Jumat, 20 November 2015

Sikap Imam al-Baqillani, Imam Haramain, Iman Fakhr al-Din al-Razi terhadap Terhadap Teori Kasab Imam Al-asy'ari



Sikap al-Baqillani dan Iman al-Haramain terhadap Teori  ini
Al-Baqillani menerima qudrat dan istita’ah manusia, karena ia melakukan perbuatan-perbuataan yang mendukung itu seperti duduk dan berdiri, tetapi qudrat ini berasal dari Allah bersamaan dengan perbuatan.  Tidak mendahului  maupun sesudahnya, karena  jika mendahului  perbuatan berarti perbuatan itu terjadi tanpa qudrat, tetapi jika ia datang sesudah perbuatan berarti hal ini mengkonsekuensikan bahwa aksidensia tetap dalam dua zaman.
            Qudrat bisa dikonsentrasikan hanya pada satu maqdur (obyek qadar),  karena untuk berbuat ada qadarnya semidiri begitu pula untuk tidak berbuat. Inayah (perhatian) Allah menjamin memberikan qudrat untuk berbuat dan qudrat untuk tidak berbuat kepada seorang manusia. Al-baqillani mentakwilkan ayat-ayat yang mengesankan istita’ah yang lahir dari seseorang, seperti firman Allah SWT :
            Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Al-Baqarah: 289).
Al-Baqillani mengembalikan semua perbuatan mutawallidah kepada Allah SWT, dengan dalih bahwa perbuatan-perbuatan ini merupakan kejadian bau setelah kejadian pertama, dan qudrat bisa dikosentrasikan hanya kepada satu maqdur. Dengan demikian al-baqillani berjalan dengan logika perinsip-perinsipnya hingga akhir.
            Disamping  memegang prinsip-prinsip yang dikatakan oleh Al-Asy’ari, dalam topic kebebasan kehendak. Ia agak emngembangkan teori kasab. Ia sependapay dengan Al-Asy’ari  bahwa qudrat baru tidak bisa menciptakan apa-apa, teetapi ia mengkhususkan wujud, karena ia berperngaruh dalam perbuatan-perbuatan kita dari segi ia menciptakannya secara khusus pada waktu dan ruang tertentu. Jadi, terjadinya perbuatan-perbuatan ini dari perbuatan Allah, tetapi pengkhususkan kejadian ini dalam kondisi tertentu merupakan  perbuatan kita. Dengan demikia  kasab lahir semata-mata dari hubungan dan bersamman dengan qudrat Allah SWT, yang menurut Al-Baqillani menjadi suatu bentuk perbuatan walaupun pengaruhnya terbatas. Hal ini mengandung unsur agak menampakan subyektivitasnya dari aspek manusia dan menjustivikasi tanggung jawabnya atas apa yang ia lakukan, walaupun itu merupakan justivikasi yang lemah karena manakala memegangi pendapat tertentu, pendapat (jadali) biasanya terpengaruh oleh pendapat-pendapat lawan dan minimal menerima sebagian di antaranya dan keterpengaruuhan ini akan nampak jelas sekali pada imam Haramain.
Iman Haramain memfokuskan diri pada dalil-dalil naqli. Ia menggunakan akal hanya sekedarnya saja. Untuk itu, ia menggunakan firman Allah :
(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itulah Allah Tuhan kami; Tiada selain Dia; Pencipta segala sesuatu; maka sembahlah Dia. (Al-An-am: 102)
Sebagai argumentasinya. Ia menunjukan kepada kenyataan yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin bahwa mereka mendekat memohon kepada Allah, agar Ia memberi mereka harta dan anak sekaligus menyingkirkan bencana dan kesulitan dari diri mereka. Tidak mungkin hal itu terjadi. Pada kenyataannya, perbedaann disini menyangkut qudrat itu sendiri. Jika qudrat itu merupakan potensi-substansial dalam diri manusia seperti yang dikatakan oleh Mu’tazillah, maka ia bisa berbuat dan tidak berbuat. Sebaliknya, jika qudrat itu merupakan aksidensia yang terjadi dan hilanh seperti yang dilukiskan oleh orang-oreng Asy’ariah, maka ia tidak bisa dikonsentrasikan pada ddua maqdur (obyrk qudrat). Iman Haramian berusaha untuk membela prinsip boleh mentaklif sesuatu yang tak terjangkay, ddan qudrat Allah tidak terbatas pada sesuatu ayng sudah terjadi tetapi juga mencangkup sesuatu yang belum menjadi pendapat al-Asy’ariah. Ini bukanlah pembelaan yang mudah,karena berkaitan dengan teori keadilan tuhan. Akhirnnya, ia mengkakhiri penisbatan perbuatan-perbuatan mutawallidah kepada pelakunya, dan mengembalikannya semuanya kepada Allah.
Iman Haramin hidup sezaman dengan kebangkitan kedua Mu’tazilah pada masa pemerintahan Bani bawaihini, khususunya dibawah pundak al-sahib bin ibbad (284 H/995M). Diperkirakan ia sempak menyaksikan mihnah (bencana) yang menimpaorang-orang Asy’ariah yang karenanya ia terpaksa pergi ke Hijaz. Walaupun membela pendapat al-Ays’ari tentang  istita’ah dan penciptaan perbuatan, tetapi Iman Haramain  berpendapat bahwa qudrat tidak berpengaruh dan sama saja dengan tidak mampu. Qudrat yang memberikan pengaruh terbatas sama saja dengan tidak mampu, dan membatasi qudrat pada point tertentu. Oleh sebab itu ia menegaskan bahwa perbuatan manusia merupakan hasil dari qudratnya (sendiri), dan menyandarkan qudrat ini pada sebab lain merupakan persoalaan yang berkaitan dengan rangkaian sebab umum. Dan disinilah  seorang murid al-Asy’aari yang dekat dengan mutazillah dan para filosof.

Fakhr  al-Din al-Razi.
            Al-Razi adalah seorang Asy’ariah yang amat terpengaruh oleh kaum filosof. Ia mempelajari buku-buku tulisan Ibnu Sina. Al-Razi adalah seorang filosof sekaligus mutakallimin (teolog islam). Ia selalu memadukan antara akal dan na’ql, karena “Mengkritik akal untuk mengoreksi naql mengkonsekuensikan mengkritik akal”.  Atas pemikirannya tersebut ia diserang oleh orang-orang Hanabillah dan Karamiah.
            Ia mengkritik tajam orang-orang Mu’tazilah. Ia juga tidak bisa menerima sebagian pendapatorang-orang Asy’ariahyang mendahuluinnya. Pada kesimpulannya bahwa kasab adalah “Maqdur (obyek qadar) yang diciptakan dengan qadar baru atau maqdur yang mengganti qudrat” dan penciptaan adalah maqdur (yang diciptakan) dengan qadar yang qadim, atau maqdur yang tidak menggantikan qudrat”.
            Walaupun memegang dan membela prinsip-prinsip aliran Asy’ariah melawan para penentangnya yang terdiri atas orang-orang Karamiah dan Maturidiah tapi ia tidak ragu-ragu mengkritik pendapat al-Asy’ari dan emgnkontrakannya dalam kebebasan berkehendak. Sebab, ia tidak puasa dengan teorikasab yang semata-mata hubungan dan kebersaamaan kehendak manusia dengan kehendak dan qudrat Allah. Ia menafsirkan apa yang menjadikannya sebagai qudrat dan iradat sebgau ralitas baru, dan barngsiapa tidak memiliki iradah maka ia tidak terkena langsung jawab. Ia gambrakan qudrat hadisah (temporal) yang menjadikannya sebagai persoaaln zatiah (subtansial) yang ada seseorang sebelum dan bersamman ia berbuat.
            Teori kasab menjadi onyek koreksi dan komentar dariorang-orang Asy’ariah sendiri, walaupun mereka tidak ke luar dari garis imam mereka seperti yang terjadi antara sesame Mutazillah. Nampaknya bahwa konotasi kasab tidak jelas dan tidak bisa dipahami, yang jelas kasab disini berarti sesuatu yang terjadi (waqa’a) karena qudrat hadis (tempporal) jadi apabila kami Tanya apa arti “terjadi” itu? Jika ia berarti terjadi (hadisa) maka tidak ada perbedaan antara kami dengan mereka, karena hal ini berarti bahwa perbuataanmanusia itu merupakaan hasil ciptaannya. Namun jika dijawab “kasab”, maka itu merupakan personalan.
Al-Asy’ari mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu terjadi atas qudrat Allah, dan qudrat manusia tidak berpengaruh di dalamnya. Pokoknya Allah menjalankan sunnah-sunnah-Nya dengan cara menciptakan pada manusiaqudrat dan ikhtiae yang membarengi aksi yang ditentukan, karena cupta dan pengaruh perbuatan manusia itu diciptakan oleh Allah dan kasab oleh manusia.


1 komentar:

  1. theford edge titanium 2019 - Vitanium Art
    Theford edge titanium 2019: Theford edge is a piece of kit. Designed with a special how strong is titanium purpose tool and to aid it in titanium coating improving the where is titanium found performance ford edge titanium 2021 of the game. Rating: 5 · titanium apple watch band ‎1 review

    BalasHapus