-asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim. Di satu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antropomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa allah mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya, di lain pihak ia berhadapan dengan kelompok mutazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat allah tidak lain selain esensi-Nya. Adapun tangan, kaki, telinga allah atau arsy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah,melainkan secara alegoris.
Kaum asy’ariyah adalah kaum sifatiyah (yang mengatakan bahwa Allah punya sifat-sifat ) seperti halnya kaum salaf. Mereka meneguhkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya dan membedakan sifat yang disifati (al-mausuf). Jadi Allah mengetahui dengan ilmu, berkuasa karena sifat kuasa. Sifat-sifat Allah adalah al-ilmu(Maha Mengetahui),al-hayah (Maha Hidup), al-basar (Maha Melihat), al-sama’(Maha Mendengar).semuanya adalah sifat azali(eternal) dan abad menegasikan sifat berarti menegasikan yang disifati, sebagaimana halnya menegasikan aksi berarti menegasikan subyek yang beraksi.
Mereka menolak al-ta’til (pandangan yang mengosongkan Allah dari sifat-sifat atau Allah tidak punya sifat-sifat) dalam berbagai macam coraknya,baik nihilisasi Sang Pencpta dari ciptaan-Nya maupun nihilisasi sang pencipta dari sifat-sifat-Nya. Mereka menolak al-Tasybih dan al-Tajsim dan mereka menyerahkan kepada Allah teks-teks agama yang memberikan kesan demikian atau mereka takwilkan karena Allah sama sekali tidak menyamai makhluk-Nya. Bukan substansi,bukan jisim juga bukan aksidensia, tidak bertempat di dalam ruang dan waktu juga tidak menerima aksidensia-aksidensia dan hal-hal temporal. Ilmu Allah adalah azali dan mencakup semua obyek pengetahuan,tanpa melalui indra maupun pembuktian. Melihat Allah dengan pandangan mata adalah boleh,karena setiap yang ada bisa dilihat. Meneguhkan bahwa Allah bisa dilihat tidak berarti tasybih dan tajsim, sebab melihat disini tidak sama dengan kita melihat benda-benda di dunia.


c.  Kebebasan Berkehendak.

          Asy’ariyah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang,berumur hampir 10 abad.Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H,hingga sekarang masih ada,walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1 setengah abad.Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis,yang diwakili khususnya Mu’tazilah,tetapi juga kadang melawan naqliyin (Tekstualis) yang di wakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilah dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi madzhab resmi negara di dunia Sunni,yang dalam rangka itu ia di topang oleh kondisi sosial-politik. Para imam mereka secara umum berlomba menjelaskan pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah.
 Abu Hasan al-Asy’ari dilahirkan dan tumbuh di lingkungan Mu’tazilah dan di didik di Bashrah,tetapi ia nyaris tidak pernah berontak dan pikirannya pun matang,hingga kegelisahan mulai menghinggapinya,kondisi demikian nampak dalam persoalan dan kritik yang ia ajukan kepada guru dan pendidikannya,Abu ‘Ali al-Jubba’i(235-303 H) salah seorang tokoh besar Mu’tazilah dari generasi kedua.Nampak bahwa ia tidak terseret oleh Ekstrimitas Mu’tazilah maupun Ekstrimitas Salaf.Ia hendak berdiri di tengah di antara kedua aliran itu.Akhirnya ia memberontak dari gurunya dan mengumumkan dakwahnya di masjid jami Bashrah. Pada  waktu itu usianya sekitar 40 tahun dan di saat gurunya menjelang wafat.Kemudian ia pergi ke Baghdad dimana pengaruh kaum Hanabilah amat kuat. Ia melanjutkan dakwahnya dimana opini umum telah mulai tenang mendukungnya,walaupun itu di tentang oleh kedua belah pihak yang sama-sama ekstrim. Pemecahan  tengah biasanya membuat jiwa awam tenang di saat-saat di landa mihnah (bencana),perbedaan dan perpecahan pendapat.
 Murid dan pengikut al-Asy’ari berlomba memegangi sikap tengah ini,walaupun mereka menentangnya sebentar. Karena sebagian dari mereka mendalami kecenderungan rasional.sebagian lain mendalami kecenderungan salaf. sikap   tengah teoritis lebih luas bidangnya di bandingkan dengan tengah praktis para pengikut itu silih berganti mulai memegangi pendapat al-Imam Syeikh dan menyebarkan dakwahnya. Diantara mereka ada argumentasinya jelas dan kuat. Setiap abad punya satu atau beberapa ulamanya sendiri,yang di atas pundak merekalah madzhab al-Asy’ari berdiri tegak.
    Suasana politik membantu menyebarkan dan mengukuhkan madzhab Asy’ariyah. Sehingga aliran pertama-tama dipeluk oleh Bani Saljuk yakni,orang-orang Turki yang mendahulukan naql (teks agama)atas akal.Mereka menentang Mu’tazilah,karena Mu’tazilah mendukung musuh mereka,Bani Buwaihi.Merekapun mendirikan Madrasah Nizamiah yang dipimpin oleh tokoh-tokoh besar Asy’ariyah,seperti Imam al-Haramain pada Nazamiah Naisabur dan al-Gazali pada Nizamiah Bagdad,padahal agama masyarakat itu tergantung agama raja mereka. Aliran ini juga di kukuhkan oleh orang-orang Ayubi di Syam dan Mesir. Mereka mendirikan sekolah-sekolah untuk memerangi ajaran-ajaran yang dikembangkan oleh orang-orang fatimiyah,yang dominasi pendapatnya di gantikan oleh pendapat Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah.
          Pada kenyataannya klaim orang-orang Asy’ariyah akan akidah Ahl al-Sunnah wa al-jama’ah telah memberinya benteng dan perlindungan yang cukup,sehingga mendorong publik untuk menerimanya dan meringankan serangan orang-orang khusus terhadapnya,sedangkan keimanan orang awam itu pada umumnya berlandaskan taqlid dan ikut-ikutan,Kita juga bisa melihat bahwa perguruan-perguruan besar islam telah ambil bagian serius dalam memantapkan aliran Asy’ariyah. Dimana  yang terdepan adalah Universitas al-Azhar,Universitas al-Zaituniyyah dan Universitas al-Qarawin.


c.       Akal, Wahyu, dan Kriteria Baik, Buruk.
            Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.
            Dalam menentukan baik buruk pun terjadi perbedaan pendapat diantara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
d.      Qadimnya Al-Qur’an
            Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan sebagai makhluk dan tidak qadim. Sedangkan pandangan madzhab Hambali dan Zahiriah mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang qadim dan tidak diciptakan, bahkan Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata, dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim.  Untuk mendamaikan kedua pandanganyaang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.

e.       Melihat Allah
            Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah yang mengatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah beremayam di ‘Arsy. Selain itu, Al-‘Asy’ari tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat.  Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat. tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia ciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
f.       Keadilan
            Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil, sehingga Ia (Allah) harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia (Allah) adalah penguasa mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah pemilik mutlak.
g.      Kedududkan Orang Berdosa
            Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin, maka seseorang tersebut berarti kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.














Kesimpulan :

Iman Al-Asy’ari sebagai orang yang semula mengikuti paham mu’tazilah dan berguru langsung kepada Imam Abu Ali Al-Jubba’I, tentunya beliau paham benar tentang ajaran-ajaran Mu’tazilah. Bahkan dia bukan hanya paham ajaran-ajaran mu’tazilah saja yang sesat dan ditolaknya, tetapi juga ajaran-ajaran golongan-golongan Jahamiyah, Qadariyah, dan sebagainya.
Dalam membahas suatu masalah , Al-Asy’ari mengemukakan persoalan dengan cara mengandai, dengan demikian corak pemikirannya disusun secara dialogis. Menyebutkan masalahnya dulu, kemudia dijawab dengan argumentasi-argumentasi rasional, lalu menyebutkan ayat Al-Qur’an atau al-Hadis yang berkaitan dengan sebagaian argumen.
Pola pemikirannya bercorak kompromis atau moderat, sebgaimana ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Abduh :
“Dia berjalan di tempat yang dikenal tengah-tengah antara keyakinan orang-orang salaf dan kenyakinan orang-orang yang menentangnya”.
Kajian teologi memang normatif, filosofis, dan rumit. Kadang-kadang Imam Al-Asy’ari berhasil mengeliminasi suatu masalah, tetapi kadang-kadang  agak larut condong ke dalam satu pendapat. Misalnya tentang qadar dan ikhtiar manusia, pada akhirnya dia agak condong ke paham Jabariyah.










Daftar Pustaka :
Madkour, Ibrahim. 2009. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Sahilun A, Nasir. 2010. Pemikiran Kalam: Teologi Islam. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
Harun, N. 1986. Teologi Islam” Jakarta: Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar