Sikap
al-Baqillani dan Iman al-Haramain terhadap Teori ini
Al-Baqillani
menerima qudrat dan istita’ah manusia, karena ia melakukan perbuatan-perbuataan
yang mendukung itu seperti duduk dan berdiri, tetapi qudrat ini berasal dari
Allah bersamaan dengan perbuatan. Tidak
mendahului maupun sesudahnya,
karena jika mendahului perbuatan berarti perbuatan itu terjadi tanpa
qudrat, tetapi jika ia datang sesudah perbuatan berarti hal ini
mengkonsekuensikan bahwa aksidensia tetap dalam dua zaman.
Qudrat bisa dikonsentrasikan hanya pada satu maqdur
(obyek qadar), karena untuk berbuat ada
qadarnya semidiri begitu pula untuk tidak berbuat. Inayah (perhatian) Allah
menjamin memberikan qudrat untuk berbuat dan qudrat untuk tidak berbuat kepada
seorang manusia. Al-baqillani mentakwilkan ayat-ayat yang mengesankan istita’ah
yang lahir dari seseorang, seperti firman Allah SWT :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. (Al-Baqarah: 289).
Al-Baqillani mengembalikan
semua perbuatan mutawallidah kepada Allah SWT, dengan dalih bahwa
perbuatan-perbuatan ini merupakan kejadian bau setelah kejadian pertama, dan
qudrat bisa dikosentrasikan hanya kepada satu maqdur. Dengan demikian
al-baqillani berjalan dengan logika perinsip-perinsipnya hingga akhir.
Disamping memegang
prinsip-prinsip yang dikatakan oleh Al-Asy’ari, dalam topic kebebasan kehendak.
Ia agak emngembangkan teori kasab. Ia sependapay dengan Al-Asy’ari bahwa qudrat baru tidak bisa menciptakan
apa-apa, teetapi ia mengkhususkan wujud, karena ia berperngaruh dalam
perbuatan-perbuatan kita dari segi ia menciptakannya secara khusus pada waktu
dan ruang tertentu. Jadi, terjadinya perbuatan-perbuatan ini dari perbuatan
Allah, tetapi pengkhususkan kejadian ini dalam kondisi tertentu merupakan perbuatan kita. Dengan demikia kasab lahir semata-mata dari hubungan dan
bersamman dengan qudrat Allah SWT, yang menurut Al-Baqillani menjadi suatu
bentuk perbuatan walaupun pengaruhnya terbatas. Hal ini mengandung unsur agak
menampakan subyektivitasnya dari aspek manusia dan menjustivikasi tanggung
jawabnya atas apa yang ia lakukan, walaupun itu merupakan justivikasi yang
lemah karena manakala memegangi pendapat tertentu, pendapat (jadali) biasanya terpengaruh
oleh pendapat-pendapat lawan dan minimal menerima sebagian di antaranya dan keterpengaruuhan
ini akan nampak jelas sekali pada imam Haramain.
Iman
Haramain memfokuskan diri pada dalil-dalil naqli. Ia menggunakan akal hanya
sekedarnya saja. Untuk itu, ia menggunakan firman Allah :
(Yang memiliki sifat-sifat
yang) demikian itulah Allah Tuhan kami; Tiada selain Dia; Pencipta segala
sesuatu; maka sembahlah Dia. (Al-An-am: 102)
Sebagai argumentasinya.
Ia menunjukan kepada kenyataan yang biasa dilakukan oleh kaum muslimin bahwa
mereka mendekat memohon kepada Allah, agar Ia memberi mereka harta dan anak
sekaligus menyingkirkan bencana dan kesulitan dari diri mereka. Tidak mungkin
hal itu terjadi. Pada kenyataannya, perbedaann disini menyangkut qudrat itu
sendiri. Jika qudrat itu merupakan potensi-substansial dalam diri manusia
seperti yang dikatakan oleh Mu’tazillah, maka ia bisa berbuat dan tidak
berbuat. Sebaliknya, jika qudrat itu merupakan aksidensia yang terjadi dan
hilanh seperti yang dilukiskan oleh orang-oreng Asy’ariah, maka ia tidak bisa
dikonsentrasikan pada ddua maqdur (obyrk qudrat). Iman Haramian berusaha untuk
membela prinsip boleh mentaklif sesuatu yang tak terjangkay, ddan qudrat Allah
tidak terbatas pada sesuatu ayng sudah terjadi tetapi juga mencangkup sesuatu
yang belum menjadi pendapat al-Asy’ariah. Ini bukanlah pembelaan yang
mudah,karena berkaitan dengan teori keadilan tuhan. Akhirnnya, ia mengkakhiri
penisbatan perbuatan-perbuatan mutawallidah kepada pelakunya, dan
mengembalikannya semuanya kepada Allah.
Iman
Haramin hidup sezaman dengan kebangkitan kedua Mu’tazilah pada masa
pemerintahan Bani bawaihini, khususunya dibawah pundak al-sahib bin ibbad (284
H/995M). Diperkirakan ia sempak menyaksikan mihnah (bencana) yang
menimpaorang-orang Asy’ariah yang karenanya ia terpaksa pergi ke Hijaz. Walaupun
membela pendapat al-Ays’ari tentang istita’ah dan penciptaan perbuatan, tetapi
Iman Haramain berpendapat bahwa qudrat
tidak berpengaruh dan sama saja dengan tidak mampu. Qudrat yang memberikan
pengaruh terbatas sama saja dengan tidak mampu, dan membatasi qudrat pada point
tertentu. Oleh sebab itu ia menegaskan bahwa perbuatan manusia merupakan hasil
dari qudratnya (sendiri), dan menyandarkan qudrat ini pada sebab lain merupakan
persoalaan yang berkaitan dengan rangkaian sebab umum. Dan disinilah seorang murid al-Asy’aari yang dekat dengan
mutazillah dan para filosof.
Fakhr al-Din al-Razi.
Al-Razi adalah seorang Asy’ariah yang amat terpengaruh
oleh kaum filosof. Ia mempelajari buku-buku tulisan Ibnu Sina. Al-Razi adalah
seorang filosof sekaligus mutakallimin (teolog islam). Ia selalu memadukan
antara akal dan na’ql, karena “Mengkritik akal untuk mengoreksi naql
mengkonsekuensikan mengkritik akal”.
Atas pemikirannya tersebut ia diserang oleh orang-orang Hanabillah dan
Karamiah.
Ia mengkritik tajam orang-orang Mu’tazilah. Ia juga tidak
bisa menerima sebagian pendapatorang-orang Asy’ariahyang mendahuluinnya. Pada
kesimpulannya bahwa kasab adalah “Maqdur (obyek qadar) yang diciptakan dengan
qadar baru atau maqdur yang mengganti qudrat” dan penciptaan adalah maqdur
(yang diciptakan) dengan qadar yang qadim, atau maqdur yang tidak menggantikan
qudrat”.
Walaupun memegang dan membela prinsip-prinsip aliran
Asy’ariah melawan para penentangnya yang terdiri atas orang-orang Karamiah dan
Maturidiah tapi ia tidak ragu-ragu mengkritik pendapat al-Asy’ari dan
emgnkontrakannya dalam kebebasan berkehendak. Sebab, ia tidak puasa dengan
teorikasab yang semata-mata hubungan dan kebersaamaan kehendak manusia dengan
kehendak dan qudrat Allah. Ia menafsirkan apa yang menjadikannya sebagai qudrat
dan iradat sebgau ralitas baru, dan barngsiapa tidak memiliki iradah maka ia
tidak terkena langsung jawab. Ia gambrakan qudrat hadisah (temporal) yang
menjadikannya sebagai persoaaln zatiah (subtansial) yang ada seseorang sebelum
dan bersamman ia berbuat.
Teori kasab menjadi onyek koreksi dan komentar
dariorang-orang Asy’ariah sendiri, walaupun mereka tidak ke luar dari garis
imam mereka seperti yang terjadi antara sesame Mutazillah. Nampaknya bahwa
konotasi kasab tidak jelas dan tidak bisa dipahami, yang jelas kasab disini
berarti sesuatu yang terjadi (waqa’a) karena qudrat hadis (tempporal) jadi
apabila kami Tanya apa arti “terjadi” itu? Jika ia berarti terjadi (hadisa)
maka tidak ada perbedaan antara kami dengan mereka, karena hal ini berarti
bahwa perbuataanmanusia itu merupakaan hasil ciptaannya. Namun jika dijawab
“kasab”, maka itu merupakan personalan.
Al-Asy’ari
mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu terjadi atas qudrat Allah, dan
qudrat manusia tidak berpengaruh di dalamnya. Pokoknya Allah menjalankan
sunnah-sunnah-Nya dengan cara menciptakan pada manusiaqudrat dan ikhtiae yang
membarengi aksi yang ditentukan, karena cupta dan pengaruh perbuatan manusia
itu diciptakan oleh Allah dan kasab oleh manusia.
theford edge titanium 2019 - Vitanium Art
BalasHapusTheford edge titanium 2019: Theford edge is a piece of kit. Designed with a special how strong is titanium purpose tool and to aid it in titanium coating improving the where is titanium found performance ford edge titanium 2021 of the game. Rating: 5 · titanium apple watch band 1 review